PEMBAGIAN WARISAN POLIGAMI SIRRÎ MASYARAKAT DESA SINDANGLAKA PERSPEKTIF GENDER DAN MAQÂSID AL-SYARÎʻAH TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

الحجم: px
بدء العرض من الصّفحة:

Download "PEMBAGIAN WARISAN POLIGAMI SIRRÎ MASYARAKAT DESA SINDANGLAKA PERSPEKTIF GENDER DAN MAQÂSID AL-SYARÎʻAH TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat"

النسخ

1 PEMBAGIAN WARISAN POLIGAMI SIRRÎ MASYARAKAT DESA SINDANGLAKA PERSPEKTIF GENDER DAN MAQÂSID AL-SYARÎʻAH TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H.) Oleh: ZAKI SAIFUL ALAM NIM: PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1442 H

2

3

4

5 ABSTRAK Zaki Saiful Alam, NIM , PEMBAGIAN WARISAN POLIGAMI SIRRÎ MASYARAKAT DESA SINDANGLAKA PERSPEKTIF GENDER DAN MAQÂSID AL-SYARÎʻAH. Program Studi Magister Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020 M/1441 H. Jumlah Halaman: 166. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan tentang; Bagaimana praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî di Desa Sindanglaka Kec. Karang Tengah Kab. Cianjur Jawa Barat?, Bagaimana praktek pembagian warisan tersebut ditinjau dari teori gender menurut feminisme Islam dan maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî?. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris. Sedangkan jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian deskriptif analisis. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer, yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) dengan cara wawancara terhadap pihak-pihak terkait dan masyarakat setempat; kemudian sumber data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) terhadap buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; Pertama, praktek pembagian warisan terhadap isteri-isteri dan anak-anak hasil dari perkawinan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka dilakukan dengan beragam cara. Sebagian masyarakat menggunakan aturan yang terdapat dalam ketentuan farȃid dengan bantuan ulama setempat. Sebagian masyarakat lainnya melakukan pembagian warisan dengan kesepakatan internal keluarga yang terkadang tidak sesuai dengan aturan syariat, misalnya dengan cara membagi warisan kepada isteri-isteri masingmasing mendapatkan 1/8, dan membagi warisan kepada anak-anak dari isteri pertama dengan pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan sedangkan anak-anak dari isteri kedua dibagi dengan sama rata antara anak laki-laki dan perempuan. Kedua, praktek yang terjadi di desa Sindanglaka dalam perspektif teori gender menurut feminisme Islam tidak semuanya mencerminkan keadilan yang dimaksud kaum feminis muslim dalam pembagian warisan, ada yang sejalan dan ada juga yang tidak sejalan dengan keadilan gender. Ketiga, bila dilihat dalam perspektif maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî maka praktik yang dilakukan dengan ketentuan farȃid sesuai dengan maqâsid al-syarîʻah, kemudian maslahah yang dilindungi adalah perlindungan akan eksistensi agama (hifz al-dîn), perlindungan keturunan (hifz al-nasl) dan juga perlindungan harta (hifz al-mâl) yang semuanya berada pada peringkat sekunder (hâjiyyât) atau tersier (tahsîniyyât), sedangkan praktek yang dilaksanakan dengan kesepakatan keluarga ada yang sesuai dengan maqâsid al-syarîʻah ada juga yang tidak sesuai. Kata Kunci: Warisan, Poligami Sirrî, Sindanglaka, Gender, Maqâsid al-syarîʻah. Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A., Dr. Hj. Isnawati Rais, M.A. Daftar Pustaka: 1964 s.d 2017 v

6 زكي سيف العامل رقم قيادة الطالب. الملخ ص توزيع املرياث يف نكاح تعدد الزوجات السر ي يف أهايل قرية Sindanglaka حتت منظور العدالة بني اجلنسني ومقاصد الشريعة. قسم األحوال الشخصية للماجستري كلية الشريعة والقانون جامعة شريف هداية اهلل اإلسالمية م/ 1441 ه. عدد الصفحات: 166 ص. الزوجات السر ي الحكومية جاكرتا 2020 الغرض من هذه الدراسة هو اإلجابة على أسئلة حول: كيف تتم ممارسة توزيع املرياث يف نكاح تعدد يف قرية Sindanglaka منطقة Karang Tengah الفرعية حمافظة Cianjur جاوى الغربية كيف تتم تلك املمارسة يف توزيع املرياث من حيث نظرية العدالة بني اجلنسني ومن حيث نظرية مقاصد الشريعة عند اإلمام الشاطيب. النهج املستخدم يف هذه الدراسة هو هنج قانوين جترييب. ونوع هذا البحث هو حبث نوعي باستخدام طريقة التحليل الوصفي. تتألف مصدر البيانات املستخدم يف هذه الدراسة من مصادر البيانات األولية أي البحث امليداين من خالل إجراء مقابالت مع األطراف ذات الصلة واجملتمع احمللي مث مصادر البيانات الثانوية اليت مت احلصول عليها من أحباث املكتبة على الكتب املتعلقة باملسائل اليت نوقشت. نتائج الدراسة اليت خلصت إليها حاصلة يف األمور التالية أولا تتم ممارسة توزيع املرياث على الزوجات واألولد يف نكاح تعدد الزوجات السر ي اليت حدثت يف قرية Sindanglaka بطرق خمتلفة. يستخدم بعض الناس القواعد الواردة يف أحكام الفرائض مبساعدة من العلماء احملليني. وتقوم بعض العائلة األخرى يف التوزيع باتفاقيات عائلية داخلية ل تتوافق أحياناا الزوجات تأخذ كل واحدة منهن مع قواعد الشريعة على سبيل املثال عن طريق تقسيم املرياث على 8/1 وتقسيم املرياث ألولد والنساء بينما التقسيم بني أولد الزوجة الثانية يكون بالتساوي بني يف قرية حدثت الزوجة األوىل حسب تقسيم 2:1 Sindanglaka حتت السالمية وبعضها ل تتوافق مع العدالة بني اجلنسني منظور العدالة بني اجلنسني بني الرجال األولد الرجال والبنات. ثاني ا ا املمارسات اليت بعضها متفقة على مقصود نظرية النسوية عند أصحاب النسويني يف قضية توزيع املرياث. ثالثاا عند النظر إليها من منظور مقاصد الشريعة عند اإلمام الشاطيب تبني أن املمارسات اليت تتم وفق أحكام الفرائض تتفق مع مقاصد الشريعة واملصلحة املرجوة من ذلك هي حفظ الدين واملال والنسل وكل واحد منها داخل حتت املصلحة احلاجيات والتحسينيات وليس الضروريات تتوافق مع مقاصد الشريعة وبعضها ل تتوافق. يف حني أن املمارسات اليت تتم بعضها األسرة باتفاقيات الكلمة المفتاحية: املرياث تعدد الزوجات السر ي Sindanglaka العدالة بني اجلنسني مقاصد الشريعة. المشرف: األستاذة الدكتورة خزمية توحيد ينجو الدكتورة إسناوايت رئيس. مرجع: 1964 حىت 2017 vi

7 ABSTRACT Zaki Saiful Alam, NIM THE DISTRIBUTION OF THE POLYGAMY SIRRÎ HERITAGE OF THE PEOPLE IN SINDANGLAKA VILLAGE IN TERMS OF GENDER AND MAQÂSID AL-SYARÎʻAH PERSPECTIVE. Master of Family Law Study Program, Faculty of Sharia and Law, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2020 M / 1441 H. Number of Pages: 166. The purpose of this study is to answer the question of: How is the practice of dividing heritage in polygamy sirrî marriages in Sindanglaka Village, Karang Tengah Subdistrict, Cianjur Regency, West Java?, How is the practice of dividing heritage in terms of the theory of gender according to Islamic feminism and theory of maqâsid al-syarîʻah according to al-syâṯibî?. The approach used in this study is an empirical juridical approach. While this type of research is qualitative research using descriptive analysis method. The data source used in this study consisted of primary data sources, namely field research by interviewing relevant parties and the local community; then secondary data sources obtained from library research on books relating to the issues discussed. The results showed that; First, The practice of distributing heritage to wives and children resulting from polygamy sirrî marriages that occur in Sindanglaka village is done in various ways. Some people use the rules contained in the provisions of farȃid with the help of local scholars. Some other communities do the distribution with the internal agreement of the family which is sometimes not in accordance with the rules of the sharia, for example by way of dividing the inheritance to each wife gets 1/8, and dividing the inheritance to the children of the first wife by division 2:1 between men and women while the children of the second wife are equally divided between men and women. Secondly, The practices that occur in Sindanglaka village in the perspective of gender theory according to Islamic feminism do not all reflect the justice meant by muslim feminists in the distribution of inheritance, some are in line and some are not in line with gender justice. Third, when viewed from the perspective of maqâsid al-syarîʻah according to al-syâṯibî, the practice is carried out with farȃid provisions in accordance with maqâsid al-syarîʻah, then the maslahah is protected is protection of the existence of religion (hifz al-dîn), protection of heredity (hifz al-nasl) and also protection of property (hifz al-mâl), all of which are in secondary (hâjiyyât) or tertiary (tahsîniyât) ranks, while some of the practices carried out with family agreements are in accordance with maqâsid al-syarîʻah and some are not. Keywords: Heritage, Polygamy Sirrî, Sindanglaka, Gender, Maqâsid al-syarîʻah. Supervisor: Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A., Dr. Hj. Isnawati Rais, M.A. Bibliography: 1964 until 2017 vii

8 بسم اهلل الرحمن الرحيم KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan tesis ini sebagaimana mestinya. Shalawat serta salam tetap selalu tercurahkan kepada junjungan umat Islam Baginda Nabi Muhammad Saw. suri tauladan dan inspirator dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Tesis yang berjudul Pembagian Warisan Poligami Sirrî Masyarakat Desa Sindanglaka Perspektif Gender dan Maqâsid al-syarîʻah penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Prodi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis ingin mempersembahkan tesis ini teruntuk kedua orang tua tercinta Ayahanda Almarhum Ahmad Yahya dan Ibunda Aminah, semoga Allah Swt. selalu melimpahkan rahmat-nya kepada Ayahanda dan memberikan panjang umur sehat wal afiat kepada Ibunda tercinta, serta guru-guru penulis. Begitu juga dengan saudara-saudara penulis yang selalu memberikan support dan semangat kepada penulis agar tak mudah menyerah untuk menyelesaikan tesis ini. Segala karya tulis yang daʻîf tentunya masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, begitu juga pada penulisan tesis ini, yang kelak ditemukan oleh peneliti-peneliti selanjutnya. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini. Untuk itu penulis sangat menerima kritikan dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam penulisan tesis ini. Penulis menyadari bahwa suksesnya penulisan tesis ini tidaklah begitu saja dapat diselesaikan dengan mudah dan bukan semata-mata atas usaha penulis pribadi, namun juga karena bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang mendalam kepada: 1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc., M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. viii

9 2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. H. Nahrowi, S.H., M.H. dan Dr. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag., Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A. dan Dr. Hj. Isnawati Rais, M.A., Dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunujuk kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. 5. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf pengajar di lingkungan Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak pembelajaran serta motivasi dalam menuntut ilmu di kampus ini. 6. Jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam pengadaan referensi sebagai bahan rujukan tesis. 7. Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kab. Cianjur, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kab. Cianjur, Kepala Kantor Urusan Agama Kec. Karang Tengah, Kepala Desa Sidanglaka, serta para informan dan responden yang berada di kawasan penelitian, khususnya Ustadz Jamil Munawir selaku tokoh agama terkemuka di Sindanglaka. Terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Desa Sindanglaka serta memberikan fasilitas dan informasi yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. 8. Istri tercinta Siti Ainurrohmah, S.Pd. dan buah hatiku Sahlah Hanuunah; Darimu kekuatan ini selalu bangkit, darimu sayang dan cinta ini selalu hadir, kamu adalah alasan bagiku untuk selalu kuat menempuh dan mengarungi badai kehidupan yang datang menghampiri kita. 9. Rekan-rekan seperjuangan Magister Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak berbagi ilmu pengetahuan, pengalaman dan ix

10 informasi seputar pendidikan. Sahabat-sahabat dunia akhirat baik yang berdomisili di STAI Imam Syafi i Cianjur (Machrus Ali Syifa, S.H.I, M.H. dkk.) maupun yang berdomisili di kontrakan Ciputat (Ahmad Syauqi Rahman, S.H. dkk.) yang selalu mensupport penulis lewat ketulusan doa-doanya dan penyediaan tempat tinggal untuk penulis dalam mengerjakan tesis. Jakarta: 26 Agustus 2020 M 07 Muharram 1442 H Penulis x

11 PEDOMAN TRANSLITERASI 1 1. Padanan Aksara Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin: Huruf Arab Huruf Latin Keterangan ا tidak dilambangkan ب B Be ت T Te ث Ts te dan es ج J Je ح H ha dengan garis bawah خ Kh ka dan ha د D Da ذ Dz de dan zet ر R Er ز Z Zet س S Es ش Sy es dan ye ص S es dengan garis bawah ض D de dengan garis bawah ط T te dengan garis bawah ظ Z zet dengan garis bawah ع ʻ koma terbalik di atas, hadap kanan 1 Pedoman ini disesuaikan dengan buku pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017, h xi

12 غ Gh ge dan ha ف F Ef ق Q Ki ك K Ka ل L El م M Em ن N En و W We ه H Ha ء ʼ Apostrop ي Y Ye ة H Ha 2. Vokal Vokal dalam bahasa Arab seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan A fatẖah I kasrah U ḏammah Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ي Ai a dan i xii

13 و Au a dan u Contoh: = kataba ك ت ب urifa = ع ر ف kaifa =ك يف ẖaula =ح ول 3. Maddah (Vokal Panjang) Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd) yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ا Â a dengan topi di atas ي ȋ i dengan topi di atas و Ȗ u dengan topi di atas Contoh: kâna =ك ان qîla =ق يل daʻâ =د ع ا yaqûlu =ي ق ول 4. Ta Marbûţah 1. Ta Marbûtah hidup transliterasinya adalah /t/. 2. Ta Marbûtah mati transliterasinya adalah /h/. 3. Jika pada suatu kata yang akhir katanya adalah Ta Marbûtah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka Ta Marbûtah itu ditransliterasikan dengan /h/. Contoh: ẖadîqat al-ẖayawânât atau ẖadîqatul ẖayawânât =حديقة الحيوانات al-madrasat =المدرسة االبتدائية al-ibtidâʼiyyah atau al-madrasatul ibtidâʼiyyah hamzah =~حمزة. 5. Syaddah (Tasydîd) Syaddah/Tasydîd ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah (digandakan). xiii

14 Contoh: allama = ع ل م kurrima =ك ر م yukarriru =ي ك ر ر al-maddu =الم د 6. Kata Sandang a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiah ditransliterasi dengan huruf asli atau huruf Lam dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung.contoh: al-salâtu =الص ل ة b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh: al-bâẖitsu =ا لب اح ث al-falaqu =ا لف ل ق 7. Penulisan Hamzah a. Bila hamzah terletak di awal kata maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti alif, contoh: = ûtiya أ وت ي akaltu =أ ك لت b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof, contoh: 8. Huruf Kapital syaiʼun =ش يء taʼkulûna =ت أ ك ل ون Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata sandangnya, contoh: = Al-Qur an ا لق رآن = al-masʻûdî الم سع ود ي xiv

15 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii LEMBAR PERNYATAAN... iv ABSTRAK... v KATA PENGANTAR... viii PEDOMAN TRANSLITERASI... xi DAFTAR ISI... xv BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Permasalahan Identifikasi Masalah Pembatasan Masalah Perumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Review Kajian Terdahulu E. Definisi Operasional F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan BAB II KAJIAN TEORETIK TENTANG GENDER, MAQÂSID AL- SYARÎʻAH, DAN PEMBAGIAN WARISAN PERKAWINAN POLIGAMI SIRRÎ A. Teori Gender Sejarah Lahirnya Teori Gender Aliran-Aliran Feminisme Teori Gender Menurut Feminisme Islam B. Teori Maqâsid al-syarîʻah Maqâsid al-syarî ah dan Sejarah Perkembangannya xv

16 2. Dasar Hukum Maqâsid al-syarî ah Teori Maqâsid al-syarîʻah Menurut al-syâṯibî C. Pembagian Warisan Perkawinan Poligami Sirrî Perkawinan Poligami Sirrî dalam Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam Pembagian Warisan Poligami Sirrî dalam Hukum Positif di Indonesia Pembagian Warisan Poligami Sirrî dalam Hukum Farâid BAB III GAMBARAN UMUM DESA SINDANGLAKA DAN PEMBAGIAN WARISAN PADA PERKAWINAN POLIGAMI SIRRÎ A. Gambaran Umum Masyarakat Desa Sindanglaka Letak Geografis dan Demografis Keadaan Etnis dan Keagamaan Kondisi Ekonomi Masyarakat Desa Sindanglaka Permasalahan Sosial-Kultural B. Perkawinan Poligami Sirrî dan Pembagian Warisan di Desa Sindanglaka Catatan Penelitian Perkawinan Poligami Sirrî di Desa Sindanglaka Pembagian Warisan Perkawinan Poligami Sirrî di Desa Sindanglaka Peran Tokoh Agama Tingkat Desa dalam Penyelesaian Perkara Warisan BAB IV ANALISIS TEORI GENDER DAN MAQÂSID AL-SYARÎʻAH TERHADAP PEMBAGIAN WARISAN POLIGAMI SIRRÎ DI DESA SINDANGLAKA A. Analisis Teori Gender Menurut Feminisme Islam Terhadap Pembagian Warisan Poligami Sirrî di Desa Sindanglaka xvi

17 B. Analisis Teori Maqâsid al-syarîʻah Menurut al-syâṯibî Terhadap Pembagian Warisan Poligami Sirrî di Desa Sindanglaka C. Refleksi Filosofis dan Interpertasi BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIODATA xvii

18 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu peninggalan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda terhadap bangsa Indonesia adalah timbulnya keanekaragaman hukum yang berlaku. Hal ini menyebabkan timbulnya golongan-golongan, dan pada setiap golongan diberlakukan hukum-hukum yang berbeda-beda. Berdasarkan pasal 163 Indonesische Staatsregeling (ISR) terdapat tiga golongan di Indonesia pada masa tersebut yaitu golongan eropa, golongan timur asing, dan golongan bumiputera/pribumi. Bagi rakyat Indonesia yang merupakan golongan bumiputera, berdasarkan pasal 131 ayat (2) sub b jo. pasal 131 ayat (6) ISR, bahwa untuk hal- hal yang tidak diatur dalam Ordonansi-ordonansi yang mengatur hukum perdata dan dagang, diberlakukan peraturan hukum yang bertalian dengan agama dan adat/kebiasaan mereka. 1 Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian kecil dari hukum keluarga. Hukum waris memiliki kaitan erat dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yaitu kematian yang akan menimbulkan masalah berupa bagaimana cara penyelesaian hak dan kewajiban bagi pewaris dan ahli waris. 2 Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. 3 1 I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), h. 1. Lihat; Dandia Magna Rijkova, Agung Basuki Prasetyo, Sukirno, Perkembangan Praktik Pembagian Warisan Menurut Hukum Waris Adat Betawi, (Diponegoro Law Jurnal: Vol. 5, No. 3, 2016), h. 2, diakses pada tanggal 8 April Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, & BW, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), h. 1. Lihat; Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1980), h. 3. Lihat; Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, (Jakarta: Pradya Paramita, 2003), h Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), h

19 2 Hukum waris yang ada di Indonesia masih bersifat majemuk. Kemajemukan ini terjadi karena di Indonesia sendiri belum memiliki undangundang mengenai hukum waris nasional sebagai lex specialis. Namun sungguhpun demikian, berbagai acuan hukum sudah ada dalam bidang waris, yaitu hukum perdata, hukum adat, Kompilasi Hukum Islam, berbagai yurisprudensi, dan berbagai kebiasaan yang hidup dalam masyarakat dalam menyelesaiakan masalah waris. 4 Dengan demikian sebenarnya tidak ada kekosongan hukum dalam lapangan waris. Kasus waris bukanlah kasus yang umum terjadi dalam hidup keseharian warga masyarakat Indonesia, dibandingkan dengan kasus perkawinan atau perceraian. Kasus waris melekat pada perkara kematian yang ada hubungannya dengan status perkawinan, perceraian atau hubungan darah. Tidak jarang peristiwa pembagian warisan menimbulkan konflik yang tersembunyi maupun sengketa terbuka. Penyelesaiannya pun dilakukan dengan banyak cara, dan dalam hal ini membawa kasus waris ke pengadilan negara (pengadilan negeri maupun pengadilan agama) bukanlah satu-satunya cara. Salah satu konflik yang timbul dalam peristiwa pembagian warisanan adalah penyelesaian sengketa warisan yang terjadi pada perkawinan poligami/poligini. Sengketa warisan dalam ranah poligami ini melibatkan para pihak yang bersaudara tiri ataupun antara isteri kedua dengan anak-anak dari isteri pertama. Dalam hal ini muncul perdebatan tentang siapakah yang berhak mendapatkan warisanan dari peninggalan pewaris. Apakah orang-orang yang berasal dari lain perkawinan berhak untuk mendapatkan warisan atau tidak. Persoalan inilah yang sering muncul dalam sengketa warisan pada perkawinan poligami. Penyelesaian pembagian warisan dalam perkawinan poligami juga dapat diselesaikan dengan tanpa sengketa antara para pihak yang bersangkutan. Hal ini biasanya terjadi di beberapa daerah yang memang masyarakatnya menggunakan hukum adat atau kebiasaan dalam penyelesaian masalah warisan, masyarakat yang 4 Sulistyowati Irianto, Pluralisme Hukum Waris dan Keadilan Perempuan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), h. 3.

20 3 patuh serta tunduk terhadap keputusan yang diberikan oleh para tokoh masyarakat dan pemangku hukum yang hidup di tengah-tengah mereka. Dalam kasus tanpa sengketa, tersedia sumber pengetahuan yang kaya tentang bagaimana perempuan diproyeksikan dalam hukum adat atau kebiasaan dan penerapannya dalam hidup keseharian masyarakat serta bagaimanakah pengalaman perempuan dalam kasus pembagian warisan poligami tersebut. Permasalahan juga muncul ketika salah satu ahli waris mengambil alih kekuasaan dalam pembagian warisan. Pemaknaan tentang warisan dalam perspektif gender pada kasus perkawinan poligami dan kasus-kasus warisan lainnya adalah bahwa hukum waris dilihat sebagai produk kompromi dan biasanya dengan perempuan sebagai pihak yang dikalahkan. Ketidakadilan porsi dan penempatan perempuan dalam masalah waris secara umum akan dapat dijumpai bila kita menggunakan perspektif perempuan/feminisme dalam menganalisis berbagai hukum yang mengatur masalah warisan di Indonesia, yaitu hukum negara, hukum adat, hukum agama, dan hukum kebiasaan. 5 Dengan demikian, pertanyaan penting dalam masalah warisan pada perkawinan poligami adalah bagaimanakah perempuan (janda dan anak-anak perempuan) diproyeksikan oleh hukum, serta bagaimanakah hukum negara, agama (khususnya Islam), dan adat atau kebiasaan menempatkan perempuan dalam kasus warisan tersebut. Wacana akses keadilan bagi perempuan selain mengacu kepada hukum negara dan agama, juga mengacu kepada hukum kebiasaan yang hidup di masyarakat. Adat atau kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat dengan berbagai mekanisme hukumnya adalah suatu realitas yang paling dekat dengan rasa keadilan rakyat. 6 Dalam adat serta kebiasaan dapat dijumpai adanya berbagai mekanisme penyelesaian sengketa warisan yang dalam konteks tertentu sukar dipisahkan dari struktur politik lokal dan budaya setempat. Inisiatif perempuan untuk menggunakan proses penyelesaian sengketa atau mekanisme alternatif (adat/kebiasaan) yang ada dalam masyarakat dalam rangka mendapatkan akses kepada keadilan, juga sering tidak didukung oleh 5 Sulistyowati Irianto, Pluralisme Hukum Waris dan Keadilan Perempuan,..h Yayasan Jurnal Perempuan, Menggalang Perubahan. Perlunya Perspektif Gender dalam Otonomi Daerah, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004), h. 11.

21 4 masyarakat luas yang secara kultural masih bersifat patriarkis. 7 Permasalahannya adalah tentang cara menempatkan perempuan dan akses keadilan baginya dalam hukum yang hidup ditengah masyarakat. Pembagian warisan dalam perkawinan poligami adalah salah satu hukum yang telah ditetapkan syariat Islam. Kemudian agama Islam mengajarkan bahwa terciptanya sebuah hukum akan mempunyai tujuan hukum yang pasti, yakni sebuah keadilan dan kemaslahatan, tujuan hukum itu sering disebut sebagai maqâsid al-syarîʻah. Maqâsid al-syarîʻah adalah metode filsafat hukum Islam yang merupakan bagian dari ilmu Ushul Fikih. Maqâsid al-syarîʻah dalam penerapannya memiliki hal pokok yang wajib didahulukan pemeliharaannya, yakni mendahulukan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Permasalahan tentang warisan dalam perkawinan poligami ditinjau dari maqâsid al-syarîʻah merupakan konsep untuk mengetahui tentang hikmah (nilainilai dan sasaran syaraʻ yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur an dan Hadits) yang ditetapkan oleh Allah Swt terhadap manusia, adapun tujuan akhir hukum waris tersebut adalah untuk mencapai maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia (dengan muamalah) maupun di akhirat (dengan akidah dan ibadah). 8 Maqâsid al-syarîʻah membagi skala prioritas yang saling melengkapi, sebagaimana yang telah dikonsep oleh beberapa ulama diantaranya adalah Abû Ishâq Al-Syâṯibî, salah seorang ilmuwan yang ahli dalam bidang Ushul Fikih. Konsep al-syâṯibî adalah; pertama al-darûriyyât (keharusankeharusan), kedua al-hâjiyyât (kebutuhan-kebutuhan), ketiga al-tahsîniyyât (proses-proses dekoratif-ornamental). 9 Agama Islam memperbolehkan seorang suami untuk menikahi lebih dari seorang isteri, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Al-Qur an surat al-nisaʼ (4) ayat: 3, sehingga dalam peraturan mengenai pembagian warisan terhadap isteri- 7 Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2006), h Jaser Audah, Al-Maqâsid Untuk Pemula, terj. Ali Abdelmon im, (Yogyakarta: SUKA- Press UIN Sunan Kalijaga, t.t), h Yudian Wahyudi, Maqâsid Syariʻah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: Nawesea Press: Center for the Study of Islam in Nort America, Western Europe and Southeast Asia Press, 2014), h

22 5 isteri dan anak-anak hasil perkawinan tersebut jelas diatur dengan baik dalam Al- Qur an. Perkawinan poligami yang terjadi di Indonesia dalam prakteknya sangat jarang didaftarkan di lembaga pencatat perkawinan, karena untuk mencatatkannya seorang suami harus mendapat persetujuan atau izin dari isteri pertama melalui Pengadilan Agama sebagaimana tersebut dalam pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Dalam prakteknya, jarang terjadi perempuan memberikan izin agar suaminya dapat melakukan perkawinan poligami. Akibat dari tidak tercatatnya perkawinan tersebut adalah adanya hambatan di kemudian hari dalam pelaksanaan pembagian warisan, karena isteri kedua dan seterusnya beserta anak-anak hasil dari perkawinan tersebut tidak mempunyai status hukum yang kuat dan jelas, sebab perkawinannya dilakukan secara sirrî atau di bawah tangan. 10 Hukum positif di Indonesia mengatur bahwa untuk mengajukan gugatan terhadap haknya, maka pihak isteri kedua terlebih dahulu harus mengajukan sidang itsbat pernikahan di Pengadilan Agama tempat domisilinya untuk mendaftarkan perkawinanan yang selama ini dilakukan secara sirrî, dengan penetapan Pengadilan Agama dalam sidang itsbat perkawinan, maka penetapan tersebut dapat dijadikan dasar dalam mengajukan gugatan masalah waris di Pengadilan Agama di tempatnya berdomisili. Namun kenyataan yang terjadi adalah bahwa sidang itsbat pernikahan karena poligami jarang dikabulkan oleh pihak Pengadilan Agama. Hal tersebut seringkali disebabkan oleh sidang izin poligami yang ditolak Pengadilan karena pihak isteri pertama ternyata menolak atau tidak memberikan izin poligami terhadap suaminya yang telah meninggal dunia. Dengan demikian maka permohonan pihak isteri kedua untuk menetapkan perkawinannya dalam lembaga pencatat perkawinan ditolak oleh pihak Pengadilan. Maka akibatnya adalah isteri kedua dan seterusnya tidak berhak atas warisan peninggalan suaminya yang telah wafat, karena perkawinannya tidak sah secara hukum. 10 Asuan, Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Warisan Pada Perkawinan Poligami Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (E-Jurnal Hukum Unpal Vol. 7, No. 1 Januari, 2015), h. 138, diakses pada tanggal 10 April 2019.

23 6 Fenomena perkawinan poligami sirrî/tidak tercatat di Indonesia terjadi di berbagai kalangan dan daerah, salah satunya terjadi pada masyarakat di Desa Sindanglaka, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan tentang pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami yang dilakukan masyarakat di daerah tersebut. Alasan pemilihan lokasi di desa Sindanglaka -berdasarkan peninjauan awal- adalah karena praktek pembagian warisan dalam sebuah keluarga poligami sirrî/tidak tercatat di daerah tersebut tidak semuanya diselesaikan sesuai dengan ketentuan farâid, banyak diantaranya diselesaikan dengan kesepakatan internal keluarga yang biasanya dilakukan dengan dipimpin oleh pihak isteri pertama dan anak-anaknya dan terkadang terkesan ingin menguasai seluruh harta tanpa memperhatikan hak isteri kedua dan anak-anaknya secara adil. Dalam praktek lainnya masalah warisan pada perkawinan poligami sirrî dilakukan sesuai dengan ketentuan pembagian warisanan dalam kitab-kitab ulama Fikih atau farâid dengan dibantu oleh ulama setempat. Namun terjadi juga sebuah praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî tanpa melibatkan ulama setempat dan dilakukan secara internal kekeluargaan, dalam hal ini pembagian dilakukan sesuai keputusan pemegang kekuasaan dalam kesepakatan keluarga yang biasanya diambil alih oleh ahli waris dari isteri pertama, namun penggunaan ketentuan farâid masih dilakukan walaupun tidak secara keseluruhan. 11 Pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî dalam ketentuan farâid adalah isteri pertama dan seterusnya mendapatkan porsi yang sama besar. Apabila suami mempunyai anak, maka bagian isteri atau isteri-isteri adalah 1/8. Apabila isteri ada dua maka 1/8 dibagi untuk dua orang isteri tersebut, masingmasing menjadi 1/16. Jika suami tidak mempunyai anak, maka bagian isteri adalah ¼, kemudian dari ¼ itu dibagikan kepada jumlah orang isteri dengan porsi yang sama besarnya. Apabila isteri ada dua maka dibagi untuk dua orang isteri tersebut masing-masing menjadi 1/ Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawir salah satu tokoh agama di desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya. 12 Muhammad Abduh Yazid, Al-Manâhij Al-Hadîtsah fî Al-Mabâhits Al-Mîrâtsiyyah, (Cianjur: al-markaz al-dauly li al- Ulûm al-islâmiyyah bi Maʻhad al-barakah, 2010), h. 35.

24 7 Praktek yang terjadi di desa Sindanglaka pada umumnya tidak sesuai dengan ketentuan farâid. Karena pelaksanaannya diatur dan dikuasai oleh pihak ahli waris dari isteri pertama dalam sebuah kesepakatan keluarga. Hal itu terbukti pada salah satu keluarga dengan salah seorang ahli waris yang bernama H. Qus, H. Yusuf, dan Syaiful. Keluarga tersebut melaksanakan pembagian warisan tanpa membagi kepada isteri-isteri bagian 1/8 dibagi secara merata. Seharusnya mereka melaksanakan pembagian sesuai ketentuan hukum Islam akan tetapi isteri-isteri mendapatkan masing-masing 1/8. Sedangkan harta peninggalan untuk anak-anak adalah 2:1 antara laki-laki dan perempuan. Harta peninggalan tidak semua berwujud nominal uang, melainkan berupa benda yang tidak bergerak seperti rumah, tanah, sawah, dan lain-lain. Dalam pembagian warisan berupa tanah terjadi juga perbedaan dengan ketentuan Islam yaitu bagian antara isteri-isteri tidak sama, isteri pertama mendapatkan 400 meter tanah sedangkan isteri kedua 350 meter tanah, isteri ketiga dan keempat masing-masing mendapatkan 150 meter tanah dan 100 meter tanah, hal ini menunjukkan ketidakseimbangan dalam pembagian warisan. 13 Praktek lain terjadi dalam sebuah keluarga dengan salah seorang ahli waris bernama H. Nang. Bapaknya H. Umar, yang berpoligami meninggalkan ahli waris dua anak laki-laki dan empat anak perempuan dari isteri pertama, kemudian satu anak laki-laki dan dua anak perempuan dari isteri kedua. Pembagian untuk anakanak dari isteri pertama dilakukan dengan porsi 2:1 sedangkan untuk anak-anak dari isteri kedua dibagi sama rata. Isteri pertama dan kedua mendapatkan bagian yang sesuai dengan ketentuan hukum farâid yakni 1/8 dibagi sama rata. 14 Hal lain berbeda dengan yang terjadi dalam praktek-praktek sebelumnya, dalam sebuah keluarga poligami pembagian warisan dilakukan dengan tidak memperhatikan hak isteri kedua dan seterusnya, hal itu terbukti pada keluarga bapak almarhum H. Abdullah, salah satu ahli waris yang bernama ibu Nurjanah mengatakan pembagian warisan hanya dilakukan kepada isteri pertama dan anak- 13 Wawancara dengan keluarga poligami bapak H. Qus, H. Yusuf, dan bapak Syaiful di desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 4 Maret 2020 di rumah masing-masing. 14 Wawancara dengan keluarga poligami bapak H. Nang di desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 4 Maret 2020 di rumahnya.

25 8 anaknya dengan ketentuan hukum Islam atau farâid, sedangkan untuk isteri kedua dan anak-anak dari isteri kedua hanya mendapatkan harta berupa hibah atau shodaqoh dari pihak ahli waris lainnya berdasarkan kesepakatan seluruh keluarga. Setelah dilakukan wawancara selanjutnya, ternyata sebab dari pelaksanaan seperti itu karena perkawinan almarhum H. Abdullah dengan isteri kedua dilakukan secara sirrî atau dibawah tangan. Pembagian waris pada awalnya dibantu oleh seorang ustad setempat, namun dalam pemberian hibah dilakukan pihak keluarga secara internal. 15 Pelaksanaan pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka menunjukkan bahwa isteri-isteri yang dinikahi secara tidak tercatat tidak mempunyai hak untuk menuntut bagiannya dalam porsi warisan, dan tidak memiliki kesempatan untuk ikut serta dalam musyawarah pembagian hak masing-masing ahli waris, mereka hanya menerima dan pasrah terhadap apa yang telah ditetapkan oleh pihak ahli waris dari isteri pertama. Walaupun demikian, bukan berarti masyarakat meninggalkan ketentuan hukum Islam begitu saja, penggunaan ketentuan farâid masih dilakukan oleh keluarga yang dalam pembagiannya menggunakan kesepakatan atau musyawarah, namun hal itu tidak dilakukan secara keseluruhan atau adanya pemahaman yang salah terhadap penggunaan ketentuan farâid. Pelaksanaan pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka menimbulkan pertanyaan menarik tentang bagaimana praktek yang terjadi jika ditinjau dari perspektif keadilan gender dan teori maqâsid al-syarîʻah. Apakah praktek yang terjadi sejalan dengan prinsip keadilan yang dimaksud dalam teori keadilan gender menurut feminisme atau justru tidak sejalan, lalu apakah praktek yang diselesaikan secara kekeluargaan memberikan kemaslahatan bagi seluruh ahli waris sebagaimana ketentuan yang ada dalam farâid. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat beberapa hal menarik serta mendasar yang dapat memberikan manfaat maupun rujukan. Oleh 15 Wawancara dengan keluarga poligami bapak H. Abdullah dengan salah satu ahli waris yaitu ibu Nurjanah di desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 10 Maret 2020 di rumahnya.

26 9 karena itu penulis akan membahasnya ke dalam sebuah penelitian dengan judul: Pembagian Warisan Poligami Sirrî Masyarakat Desa Sindanglaka Perspektif Gender dan Maqâsid al-syarîʻah. B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah sebelumnya, maka dapat diambil beberapa poin penting yang menjadi identifikasi masalah, yaitu: a. Perkawinan poligami sirrî. b. Pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî. c. Aturan syariat Islam tentang pembagian warisan pada perkawinan poligami. d. Konsep keadilan gender menurut feminisme. e. Maqâsid al-syarîʻah menurut Abû Ishâq al-syâṯibî. f. Pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî menurut konsep keadilan gender. g. Pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî menurut maqâsid alsyarîʻah. h. Pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat. i. Praktek pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî di Desa Sindanglaka dalam perspektif keadilan gender. j. Praktek pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî di Desa Sindanglaka dalam perspektif maqâsid al-syarîʻah. 2. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut di atas, maka penulis membatasi permasalahan dengan memfokuskan kepada pembahasan mengenai pelaksanaan pembagian warisan terhadap isteri-isteri dan anak-anak dalam perkawinan poligami sirrî yang terjadi pada masyarakat di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat, dan keluarga poligami sirrî yang dimaksud adalah keluarga yang mana suami atau kepala

27 10 keluarganya telah meninggal dunia. Dari pelaksanaan yang terjadi akan dilakukan analisis dengan menggunakan perspektif gender menurut aliran feminisme Islam yang membolehkan poligami seperti Asghar Ali Engineer dan Masdar F. Masʻudi, kemudian analisis selanjutnya akan dilakukan dengan menggunakan teori maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî. 3. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan pokok yang menjadi dasar dalam penelitian ini adalah analisis praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî yang terjadi di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat dalam perspektif keadilan gender menurut feminisme Islam dan teori maqâsid al-syarîʻah Abû Ishâq al-syâṯibî. Permasalahan pokok tersebut dapat dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimana praktek pembagian warisan perkawinan poligami sirrî yang terjadi di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat? b. Bagaimana tinjauan teori gender perspektif feminisme Islam terhadap praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat? c. Bagaimana tinjauan teori maqâsid al-syarîʻah menurut Al-Syâṯibî terhadap praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tentang pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî yang terjadi di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat. Kemudian melakukan analisis berdasarkan perspektif keadilan gender menurut feminisme Islam dan maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî. Adapun tujuan penelitian ini secara berurutan adalah:

28 11 a. Mendeskripsikan tentang pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî pada masyarakat di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat. b. Menganalisis tinjauan teori gender menurut feminisme Islam terhadap praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat. c. Menganalisis tinjauan teori maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî terhadap praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat. 2. Manfaat Penelitian Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama. Dengan tujuan penelitian di atas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis; a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur kepustakaan tentang pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî berdasarkan teori keadilan gender menurut feminisme Islam dan teori maqâsid al-syarîʻah dalam hukum Islam. Serta memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, terutama tentang akses keadilan bagi perempuan dalam hukum warisan di Indonesia dan akibat hukum pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî. Kemudian penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas. b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan untuk pelaksanaan, pengambilan keputusan dan evaluasi kinerja dalam praktek pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî. Dan memberikan pencerahan kepada sebagian masyarakat khususnya para perempuan di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat tentang apa dan bagaimana seharusnya keadilan diterapkan dalam keseharian mereka khususnya dalam masalah warisan.

29 12 D. Review Kajian Terdahulu Berdasarkan hasil penelusuran, penulis belum menemukan adanya penelitian yang membahas secara khusus tentang pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî yang terjadi pada masyarakat di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat. Review penelitian terdahulu ini penulis paparkan agar penulis dapat menunjukkan posisi penelitian ini pada ruang kajian yang masih belum terisi, khususnya tentang pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî yang terjadi pada masyarakat di daerah tersebut. Penelitian tentang tema pembagian warisan dalam perkawinan poligami bukan merupakan penelitian pertama, karena sudah ada peneliti-peneliti sebelumnya yang berbicara tentang tema tersebut, antara lain; Penelitian dalam bentuk tesis yang disusun oleh Nadia Akass dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Warisanan dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224/K/AG/2011). Pokok penelitian tersebut membahas tentang bagaimana pengaturan pembagian warisan dalam hal terjadinya poligami menurut perspektif Hukum Waris Islam dan bagaimana pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224/K/AG/2011, serta apa yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus perkara No. 224/K/AG/ Persamaan penelitian yang disusun oleh Nadia Akass dengan penelitian ini adalah pembahasan tentang pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami. Adapun letak perbedaannya adalah lokasi penelitian, karena penulis memilih penelitian tentang putusan Mahkamah Agung No. 224/K/AG/2011, sedangkan lokasi dalam penelitian ini adalah Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat. Kajian mengenai pembagian warisan menurut gender ditulis oleh Muhib Hidayatullah dalam bentuk tesis dengan judul Tinjauan Hukum Islam Terhadap 16 Nadia Akass, Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaa Pembagian Warisanan dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224/K/AG/2011), (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012).

30 13 Pendekatan Gender dalam Pembagian Warisan (Studi Atas Pemikiran Siti Musdah Mulia). Penelitian tersebut mengemukakan bahwa sebagai salah satu tokoh feminis, Siti Musdah Mulia membangun terobosan pemikiran dan mendorong keadilan gender dalam pembagian waris laki-laki dan perempuan dengan mengajukan formulasi baru berupa skema pembagian waris 1:1 antara laki-laki dan perempuan. Ide ini lebih jauh dituangkan oleh Siti Musdah Mulia ke dalam suatu draft tandingan bagi revisi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang dipandangnya tidak memiliki keadilan gender. Penelitian tersebut memuat pokok masalah, yakni untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana konsep pembagian warisan yang berkeadilan gender menurut pemikiran Siti Musdah Mulia, serta bagaimana pandangan hukum Islam terhadap konsep pembagian warisan yang digagas oleh Siti Musdah Mulia. 17 Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan penulis bahas terletak pada permasalahan tentang pembagian warisan dan penggunaan perspektif gender sebagai pisau analisis, sedangkan letak perbedaannya adalah lokasi penelitian dan tambahan teori maqâsid al-syarîʻah sebagai metode analisis hukum. Penelitian oleh Yofriko Sundalangi dengan judul Hak Waris Isteri Kedua dari Perkawinan Poligami Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Nomor 253/Pdt.g/2012/Pn.Mks). Penelitian tersebut bertujuan untuk mengkaji dan mengetahui tentang keabsahan perkawinan dari perkawinan poligami tanpa izin, serta mengkaji apa latar belakang pertimbangan Majelis Hakim memutus perkara tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa poligami yang dilakukan tanpa izin berdampak pada hak waris isteri-isteri dan anak-anak hasil perkawinan tersebut yakni tidak berhak menerima warisan. 18 Persamaan penelitian yang disusun oleh Yofriko Sundalangi dengan penelitian ini terletak dalam pembahasan tentang pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami. Adapun letak perbedaannya adalah lokasi penelitian, karena penulis dalam penelitiannya 17 Muhib Hidayatullah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pendekatan Gender dalam Pembagian Warisan (Studi Atas Pemikiran Siti Musdah Mulia), (Yogyakarta: Fakultas Syari ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2011). 18 Yofriko Sundalangi, Hak Waris Isteri Kedua dari Perkawinan Poligami Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Nomor 253/Pdt.g/2012/Pn.Mks), (Makassar: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2014).

31 14 memilih kasus tentang putusan No. 253/Pdt.g/2012/Pn,Mks, sedangkan lokasi dalam penelitian ini adalah Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat. Selanjutnya artikel dalam sebuah jurnal oleh Bambang Sugianto dengan judul Kedudukan Ahli Waris Pada Perkawinan Poligami. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa dalam pembagian warisan bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan poligami ditentukan asal mula harta apakah harta yang ditinggalkan orang tua merupakan harta bawaan atau harta bersama dari hasil perkawinan. Pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami dapat dilakukan atas kesepakatan antar semua pihak ahli waris. Apabila tidak tercapai kesepakatan maka pembagian warisan dalam perkawinan poligami dapat dilakukan dengan pengajuan gugatan kewarisan di Pengadilan. 19 Artikel dalam sebuah jurnal yang disusun oleh Ananda Zuliantika dengan judul Pembagian Hak Waris Pada Perkawinan Poligami dalam Masyarakat Adat Minangkabau Kecamatan Matur Kabupaten Agam. Dalam artikel jurnal tersebut menjelaskan bahwa poligami yang dilakukan oleh masyarakat adat Minangkabau di Kabupaten Agam dilakukan hanya secara agama. Pelaksanaan pembagian hak waris dalam perkawinan poligami tidak sesuai dengan aturan agama. Pembagian dilakukan dengan cara musyawarah mufakat. Isteri pertama mendapatkan bagian lebih besar dari pada isteri kedua, kemudian pada pembagian waris kedudukan anak perempuan lebih di prioritaskan. Adanya niat untuk menjadikan harta pusako rendah menjadi harta pusako tinggi. 20 Persamaan penelitian yang disusun oleh Ananda Zuliantika dengan penelitian ini terletak pada pembahasan tentang pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami. Adapun letak perbedaannya adalah lokasi penelitian dan objek dari adat yang dibahas yakni adat Minangkabau, sedangkan lokasi dalam penelitian ini 19 Bambang Sugianto, Kedudukan Ahli Waris Pada Perkawinan Poligami, (Jurnal Al Adl, Volume IX Nomor 2, Agustus 2017), ISSN /ISSN-E , diakses pada tanggal 9 April Ananda Zuliantika, Pembagian Hak Waris Pada Perkawinan Poligami dalam Masyarakat Adat Minangkabau Kecamatan Matur Kabupaten Agam, (Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau, Volume V, No. 1, April 2018), diakses pada tanggal 14 April 2019.

32 15 adalah Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di daerah tersebut. Kajian dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dengan demikian memiliki perbedaan dengan kajian-kajian yang sudah ada, sehingga dapat mengisi kekosongan dalam kajian hukum pembagian warisan dalam perkawinan poligami. Penelitian ini sebagaimana dikemukakan, berusaha untuk mengkaji praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî yang terjadi pada masyarakat di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat, kemudian menganalisisnya menurut keadilan gender dan teori maqâsid al-syarîʻah. Berdasarkan review studi terdahulu, penulis menyimpulkan bahwa belum ada peneltian ataupun artikel yang membahas secara khusus tentang pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka, oleh karena itu penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. E. Definisi Operasional Definisi operasional adalah sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis. Definisi operasional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. 21 Definisi-definisi atau kerangka konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Pembagian warisan adalah perpindahan pemilikan dari mayit kepada para ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang) atau rumah atau salah satu hak syarʻi, pembagian dilakukan setelah dipergunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal dunia, biaya pengurusan jenazah (tajhîz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h F. Satriyo Wicaksono, Hukum Waris, Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta Warisan, (Jakarta: Visimedia, 2011), h Lihat; Muhammad Ali Al-Shabuni, Ilmu Hukum Waris, h. 26.

33 16 2. Perkawinan poligami sirrî adalah perkawinan yang dilakukan lebih dari satu kali dan tidak dicatatkan di lembaga pencatatan perkawinan, atau perkawinan dengan isteri kedua dan selanjutnya yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan perkawinan. 3. Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk menyamaratakan hak dan tanggung jawab berdasarkan identifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi sosial-budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis Ulama Ushul Fiqih mendefinisikan maqâsid al-syarîʻah adalah makna dan tujuan yang dikehendaki syaraʻ dalam mensyariatkan hukum bagi hambanya (manusia). Setiap hukum yang diciptakan syâriʻ pasti mengandung kemaslahatan bagi hamba Allah Swt, baik kemaslahatan yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena itu, setiap mujtahid ketika akan mengistimbatkan hukum harus berpatokan pada tujuan-tujuan syâriʻ dalam mensyariatkan hukum, sehingga hukum yang akan ditetapkannya sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. 24 Berdasarkan definisi-defini diatas dapat disimpulkan bahwa maksud daripada judul dalam penelitian ini adalah kajian tentang pembagian warisan pada perkawian poligami sirrî dalam perpsektif keadilan gender dan maqâsid alsyarîʻah. Objek penelitian yang dilakukan adalah desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat. F. Metode Penelitian Penulisan penelitian ini terdiri dari beberapa aspek metode penelitian yang akan digunakan, yaitu: 1. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris yaitu suatu cara yang digunakan untuk memecahkan rumusan 23 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur an, (Jakarta: Paramadina, 2001), h Abdul Aziz Dahlan et. al (ed), Ensiklopedi Hukum Islam 4, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h

34 17 masalah dimana peneliti mencoba menggambarkan dan menginterpretasikan objek apa adanya dan sesuai kenyataan Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian lapangan (field research) dan kepustakaan (library research) sebagai dasar untuk memperoleh data primer maupun sekunder yang memiliki korelasi dengan pembahasan ini. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa studi kepustakaan terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer yang didapat langsung dari lapangan di Masyarakat Desa Sindanglaka, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis. Penelitian deskriptif memusatkan perhatian kepada masalah aktual, peneliti berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut. 26 Kemudian dari deskripsi peristiwa tersebut dilakukan analisis, sehingga dapat diperoleh penjelasan tentang pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî yang terjadi pada masyarakat di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat ditinjau dari perspektif keadilan gender dan teori maqâsid al-syarîʻah. 3. Sumber Data Bahan dan data yang digunakan diperoleh dari data primer dan data sekunder yang sesuai dengan metode pendekatan yuridis empiris. Data-data tersebut antara lain sebagai berikut: a. Data Primer Data primer sebagai data yang bersifat utama dan penting untuk mendapat sejumlah informasi yang dapat diperoleh dari hasil pengamatan melalui penelitian lapangan (field research) dengan cara interview yaitu wawancara terhadap pihakpihak terkait dan masyarakat setempat. 25 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h 111.

35 18 b. Data Sekunder Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dan studi dokumen. Data ini meliputi: 1) Bahan primer yaitu kitab al-muwâfaqât fî Usûl al-syarîʻah karya Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ al-syâṯibî dan buku-buku tentang gender menurut Feminis Muslim yang membolehkan poligami sesuai dengan yang disebutkan dalam pembatasan masalah sebelumnya; 2) Bahan sekunder sebagai bahan pendukung terhadap bahan primer yang mencakup buku-buku tentang isu-isu keadilan dan kesetaraan gender menurut teori feminisme Islam. Kemudian tentang maqâsid al-syarîʻah seperti kitab Ḏawâbiṯ al-maslahah karya Muhammad Saʽid Ramaḏân al-bûṯî, dan kajian-kajian hukum lain yang sesuai dengan permasalahan penelitian ini; 3) Bahan tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan primer dan bahan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, jurnal ilmiah, internet dan lain-lain, sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan dibahas. 4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Interview (wawancara) yang diperoleh secara langsung dari responden dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berdasarkan kerangka yang telah dibuat sebelumnya. Dalam menetapkan responden, penulis menggunakan teknik snowball sampling yang merupakan teknik pengambilan sampel dengan bantuan key informan, dan dari key informan inilah akan berkembang sesuai petunjuknya. Dalam hal ini penulis menentukan kriteria sebagai persyaratan untuk dijadikan sampel. Sebelum menentukan sampel, penulis terlebih dahulu melakukan wawancara terhadap anggota administrasi desa seperti sekretaris desa, ketua RW, dan ketua RT sebagai bahan informasi yang akan penulis gunakan untuk menentukan sampel. Dengan teknik snowball sampling ini dipilih

36 19 responden berjumlah satu orang sebagai key informan yang merupakan ahli waris dari keluarga yang pernah melakukan poligami sirrî di Desa Sindanglaka, untuk selanjutnya memberikan petunjuk siapa responden dari warga masyarakat yang bersedia untuk meberikan data tentang permasalahan yang akan diteliti. Wawancara juga akan dilakukan terhadap informan lain seperti tokoh agama dan masyarakat setempat. Kemudian terkait pemahaman tentang teori maqâsid al-syarîʻah penulis akan melakukan wawancara terhadap ahli Ushul Fiqih. Terkait pemahaman tentang teori gender menurut feminisme Islam penulis hanya melakukan pengkajian pustaka dalam beberapa literatur yang membahas tentang permasalahan yang berhubungan dengan penelitian. b. Studi Kepustakaan (library research) dengan cara menghimpun data dari hasil pencarian bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan primer, bahan sekunder dan bahan tersier, yaitu dengan cara mengumpulkan semua dokumen-dokumen dan buku-buku yang berkaitan dengan perumusan masalah penelitian. 5. Analisis Data Analisis data yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari data yang telah terkumpul yaitu dengan menggunakan metode analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif adalah salah satu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata. 27 Data yang telah terkumpul dipilih dan disusun secara sistematis kemudian di analisa secara objektif yang merupakan jawaban untuk permasalahan yang ada pada penelitian ini. 6. Teknik Penulisan Teknik penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta revisi terbaru tahun Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, h. 22.

37 20 G. Sistematika Penulisan Penelitian ini terbagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari beberapa sub-sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyusunan serta mempelajarinya, dengan sistematika sebagai berikut: Bab pertama pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan yang meliputi; identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan perumusan masalah, kemudian tujuan dan manfaat penelitian, review kajian terdahulu, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua kajian teoretik tentang gender menurut feminisme Islam dan maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî, kemudian pembahasan mengenai perkawinan poligami dan pembagian warisannya. Pembahasan materi ini diletakkan pada bab kedua sebagai landasan teoretis untuk menganalisis permasalahan penelitian yang ada di bab ketiga, sedangkan analisis tersebut akan disajikan pada bab keempat. Bab ketiga gambaran umum Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat dan pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî yang mencakup bahasan tentang gambaran umum masyarakat Desa Sindanglaka dan praktik pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî di Desa Sindanglaka. Pembahasan materi ini diletakkan di bab ketiga sebagai laporan hasil penelitian yang telah dilakukan. Bab keempat analisis teori gender menurut feminisme Islam dan teori maqâsid al-syarîʻah menurut Al-Syâṯibî tentang praktek pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî yang terjadi di Desa Sindanglaka, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur, Jawa Barat. Bab kelima penutup yang terdiri dari kesimpulan uraian pada bab-bab sebelumnya dan merupakan jawaban dari perumusan masalah penelitian, juga memuat saran-saran yang diperlukan.

38 BAB II KAJIAN TEORETIK TENTANG GENDER, MAQÂSID AL-SYARÎʻAH, DAN PEMBAGIAN WARISAN PERKAWINAN POLIGAMI SIRRÎ A. Teori Gender Gender diterjemahkan dari aspek biologis yang maksudnya jenis kelamin, sebuah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang jenis kelamin itu melekat secara kodrati dan memiliki fungsi tersendiri. Seperti laki-laki mempunyai alat produksi, sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi serta rahim. 1 Lain halnya gender diterjemahkan sebagai sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena diskonstruk secara sosial, karena pengaruh kultural, agama dan politik. Sifat ini tidak bersifat kodrati melekat pada jenis kelamin tertentu, tetapi sifat itu bias dipertukarkan. 2 Gender dalam pengertian yang kedua inilah sering menimbulkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender yang dimaksud termanifestasikan dalam beragam bentuk. Pertama, terjadi marginalisasi (terutama pemiskinan ekonomi) terhadap perempuan. Kedua, terjadinya subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik pada salah satu jenis kelamin, umumnya kepada kaum perempuan. Ketiga, pelabelan negatif (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu, yang berakibat diskriminasi dan berujung ketidakadilan. Keempat, kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya terhadap perempuan. Kelima, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden). Semua manifes ketidakadilan gender di atas saling terkait dan tersosialisasi dengan kuat sehingga menjadi konstruksi sosial dan akhirnya dipahami menjadi kodrat. 3 Robert Stoller (1968) adalah orang yang pertama kali memperkenalkan kata gender, maksud yang dituju adalah memberikan perbedaan terhadap ciri manusia berdasarkan pada definisi manusia menurut sifat sosial budaya dan 1 Dewani Romli, Poligami dalam Persfektif Gender, (Jurnal Al-Adyan, Vol. V, No. 1, 2010), h diakses tanggal 14 April Faiqoh, Nyai Agen Perubahan di Pesantren, (Jakarta: Pen. Kucica, 2003), h Mansour Fakih, Analisis Gender dan Trasformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h

39 22 definisi menurut ciri-ciri fisik biologis. Pada tahun 1972, kemudian Anne Oakley juga ikut mengembangkan istilah dan pengertian gender dalam ilmu sosial. Sama halnya dengan Stoller, Oakley mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. 4 Secara umum dapat diartikan bahwa gender adalah setiap masyarakat pada waktu tertentu dan sistem kebudayaan tertentu yang berbeda dengan masyarakat lain. 5 Definisi gender di atas memberi gambaran bahwa isu gender tidak dimaksudkan untuk perbedaan wanita dan laki-laki dari aspek biologis; sebab perbedaan aspek biologis adalah hal kodrati yang tidak dapat dipungkiri. Masalah gender lebih tepatnya berputar pada permasalahan yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial dan budaya. Oleh karena itu pembahasan gender tidak bisa dilepaskan dari sejarah gender itu sendiri. 1. Sejarah Lahirnya Teori Gender Paham keadilan gender muncul sebelum kata gender itu sendiri. Mary Wollstone Craft (1759) adalah seorang filsuf atheis dan tokoh feminisme yang pertama kali menuntut hak-hak wanita. Dalam bukunya Vindication of the Right of Women (1792) ia berpendapat agar pria dan wanita mendapatkan keadilan yang sama, Ia mengatakan: Wanita seharusnya menerima perlakuan yang sama dengan pria dalam hal pendidikan, kesempatan kerja, dan politik, serta standar moral yang sama harus diterapkan pada kedua jenis kelamin tersebut. John Stuart Mill dan pengikutnya juga ikut berpendapat tentang keadilan dan kesetaraan hak antara wanita dan pria. Gerakan ini menyebar dengan sangat cepat ke seluruh Eropa dan Amerika. 6 Dalam usaha menuntut hak-haknya, setidaknya yang mereka lakukan terbagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama, yaitu tahap awal pergerakan hak asasi wanita, lalu tahap kedua disebut dengan tahap 4 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Cet. Ke-1, h Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h Muhammad Thalib, Gerakan Kesetaraan Gender Menghancurkan Peradaban, (Yogyakarta: Kafilah Media, 2005), Cet. Ke-1, h. 26.

40 23 penderitaan (dari tahun ), dan tahap ketiga disebut dengan tahap pergerakan mutakhir yang dimulai sejak awal abad ke Secara serius gerakan menuntut keadilan gender ini kemudian dideklarasikan pada tahun 1848 di Senecea Falls, New York, konvensi tentang hak-hak wanita. Pada konvensi tersebut salah seorang peserta mengajukan Deklarasi Sentimen yang menjadi dasar dari aktivis politik wanita terjun ke bidang pemerintahan. Para wanita di Amerika merasa bahwa mereka telah dihinakan baik dari segi sosial maupun agama. Wanita tidak memiliki suara dan tidak diperhatikan di masyarakat, semua putusan penting tentang konsep-konsep hukum yang bertentangan dengan kaum wanita dibuat oleh kaum pria, mereka juga merasa dikubur hidup-hidup ketika setelah menikah. Fakta yang terjadi sekarang mereka menuntut untuk diperlakukan sama dengan warga negara pria Amerika, yang ditandai dengan pernyataan peserta yang mengikuti Deklarasi Sentimen. Di akhir deklarasi tersebut mereka menyatakan keputusannya: Kami tahu dengan sebaik-baiknya bahwa kami harus mengatasi halangan untuk mencapai tujuan kami, tetapi kami akan kalah. Kami akan menempuh cara dan jalur hukum untuk memperjuangkan tujuan kami, dan setelah konvensi ini kami akan mengadakan konvensi di seluruh negara sehingga kami dapat menuntut hakhak kami dari pemerintah. 8 Perihal kebebasan dalam kajian keadilan gender juga dapat disimak dalam pidato John Hoyt (Gubernur Wyoming) pada tahun 1882 M, sebagaimana dikutip Qasim Amin dalam bukunya yang berjudul Sejarah Penindasan Perempuan: Mayoritas perempuan kita penuh dengan apresiasi nilai hak mereka yang baru, dan mempertimbangkan penggunaan mereka menjadi sebuah kewajiban yang patriotik. Singkatnya, saya berpendapat bahwa kesuksesan yang gemilang dari eksperimen kita selama 12 tahun ini benar-benar terbukti dalam pikiran dan hati kita terhadap prinsip yang absolut tentang kesejajaran antara laki-laki dan perempuan. Pembangunan ini mendorong kita untuk mencari perfeksi bagi kondisi sosial kita di Wyoming, yang akan bisa dijadikan pedoman bagi dunia sebagai kelanjutan dalam pencarian kebebasan. 9 7 Muhammad Thalib, Gerakan Kesetaraan Gender Menghancurkan, h Muhammad Thalib, Gerakan Kesetaraan Gender Menghancurkan, h Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan; Menggugat Islam Laki-laki, Menggugat Perempuan Baru, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), Cet. Ke-1, h. 34.

41 24 Tahap perkembangan selanjutnya, paham ini kemudian menyebar ke Indonesia. Ditandai dengan kerjasama antara Prof. Wilfred Cantwell Smith, pendiri studi Islam di McGill University dengan Prof. H.A. Mukti Ali dan Prof. Harun Nasution. Ini adalah sebagai bentuk aplikasi dari kajian Islam Historis dan kemudian akan dipelajari di Indonesia. Dua materi yang akan menjadi bahasan dalam kajian Islam Historis, yang pertama adalah Studi Antar Bidang Agama, dan tema yang kedua adalah Studi Kesetaraan Gender. 10 Pengalaman buruk Barat ikut andil terhadap munculnya paham keadilan dan kesetaraan gender. Sejarah inquisisi (Institusi Gereja yang sangat terkenal kejahatan dan kekejamannya) menjadi catatan penting terhadap munculnya paham keadilan gender. Sebanyak 85% korban penindasan adalah wanita. Data yang diperoleh antara tahun , diperkirakan dari dua hingga empat juta wanita dibakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan Eropa. Pamela J. Milne mencatat pula bahwa Bible menjadi sumber terpenting bagi penindasan terhadap perempuan. Di tahun 1895, Elizabeth Cady Stanton menerbitkan buku The Women s Bible, yang mengkaji seluruh teks Bible yang berkaitan dengan perempuan. Dan hasilnya pun cukup mengejutkan, yaitu Bible berisi ajaran yang menghinakan perempuan, dan ajaran inilah yang kemudian menjadikan sterotip bagi Kristen terhadap perempuan. 11 Kemudian sebab hal tersebut muncullah beberapa pemikir Barat dalam menyuarakan kebebasan kaum perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Thomas C. Bruneau juga membuktikan bahwa teologi pembebasan ini berasal dari agama Kristen. Ia mengungkapkan bahwa gereja mulai melakukan pembaharuan karena ingin mempertahankan pengaruh mereka dengan cara merubah pandangan-pandangan normatif mereka. 12 Sejarah kelam Eropa sebagai pemicu utama gerakan feminisme. Sejarah mencatat sejak abad pertengahan, wanita barat mengalami penindasan yang 10 Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), Cet. Ke-1, h Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2016), Cet. Ke- 4, h Michael Lowy, Teologi Pembebasan; Kritik Marxisme dan Marxisme Kritis, (Yogyakarta: Insist Press, 2013), Cet. Ke-2, h

42 jahat. 15 Latar belakang penindasan dan pemarginalan hak perempuan yang 25 dilakukan oleh gereja. Penindasan ini terus berlanjut hingga awal abad ke Bahkan jika dirunut lagi ke atas, maka kita dapati bahwa Kristen datang ke eropa membawa misi untuk membenahi peradaban eropa. Eropa sebelum datangnya Kristen tenggelam dalam peradaban yang keji. Penduduk eropa tenggelam dalam hubungan syahwat antara laki-laki dan perempuan layaknya binatang. Misi Kristen untuk memperbaiki peradaban eropa mulai menuaikan hasil. Jerih payah yang dikerahkan sedikit banyak telah membuat penduduk eropa sadar. Hanya saja usaha yang dilakukan para pastur dari satu sisi mampu meredam kerusakan yang ada akan tetapi di sisi lain justru malah menjadi ujung tombak dari kodrat kemanusiaan. 14 Pemikiran dasar para pastur kala itu adalah perempuan adalah sumber kemaksiatan, keburukan dan kekejian. Wanitalah yang menjerumuskan lelaki ke dalam dosa dan kejahatan, dan menuntunnya ke neraka. Tertullion sebagai Bapak Gereja pertama menyatakan doktrin kristen tentang wanita sebagai berikut: Wanita yang jalan masuknya godaan setan dan menjerumuskan laki-laki ke pohon terlarang untuk melanggar hukum Tuhan, dan mebuat laki-laki menjadi dilakukan pihak gereja inilah kemudian yang mendasari munculnya gerakan feminisme. Isu pertama yang digunakan kaum feminis sebagai landasan perjuangannya adalah hak dan kesetaraan terhadap perempuan, kemudian pada akhir 1960-an mereka menggantinya dengan menggunakan istilah penindasan dan kebebasan dimana pada fase berikutnya feminisme mengklaim dirinya sebagai gerakan pembebasan perempuan. Pada hakikatnya isu kesetaran dan kebebasaan yang diperjuangkan kaum feminis merupakan konsep abstrak, bias dan absurd karena sampai saat ini para feminis sendiri belum sepakat mengenai kesetaraan dan kebebasan seperti apa yang diinginkan kaum perempuan. Terminologi Feminis sendiri memiliki 13 Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h Abu al-a la Al-Maududî, Al-Hijâb,(Damaskus: Dar al-fikr, 1964), h Abu al-a la Al-Maududî, Al-Hijâb, h

43 26 beragam definisi berdasarkan latar belakang sejarahnya. Walaupun pada awal kemunculannya, feminisme tampak seperti gerakan reaktif terhadap penindasan gereja, tetapi perkembangannya dikemudian hari memperlihatkan akar dari gerakan ini yaitu paham relativisme yang menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk, senantiasa berubah-ubah dan tidak bersifat mutlak, tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial Aliran-Aliran Feminisme Asal kata feminisme adalah bahasa latin yaitu femina yang menunjukkan arti sifat keperempuanan. Feminisme diawali oleh pendapat tentang ketidaksetaraan posisi perempuan dibandingan laki-laki di masyarakat. Pendapat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai usaha dalam mengkaji tentang sebab-sebab ketidaksetaraan dan bertujuan untuk menemukan solusi dalam menyamakan hak perempuan dan laki-laki dalam segala aspek, berdasarkan dengan kemampuan mereka sebagai manusia (human being). 17 Ada beberapa pandangan yang cukup signifikan mengenai definisi feminisme. Pandangan pertama menyatakan bahwa feminisme adalah teori-teori yang mempertanyakan pola hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan. Pandangan kedua, berpendapat bahwa seseorang dapat dicap sebagai feminis sepanjang pikiran dan tindakannya dapat dimasukkan ke dalam aliran-aliran feminis yang dikenal selama ini, seperti feminisme liberal, marxis sosialis, dan radikal. Pandangan ketiga, adalah pandangan yang berada antara pandangan pertama dan kedua, berpendapat bahwa feminisme adalah sebuah gerakan yang didasarkan pada adanya kesadaran tentang penindasan perempuan yang kemudian ditindaklanjuti oleh adanya aksi untuk mengatasi penindasan tersebut. Jadi seseorang dapat dikategorikan feminis selama ia memiliki kesadaran akan penindasan yang diakibatkan oleh beberapa hal dan melakukan aksi tertentu untuk Dadang, S. Anshari, ed. Dkk, Membincangkan Feminis (refleksi muslimah atas peran sosial seorang wanita), (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 19.

44 27 mengatasi masalah penindasan tersebut, terlepas dari apakah ia melakukan analisis hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan atau tidak. 18 Gerakan feminisme dilatarbelakangi oleh dua teori besar; teori struktur fungsional dan teori sosial konflik, yang dimaksud teori struktur fungsional ialah meyakini adanya pembagian peran, sedangkan teori sosial konflik maksudnya kritik terhadap struktur fungsional. Teori ini berpendapat bahwa setiap individu adalah makhluk yang bebas berekspresi untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkan. Sebagian besar pejuang feminis berpendapat bahwa terjadinya diskriminasi terhadap perempuan disebabkan oleh konstruk sosial, sistem patriarkhi, dan sistem yang didominasi laki-laki. Feminisme sendiri muncul tidak terlepas dari usaha panjang yang tercatat dalam sejarah dimana kaum perempuan kerap memperjuangkan kebebasannya. Karena perempuan tidak memiliki tempat di tengah masyarakat, mereka diabaikan, tidak memiliki sesuatu apapun, dan tidak boleh mengurus apapun. Sejarah Barat ini dianggap tidak memihak kaum perempuan. Dalam mitologi filsafat dan keyakinan yang dianut pihak gereja di Eropa saat itu (hingga abad ke- 18) menyatakan bahwa perempuan dilambangkan sebagai sesuatu yang rendah dan sebagai sumber godaan dan kriminal. Hal tersebut dianggap melecehkan feminitas. Puncak pemberontakan terhadap kaum feodal yang korup dan menindas rakyat terjadi pada masa Renaissance (pemberontakan dominasi gereja), yang diikuti dengan Revolusi Perancis dan Revolusi Industri. Inilah awal proses liberalisasi dan demokratisasi kehidupan Barat, yang juga merupakan perubahan sistem feodal menjadi kapitalis sekuler. Dimana kaum kapitalis mendorong perempuan untuk bekerja di luar rumah. Kaum perempuan berurusan dengan pabrik-pabrik, industri dan kaum laki-laki yang dianggap bertentangan dengan kepentingannya. Hal itu mengakibatkan adanya persaingan untuk merebut posisi kaum laki-laki agar para perempuan mendapatkan kebebasan secara utuh dan terlepas dari berbagai ikatan dan nilai-nilai tradisi. Disinilah, kaum perempuan 18 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Pembelaan Kiai Pesantren), (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 13.

45 28 mulai menuntut persamaan secara mutlak dengan kaum laki-laki termasuk juga dalam hal hubungan seksual sebelum menikah. Sehingga munculnya feminisme ini membawa pengaruh terhadap perubahan kaum perempuan dalam menyikapi posisi, peran dan fungsinya. 19 Seiring berjalannya waktu, masalah-masalah tentang pembebasan serta penyetaraan hak-hak kaum perempuan terus berkembang. Bahkan mereka terus berusaha untuk mendapatkan tempat pada posisi yang sejajar dengan laki-laki dalam semua hak kemanusiaan. 20 Dalam wacana feminisme, sistem patriarkhi yang menunjukkan superioritas kaum laki-laki dewasa atas perempuan dan anakanak telah menjadi pokok pembicaraan utama. Seperti anggapan kaum feminisme radikal bahwa ketertindasan perempuan adalah akibat dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik laki-laki atas perempuan dianggap sebagai dasar penindasan, dimana patriarkhi merupakan penyebab universal dan mendahului segala bentuk penindasan. 21 Feminisme sebagai suatu gerakan mempunyai tujuan sebagai berikut: a. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam hubungan sesama manusia. b. Menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin. c. Menghapuskan semua hak-hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin. d. Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruh tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan. 22 Kelompok feminisme telah memunculkan sebuah teori tentang gender yang secara khusus membahas masalah perempuan dalam kehidupan 19 Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002), h Qasim Amin, A Document in the Early debate of Egyption feminist (kairo pers, egyp, 1995), (terj. Syaiful Alam, Sejarah Penindasan Perempuan (menggugat islam laki-laki menggugat perempuan baru ), (Yogyakarta: ircsod, 2003), h Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam Al-Qur an dan tafsir kontempoer), (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2005), h Dadang, S. Anshari, ed. Dkk, Membincangkan Feminis, h. 21.

46 1906). 24 Teori ini mempunyai asumsi bahwa antara laki-laki dan perempuan 29 bermasyarakat. Teori ini berusaha menggugat patriarkhi dan bentuk stereo gender yang sudah berkembang dalam masyarakat luas. Negara Barat mempunyai ideologi yang berbeda-beda, sehingga aliran-aliran feminisme yang berkembang di setiap negara Barat juga berbeda-beda, aliran-aliran feminisme Barat antara lain adalah: 23 1) Feminisme Liberal Aliran feminisme ini muncul pada abad ke-19. Pemikiran kelompok feminisme Liberal adalah bahwa semua manusia baik laki-laki maupun perempuan telah diciptakan secara seimbang dan serasi dan seharusnya tidak akan ada penganiayaan serta penindasan antara keduanya. Dengan tokohnya Margaret Fuller ( ), Anglina Grimke ( ), dan Susan Anthony (1802- mempunyai kekhususan yang secara otologis keduanya mempunyai kesetaraan dalam hak-haknya, tetapi dalam teori Liberal ini ada hal yang tidak bisa disamakan antara laki-laki dan perempuan yaitu dalam hal reproduksi disini letak perbedaannya adalah dalam organ reproduksi perempuan yang membawa konsekwensi yang logis dalam kehidupan masyarakat. 25 Feminisme liberal banyak diadopsi oleh perempuan di dunia karena pengaruh kapitalisme. Kebebasan akan hak yang kini mendorong pemikir liberal maju secara linier dan tetap menekankan laju pertumbuhan linier. 26 Maksud dari teori ini perempuan tidak dibatasi dalam bekerja diluar rumah, oleh karena itu perempuan dapat diintegrasikan secara total dalam semua peran, dan organ repruduksi perempuan tidak menjadi pengahalang terhadap peran-perannya. Aliran ini telah mendefinisikan stereotype bahwa perempuan itu lemah dan hanya cocok dan berfokus untuk urusan keluarga saja, aliran ini hanya menekankan pada hak individu serta kesempatan yang sama karena perempuan 23 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspekif Al-Qur an, (Jakarta: Paramadina, 2001), h Valerie Bryson, Feminist Political Theory: an Introduction, (London: Mcmilan, t.th), h Nassaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspekif Al-Qur an, h Asmaeny Azis, Feminisme Profetik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), h. 57.

47 30 dan laki-laki itu sejajar, kemudian menuntut perubahan kebijakan dengan melibatkan perempuan duduk sebagai pengambil kebijakan. 2) Feminisme Marxis Sosialis Aliran ini telah menghilangkan perbedaan kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin yang beranggapan bahwa peran laki-laki dan perempuan disebabkan oleh ketimpangan yang terjadi karena faktor budaya alam. Dengan tokohnya Clara Zetkin ( ) dan Rossa Luxemburg ( ) dan teori ini telah berkembang di Jerman dan Rusia. 27 Teori ini berasumsi dengan mengacu pada sudut pandang teori epistimologi yang menyatakan bahwa semua pengetahuan megedepankan kelompok-kelompok sosial tertentu. Karena teori epistimologi ini dapat dipahami bahwa laki-laki mempunyai kepentingan tertentu dalam mendominasi perempuan sedangkan laki-laki sebagai pemberi instruksi dalam tatanan institusional untuk mempertahankan dominasi yang demikian. 28 Teori ini menganggap bahwa ketimpangan gender dalam masyarakat disebabkan oleh penerapan sistem kapitalis yang telah mendukung perempuan hanya boleh bekerja tanpa mendapatkan upah bagi perempuan di dalam rumah tangga. Perempuan itu hanya bergantung kepada suami dan mencemaskan keadaan ekonomi suami sehingga perempuan ini memberikan dukungan penuh terhadap suaminya dalam melaksanakan pekerjaannya dan menekankan pada masalah kelas sebagai penyebab perbedaan fungsi dan status perempuan. 3) Feminisme Radikal Teori yang muncul pada abad ke-19 ini berasumsi bahwa perempuan tidak harus tergantung pada laki-laki baik kebutuhan seksualitasnya dan kebendaannya. Seksualitas dalam artian ini adalah bahwa kepuasan seksualitas bisa diperoleh perempuan dengan sesama jenisnya sehingga terjadi praktek lesbian Asmaeny Azis, Feminisme Profetik, h Maggie Hum, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), h Caroline Ramazanoglu, Feminism and Contradiction, (London: Routledge, 1989), h.12.

48 31 Teori ini juga telah menggugat lembaga-lembaga yang telah merugikan perempuan seperti lembaga patriarkhi. Yang intinya memfokuskan pada permasalahan ketertindasan perempuan yakni hak untuk memilih yang menjadi simbol mereka. Kaum feminis radikal dan kultural telah menyatakan bahwa perbedaan antara seks atau gender mengalir karena sosialisasi histori keseluruhan perempuan dalam masyarakat yang patriarkhi. 30 Tugas utama para feminisme radikal ini adalah menolak institusi keluarga baik maupun praktiknya, sehingga kebebasan perempuan tidak hanya perjuangan untuk mencapai kesetaraan hak saja, akan tetapi juga meliputi hal transformasi secara sempurna dalam ruang persahabatan dan hubungan kemanusiaan. 31 4) Teologi Feminisme Teologi feminisme bersumber dari madzhab teologi pembebasan yang dikembangkan oleh James Cone diakhir 1960-an, teori pembebasan yang diterapkan pada perempuan yang dianggap tertindas disebut teologi feminisme. Teologi feminisme ini berkembang pada berbagai agama seperti Kristen, Yahudi, dan Islam. Menurut para feminisme, agama-agama tersebut sering ditafsirkan dengan memakai ideologi patriarki dan menyudutkan perempuan. Isu-isu yang sering dipermasalahkan adalah tentang penciptaan Adam dan Hawa dan kepemimpinan perempuan dalam agama, misalnya menolak penafsiran bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. 5) Feminisme Kultural Feminisme kultural menekankan pentingnya gaya hidup yang berciri perempuan. Feminisme ini tidak berkecenderungan kepada pembentukan kembali masyarakat ataupun perubahan masyarakat, akan tetapi memusatkan perhatian kepada pemecahan persoalan-persoalan individu dan menciptakan alternatif- 30 Tong, Rosemarie Putnam, Feminist Thought: Pengantar paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Yogyakarta : Jalasutra, 1998), h Ratna Megawangi, Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang serta Kaitannya dengan Pemikiran Keislaman, (dalam jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Edisi ke-1, 1996), h diakses tanggal 15 April 2020.

49 32 alternatif bagi gerakan sosial. Berbeda dengan teori feminisme lainnya feminisme kultural tidak menolak perbedaan biologis laki-laki dan perempuan, atau menganggap perbedaan itu sebagai penindasan perempuan. Diantara tokoh dalam feminisme kultural ini adalah Mary Daly, Andirenne dan Sussan Griffin. 6) Ekofeminisme Ekofeminisme adalah visi baru gerakan feminisme. Teori ini adalah teori feminisme yang konsepnya bertolak belakang dengan feminisme modern (feminisme sosial, radikal dan liberal) yang telah mewarnai gerakan feminisme semenjak awal abad ke-20 sampai akhir tahun 1970-an di Barat, tetapi memiliki kesamaan dengan feminisme kultural dalam memandangkan relasi gender. Baik ekofeminisme maupun feminisme kultural, keduanya memandang perbedaan gender bukan semata-mata konstruksi sosial, tetapi juga bersifat fitrah. 32 Berdasarkan asal usulnya, telah jelas bahwa paham-paham dan gerakangerakan feminisme ini lahir dari ideologi barat yang kapitalistik, liberal dan sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan. Pemahaman seperti ini sangat bertentangan dengan Islam, karena Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia di dalam Al-Qur an dan memberikan kemaslahatan yang hakiki kepada seluruh umat manusia. 3. Teori Gender Menurut Feminisme Islam Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, karena di dalam Al-Qur an telah dijelaskan bahwa manusia memiliki kedudukan yang sama di mata Allah Swt, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Karena adanya pandangan bahwa laki-laki adalah manusia sempurna, maka muncullah istilah gender untuk menghilangkan anggapan bahwa laki-laki adalah manusia paling sempurna, karena pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan itu sama. Namun dalam pembaharuan kedudukan perempuan ini, menimbulkan banyak halhal yang menyimpang dari apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur an dan Hadits dengan mengatasnamakan kesetaraan dan keadilan gender. 32 Mundir, Perempuan dalam al-quran: Studi Tafsir al-manar, (Semarang: Walisongo Press, 2010), h

50 33 Prof. Huzaemah Tahido Yanggo dalam salah satu bukunya menjelaskan bahwa agama Islam yang hadir pada 15 abad silam secara substansial telah menghapus diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Islam memandang perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki, kalaupun ada perbedaan, maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan agama kepada masing-masing jenis kelamin sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain, melainkan mereka saling melengkapi dan bantu membantu. 33 Kajian mengenai isu gender dalam Islam mengalami perkembangan yang cukup signifikan, hal ini ditandai tidak saja melimpahnya publikasi yang mengangkat wacana gender dan Islam, melainkan juga fakta bahwa ia sudah merambah luas kedalam suatu mainstream gerakan yang kemudian mengundang orang untuk dengan mudah menyebutnya sebagai gerakan feminisme Islam. Meskipun definisi feminisme Islam itu sendiri masih menjadi perdebatan serius dikalangan aktifis perempuan muslim, pada tingkatan common vision mereka dapat bertemu pada suatu visi misi untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. 34 Gerakan feminisme ini pada mulanya muncul dari adanya suatu anggapan bahwa terdapat suatu kesalahan masyarakat di dalam memperlakukan perempuan sebagai wujud ketidakadilan gender. Oleh karena itu para feminis berusaha untuk menganalisa sebab-sebab penindasan perempuan dan berusaha untuk memperoleh kebebasan bagi perempuan, memperoleh kesetaraan sosial (social equality) dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan. Berbagai definisi tentang feminisme banyak dikemukakan oleh para ahli diantaranya Kamla Bashin dan Nighat Said Khan yang menyatakan bahwa feminisme ialah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat 33 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h Jamhari Ismatu Ropi, Citra Perempuan dalam Islam, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 1.

51 34 kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. 35 Feminisme dalam Islam tidak terlepas dari munculnya feminis di Barat yang masuk dikalangan umat Islam. Gagasan demokrasi dan emansipasi Barat yang masuk ke dunia Islam memaksa umat Islam untuk menelaah kembali posisi perempuan yang telah termarginalkan selama berabad-abad. Konsep feminis yang marak di Barat menjadi model bagi pembebasan perempuan di banyak Negara berpenduduk muslim. Bermula dari kaum intelektual mesir yang belajar di Eropa, yang kemudian dikembangkan dengan istilah Tahrîr al-mar ah (pembebasan perempuan). Persoalan patriarkhi adalah salah satu persoalan yang sering dibicarakan oleh feminisme (dalam) Islam, mereka menyatakan bahwa hal itu adalah asal-usul dari semua kecenderungan missoginis sebagai dasar pemikiran dalam penulisan buku-buku teks keagamaan yang bias kepentingan laki-laki. Feminisme Islam yang bersifat historis dan kontekstual secara umum telah dijadikan sebagai alat analisis seiring dengan adanya perkembangan dalam kesadaran tentang jawaban untuk masalah-masalah perempuan yang menyangkut ketidakadilan dan ketidaksetaraan. 36 Namun demikian, feminisme dalam Islam tidak menyetujui setiap konsep dari feminis barat, khususnya yang ingin menempatkan laki-laki sebagai lawan perempuan. Disisi lain, feminisme Islam tetap berupaya untuk memperjuangkan hak-hak kesetaraan perempuan dan laki-laki yang terabaikan dikalangan tradisional konservatif, yang menganggap perempuan sebagai sub-ordinal lakilaki. 37 Seperti yang disebutkan oleh Riffat Hasan tentang Islam pasca patriarkhi dan Islam Qur ani bahwa feminisme dalam Islam berupaya untuk memperjuangkan dan memperhatikan pembebasan manusia, baik perempuan maupun laki-laki dari perbudakan tradisionalisme, otoritarisme (agama, politik, 35 Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, Terj. S. Herlina, (Jakarta: Gramedia, 1995) h Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis, h Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis, h. 46.

52 35 sekisme, perbudakan atau yang lain-lain) yang menghalangi manusia mengaktualisasikan visi Al-Qur an tentang tujuan hidup manusia yang terwujud dalam pernyataan klasik: kepada Allah-lah mereka akan kembali. 38 Gerakan feminisme Islam (harakah tahrîr al-mar ah) dalam sejarah perkembangannya, khususnya di Indonesia, berlangsung dalam beberapa cara; Pertama, melalui pemberdayaan terhadap kaum perempuan, yang dilakukan melalui pembentukan pusat studi wanita di perguruan-perguruan tinggi, pelatihanpelatihan dan training-training gender, melalui seminar-seminar maupun konsultasi-konsultasi. Kegiatan seperti ini biasanya dilakukan oleh lembagalembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki konsen dengan persoalanpersoalan keperempuanan, seperti P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Rifka An-Nisa WCC (Woman Crisis Centre), Yasanti (Yayasan Annisa Swasti) dan lain-lain. Selain itu, lembaga-lembaga dalam konsen ini juga dikenal dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan Negara yang dinilai merugikan keberadaan perempuan. Kedua, melalui buku-buku yang ditulis dalam beragam tema, ada yang melalui fiqih pemberdayaan sebagaimana dilakukan Masdar Farid Masʻudi dalam bukunya Hak-Hak Reproduksi Perempuan, 39 yang ditulis dengan gaya dialog, melalui sastra baik novel ataupun cerpen sebagaimana tampak dari karya-karya Nawal el-sadawi seperti Perempuan di Titik Nol, 40 Memoar seorang Dokter Perempuan 41 dan lain-lain atau Tsitsi dengan novelnya Warisan 42 dan sebagainya. Ketiga, melakukan kajian historis tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam sejarah masyarakat Islam, yang berhasil menempatkan perempuan yang benar-benar sejajar dengan laki-laki dan membuat mereka mencapai tingkat prestasi yang istimewa dalam berbagai bidang, baik politik, pendidikan, keagamaan, dan lain-lain. Karya-karya Fatima Mernissi yang berjudul 1997). 38 Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis..., h Masdar Farid Mas udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan, 40 Nawal el-sadawi, Perempuan di Titik Nol, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1991). 41 Nawal el-sadawi, Memoar Seorang Dokter Perempuan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991). 42 Tsitsi, Warisan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994).

53 36 Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, karya Ruth Roded yang berjudul Kembang Peradaban, karya Hibbah Rauf Izzat yang berjudul Wanita dan Politik dalam Pandangan Islam, merupakan sebagian contoh dari gerakan feminisme jenis ini. Keempat, melakukan kajian-kajian kritis terhadap teks-teks keagamaan, baik Al-Qur an maupun Hadits, yang secara literal menampakkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini dilakukan penafsiran ulang dengan pendekatan hermeneutik dan melibatkan pisau analisis yang ada dalam ilmu-ilmu sosial untuk menunjukkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara. Ini dilakukan sebagai alternatif terhadap penafsiran klasik yang cenderung mempertahankan makna literal teks-teks yang tampak patriarkhis tersebut. Fatima Mernissi, Amina Wadud Muhsin, Riffat Hassan dan Asghar Ali Engineer sangat intens dalam melakukan gerakan feminisme jenis ini. Feminis muslim secara umum telah sepakat bahwa sistem patriarkhi yang telah mengembang dalam masyarakat telah dipengaruhi oleh doktrin agama yang mengklaim wanita berada dibawah laki-laki. 43 Prioritas misi kebanyakan kaum feminis muslim adalah: a. Merekonstruksi hukum-hukum agama berkaitan dengan menilai dan menganalisa ulang teks agama, Al-Qur an dan Hadits, serta menafsirkannya dari perspektif yang berbeda dengan penafsiran klasik (ijtihad dan tafsir). Feminis muslim mendakwa bahwa prinsip keadilan dan kesetaraan yang ditekankan oleh Al-Qur an tidak terlaksana disebabkan para mufassirîn yang umumnya kaum pria, mereka telah menghasilkan tafsir Al-Qur an yang mendukung doktrin yang mengangkat martabat kaum pria dan menjustifikasi superioritas kaum pria. b. Feminis muslim juga berpendapat bahwa terdapat bias gender yang kental dalam hukum-hukum syariat yang diambil dari hadits-hadits Rasulullah Saw, atas alasan perawi hadits yang terdiri dari kalangan sahabat adalah pria yang tidak dapat membebaskan diri dari pengaruh amalan patriarki. 43 Arief Subhan dkk, Citra Perempuan dalam Islam Pandangan Ormas Keagamaan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 70.

54 37 Pada praktiknya, feminis muslim justru bertindak antagonis terhadap beberapa hukum dalam Al-Qur an yang berkaitan dengan perempuan. Persoalan yang muncul adalah, jika ayat-ayat itu secara harfiah menempatkan perempuan di bawah laki-laki, bagaimana kemudian ayat-ayat tersebut justru dibaca sebagai upaya menegakkan keadilan antara laki-laki dan perempuan? Menurut para mufassir-feminis, untuk memahami ayat-ayat seperti itu harus dilihat kondisi perempuan saat ayat tersebut diwahyukan, yang memang dalam kondisi sangat tertindas. Dengan menghadapkan ayat-ayat al-qur an dengan kondisi perempuan ketika ayat-ayat tersebut diwahyukan, maka bisa dipetik kesimpulan bahwa status laki-laki dan perempuan adalah setara. 44 Menurut Asghar Ali Engineer, ada beberapa alasan untuk menunjukkan bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah setara. Al-Qur an memberikan tempat yang terhormat kepada seluruh manusia baik laki-laki dan perempuan. Yakni, banyak ayat Al-Qur an yang mempertegas hal ini, seperti pernyataan bahwa perbedaan setiap individu adalah ketaqwaannya (QS. al-hujurât [49]: 13); pahala seseorang tergantung amal baiknya, Al-Qur an memiliki prinsip-prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan. Al-Qur an memberikan bagian waris kepada mereka dari yang sebelumnya tidak, bahkan menjadi harta yang diwariskan (QS. al-nisâ [4]: 23); membenci tradisi masyarakat Arab saat pewahyuannya yang tidak menghargai kelahiran anak perempuan, atau bahkan membakar mereka hidup-hidup (QS. al-takwîr [81]: 9) dan melarang praktik-praktik semacam itu, baik melalui janji pahala bagi yang memperlakukan perempuan dengan baik dan mengancam dengan siksa bagi yang memperlakukan mereka secara tidak adil maupun dengan memberikan hak-hak kepada perempuan yang sebelumnya diabaikan dalam masyarakat jahiliyah dan lain sebagainya. 45 Ayat lain yang dibahas oleh Asghar Ali Engineer sebagai salah satu feminis muslim adalah ayat tentang poligami yang bias gender berdasarkan penafsiran para mufassir klasik. Ia berpendapat bahwa memahami ayat tentang poligami yang tersurat dalam al-nisâ [4] ayat 3 harus mempertimbangkan dengan 44 Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Cet. I, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994). h Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, h

55 38 ayat-ayat lain baik sebelum ataupun sesudah ayat tersebut. Ayat tersebut diturunkan kepada para wali untuk berbuat adil terhadap anak yatim. Dalam kajiannya tentang poligami, Asghar membahas poligami bersama pergundikan sebagai sarana pelampiasan nafsu seksual yang bernaung di bawah hak kepemilikan (milk al-yamîn). Keduanya bukan ajaran murni Islam tetapi sudah menjadi tradisi umat manusia selama berabad-abad sebelum kedatangan Islam. Menurut Asghar, poligami merupakan pintu darurat bagi sekelompok laki-laki yang benar-benar terdesak untuk rnendapatkan sesuatu dalam perkawinan yang tidak diperoleh dari isterinya (yang pertama). Ia tidak mendapatkan kesenangan dan ketenangan jiwa (sakînah) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur an. Sehingga ia terdorong untuk mencari kepuasan dan kesenangan di luar cara-cara yang legal dan sah, yaitu perkawinan. Dengan demikian, poligami tidak dianjurkan atau diwajibkan, tetapi juga tidak dilarang oleh Islam. Asghar menolak pandangan kalangan tradisionalis yang melegalkan hubungan seksual tanpa akad nikah dengan budak-budak perempuan dan tawanan perang perempuan yang dimiliki seseorang (pergundikan). Setiap hubungan seksual harus diperoleh dengan cara legal dan sah, yaitu dengan akad. 46 Berdasarkan latar belakang sejarah, konsep, dan isu-isu keadilan gender dan feminisme menunjukkan bahwa isu hak dan keadilan yang diagung-agungkan Barat muncul karena penolakan perempuan Barat terhadap doktrin-doktrin gereja yang memarjinalkan kaum perempuan selama berabad-abad. Gerakan feminisme dilatarbelakangi oleh dua teori besar; teori struktur fungsional dan teori sosial konflik, yang dimaksud teori struktur fungsional ialah meyakini adanya pembagian peran, sedangkan teori sosial konflik adalah kritik terhadap struktur fungsional. Teori ini berpendapat bahwa setiap individu adalah makhluk yang bebas berekspresi untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkan. Sebagian besar pejuang feminis berpendapat terjadinya diskriminasi terhadap perempuan disebabkan oleh konstruk sosial, sistem patriarkhi, dan sistem yang didominasi laki-laki. Feminisme dalam Islam tidak terlepas dari munculnya feminisme di Barat yang masuk dikalangan umat Islam. Gagasan demokrasi dan emansipasi 46 Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, h. 40.

56 39 Barat yang masuk ke dunia Islam memaksa umat Islam untuk menelaah kembali posisi perempuan yang telah termarginalkan selama berabad-abad. Konsep feminis yang marak di Barat menjadi model bagi pembebasan perempuan di banyak Negara berpenduduk muslim. Bermula dari kaum intelektual mesir yang belajar di Eropa, yang kemudian dikembangkan dengan istilah Tahrîr al- Mar ah (pembebasan perempuan). B. Teori Maqâsid al-syarîʻah 1. Maqâsid al-syarîʻah dan Sejarah Perkembangannya Maqâsid al-syarîʻah terdiri dari dua kata yaitu maqâsid dan al-syarîʻah yang hubungan antara satu dan yang lainnya dalam bentuk mudhâf dan mudhâfun ilaih. Dari aspek bentuk plural (jamak) dari kosakata Arab yang berasal dari kata qasada-yaqsidu, dan jika dicermati memiliki tiga macam arti, yaitu: 1) Kata kerja qasada dipahami sebagai lawan kata laghâ, maqsad dalam hal ini berarti memperoleh manfaat atau meratifikasi makna (ʻaqdu aldalâlah), sedangkan laghâ berarti sia-sia, tidak berguna atau tidak memiliki manfaat atau mengabaikan makna (sarfu al-dalâlah). Makna maqsad dalam hal ini identik dengan arti maqsûd sehingga maqsûd alkalâm lebih tepat diartikan dengan madlûl al-kalâm yang berarti arti dan maksud dari suatu kata, bentuk jamaknya maqsûdât. Dengan demikian, makna maqsûd atau maqsûdât mengandung arti semantikal (al-madmûn al-dalâlî). 2) Kata kerja qasada dipahami sebagai lawan kata sahâ yang mempunyai arti lupa, lalai dan kehilangan arah. Dalam hal ini maqsad berarti mencapai arah dan tujuan atau terbebas dari kelalaian. Dalam konteks yang demikian, maqsad identik dengan arti qasdu dan bentuk pluralnya qusûd yang berarti kemauan dan keinginan atau segala sesuatu yang berkaitan dengan perasaan emosional (al-irôdah atau al-madmûn al-syuʻûrî). 3) Kata kerja qasada dipahami sebagai lawan kata lahâ yang berarti tidak memiliki tujuan yang benar dan penggerak yang legal. Dalam hal ini, maqsad identik dengan arti hikmah, bentuk pluralnya adalah maqâsid, kemudian dalam hal ini ia dipahami sebagai pesan-pesan nilai dan moral (al-

57 40 madmûn al-qiyâmî). 47 Kata syarîʻah yang sejatinya berarti hukum Allah Swt, baik yang ditetapkan sendiri oleh Allah, maupun ditetapkan Nabi Saw sebagai penjelasan atas hukum yang ditetapkan Allah Swt, atau dihasilkan oleh mujtahid berdasarkan apa yang ditetapkan oleh Allah atau dijelaskan oleh Nabi Saw. Karena yang dihubungkan kepada kata syarîʻah itu adalah kata maqsad, maka kata syariʻah berarti pembuatan hukum atau syâriʻ, bukan hukum itu sendiri. Dengan demikian, maka kata maqâsid al-syarîʻah berarti: apa yang dimaksud oleh Allah Swt dalam menetapkan hukum, apa yang dituju Allah Swt dalam menetapkan hukum atau apa yang ingin dicapai oleh Allah Swt dalam menetapkan suatu hukum. Dari segi bahasa maqâsid al-syarîʻah berarti maksud atau tujuan disyariatkan hukum Islam. Karena itu, yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmah dan ʻillat ditetapkannya suatu hukum. 48 Kajian tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang ushul fiqh. Dalam perkembangan berikutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqâsid al-syarîʻah identik dengan istilah filsafat hukum Islam. 49 Istilah yang disebut terakhir ini melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang tujuan ditetapkan suatu hukum. Adapun yang menjadi tujuan Allah Swt dalam menetapkan hukum itu adalah al-maslahah atau maslahat yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada umat manusia dalam kehidupannya di dunia, maupun dalam persiapannya menghadapi akhirat. Dengan demikian maqâsid al-syarîʻah adalah maslahah itu sendiri. Atau maqâsid al-syarîʻah adalah maslahah. Maksud Allah Swt untuk kemaslahatan atau untuk kemaslahatan umat itu dapat dilihat dalam firman Allah Swt dalam Al-Qur an surat al-anbiyâ [21] ayat 107 yang berbunyi: )701 و م آ أ ر س ل ن اك إ ا ل ر ح ة ل ل ع ال م ي )األنبياء [21]: 47 Ahmad Yasin Asyʻari, Anis Tyas Kuncoro, Fiqh Maqâsid, (Semarang: Sultan Agung Press, 2014), h Ahmad al-raisûni, Nazariyyât al-maqâsid inda al-syâṯibî, h Shubhi Mahmashani, Falsafah al-tasyrîʻ fî al-islâm, (De-hi: Internasional Islamic Publisherrs, 1989), h. 325.

58 41 Artinya: Kami tidak mengutusmu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat untuk seisi alam. (al-anbiyâ [21]: 107) 50 Dalam pembahasan tentang maslahat, manusia merupakan tujuan penelitian Hukum Islam, Adapun tujuan syariat (maqâsid al-syarîʻah) adalah sesuatu yang final dan hikmah pada setiap ketetapan Hukum, oleh karena itu dalam ajarannya syariat selalu merealisasikan misi utamanya yaitu menjaga kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat dengan sarana yang paling efektif untuk menciptakan kehidupan umat yang beradab, dari sini tampak bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ʻâlamîn dalam arti yang seluas-luasnya. Penggunaan maslahah sebagai salah satu metode penggalian hukum, menurut al-bûtî sudah dilakukan sejak masa sahabat Nabi Saw, kemudian dilanjutkan oleh generasi tâbiʻîn hingga masa sekarang. Sebagaimana yang terjadi setelah wafatnya nabi Muhammad Saw yaitu sahabat Abu Bakar.R.A mengkodifikasi Al-Qur an atas dasar penghafal Al-Qur an saat itu banyak yang gugur di medan jihad. Hal ini dilakukan sebagai bentuk dari baiknya maslahah untuk Islam dan umat Islam. 51 Kemudian pada masa tâbiʻîn sebagaimana dilakukannya pengumpulan hadits serta meletakkan urutan perawinya. Selain itu pada masa ini juga mulai dikenal ilmu al-jarh wa al-taʻdîl. Hal ini dilakukan demi tujuan kemaslahatan. 52 Gagasan ini kemudian dikembangkan oleh imam Haramain al-juwainî (w. 478 H). beliau membagi maslahah dalam tiga tingkatan, yaitu darûriyyah, hâjiyyah, dan tahsîniyyah. Kemudian dikembangkan oleh muridnya Imam al- Ghazâlî (w. 505). Maslahah menurutnya adalah menarik kemanfaatan atau menolak kerugian. Adapaun kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan syaraʻ yang ada lima, yakni pemeliharan makhluk terhadap agama mereka, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Semua yang mengandung pemeliharaan tujuan syaraʻ tersebut merupakan maslahah, sedang semua yang mengabaikan 50 Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Sygma Axamedia Arkanleema), h Muhammad Saʻid Ramadhan al-bûtî, Dawâbit al-maslahah fî al-syarîʻah al- Islâmiyyah, (Damaskus: Mu assasah al-risalah, 1973), h Muhammad Saʻid Ramadhan al-bûtî, Dawâbit al-maslahah fî al-syarîʻah al- Islâmiyyah, h. 315.

59 42 tujuan ini merupakan mafsadah. 53 Kelima tujuan syaraʻ diatas sering dikenal dengan maqâsid al-syarîʻah (tujuan-tujuan syariat Islam). Tujuan utama hukum Islam adalah mewujudkan maslahat untuk kehidupan manusia, maka dapat dikatakan bahwa penetapan hukum Islam sangat berkaitan dengan dinamika kemaslahatan yang berkembang dalam masyarakat. Mustafâ syalabî menegaskan bahwa adanya perubahan hukum adalah karena perubahan maslahat (tabaddul al-ahkâm bitabaddul al-maslahah) dalam masyarakat. Adanya al-nasakh (pengahapusan suatu hukum yang lama dengan hukum yang baru), altadarruj fî al-tasyrîʻ (pentahapan dalam penetapan hukum), dan nuzûl al-ahkâm (turunnya hukum) yang selalu mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pewahyuan, semuanya merupakan dalil yang jelas menunjukkan bahwa perubahan hukum mengikuti perubahan maslahat yang ada. 54 Maslahah atau maqâsid al-syarîʻah seperti halnya ilmu-ilmu syariat yang lain, membutuhkan proses dalam kurun waktu yang lama untuk menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri, karena sebelumnya maqâsid al-syarîʻah merupakan bagian dari Usul Fiqih. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi munculnya maqâsid al-syarîʻah menjadi sebuah disiplin keilmuwan yang mandiri: a) Maqâsid al-syarîʻah selalu berada dibalik nash-nash Al-Qur an, al-hadits, dan fatwa para sahabat Nabi Saw. b) Qiyâs lebih dulu menjadi perdebatan sebelum akhirnya ditulis dan menjadi bagian dari Ushul Fiqih. Qiyâs didasarkan pada illah dari segi kelayakannya sebagai illah atas hukum serta metode penetapan illah hukum, jadi secara otomatis dengan membicarakan qiyâs, maka pasti akan membicarakan maqâsid al-syarîʻah. c) Para ulama dalam membahas masalah-masalah fikih selalu memberikan himbauan atas hikmah ditetapkannya suatu hukum, dan hal itu merupakan petunjuk mengenai keberadaan maqâsid al-syarîʻah Abu Hâmid Muhammad al-ghazâlî, al-mustasfa min ʻIlm al-usûl, (Damaskus: Mua ssasah al-risalah, 2007), h Muhammad Mustafâ Syalabî, Taʻlîl al-ahkâm, (Beirut: Dar al-nahdah al- Arabiyyah, 1981), h Ahmad al-raisûnî dan Muhammad Jamal Bârût, al-ijtihâd: al-nas, al-wâqiʻ, al- Maslahah, (Beirut: Dar al-fikr al-mu âsir, 2000), h. 47.

60 43 Lahirnya kitab al-risâlah karya Imam Syafi i.r.a bisa dikatakan sebagai lahirnya teori syariah dan teori fikih atau lahirnya sebuah kreasi besar umat Islam yang masih tetap otentik sampai berabad-abad lamanya. Perhatian para ulama terhadap maqâsid al-syarîʻah mulai lebih serius ketika al-risâlah itu lahir dan terus berkembang sampai pasca al-risâlah selama kira-kira dua abad lamanya. Hanya saja sangat disesalkan bahwa hasil-hasil karya ulama tersebut yang membahas maqâsid al-syarîʻah dari abad III sampai IV itu dinyatakan banyak yang hilang. Selain al-risâlah, ada juga beberapa literatur yang membahas tentang teori syariah dan teori fikih seperti al-furûq karya Syihâbuddîn al-qarâfî (w. 684 H) dan buku-buku Ushul Fiqih lainnya hasil karya para ulama seperti al- Mâturîdî (w. 333 H), al-qaffâl (w. 365 H), dan al-bâqillânî (w. 403 H) Syaikh al- Usûliyyîn yang menjelaskan dalam bukunya yang berjudul al-taqrîb wa al-irsyâd tentang syariah dan berhasil menyatukan metode Madinah (Ahlu al-hadits) dan metode Irak (Ahlu al-ra yi) dari polemik berkepanjangan seputar syariah. 56 Perkembangan studi tentang maqâsid terus berjalan dan berkesinambungan setelah era al-bâqillânî atau setelah kitab al-taqrîb. Keadaan pada saat itu disebut sebagai era baru bagi umat Islam dalam memasuki dunia keilmuwan yang lebih bersih dari polemik. Pada pasca al-taqrîb lahirlah ulamaulama besar seperti Imam al-juwainî yang terkenal dengan sebutan Imam al- Haramain (w. 478). Beliau sangat menekankan pentingnya memahami maqâsid al-syarîʻah dalam menetapkan hukum Islam. Kemudian datang setelahnya Imam al-gazâlî yang mengembangkan pola pemikiran Imam al-juwainî yang merupakan gurunya langsung. Setelah al-juwainî dan al-gazâlî, datang ulamaulama lain seperti Fakhruddîn al-râzî (w. 606 H), al-âmidî (w. 631 H), Ibn al- Hâjib (w. 646 H) murid dari al-âmidî, al-baidâwî (w. 685 H) penulis buku al- Minhâj, al-isnawî (w. 772 H) penulis buku Nihâyatu al-sûl, dan Ibn al-subkî (w. 771 H). Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya nya yang secara khusus membahas maqâsid al-syarîʻah adalah Izzuddîn bin Abd. al-salâm (w. 660 H), 56 Ahmad al-raisûnî dan Muhammad Jamal Bârût, al-ijtihâd: al-nas, al-wâqiʻ, al- Maslahah, h

61 44 penulis kitab al-qawâʻid al-kubrâ dari Madzhab Syâfi i. Beliau lebih menekankan dan mengkolaborasi konsep maslahah secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadah dan menarik manfaat. Utamanya ialah bahwa konsep maslahah merupakan titik sentral maqâsid al-syarîʻah. 57 Selanjutnya adalah masa Najmuddin al-tûfî (w. 761 H), masa dimulainya gebrakan-gebrakan pemikiran yang sangat liberal. Beliau berpendapat bahwa sumber-sumber hukum tradisional yang paling kuat adalah teks-teks keagamaan (Al-Qur an dan al-sunnah) dan Ijmaʻ. Jika kedua sumber ini sejalan dengan kemaslahatan manusia, maka tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan. Namun jika tidak sejalan, maka perlindungan kemaslahatan lebih diprioritaskan dari kedua sumber tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa kemaslahatan merupakan tujuan utama agama dan pokok dari maqâsid al-syarîʻah. 58 Munculnya Imam al-syâtibî (w. 790 H) setelah al-tûfî pada abad ke-8 Hijriyah, menandakan babak baru dalam pembahasan maqâsid al-syarîʻah yang lebih terstruktur. Dalam hal pembagian maslahah, beliau sejalan dengan al- Juwainî dan al-ghazâlî yang membagi maqâsid al-syarîʻah menjadi tiga, yaitu darûriyyah, hâjjiyyah, dan tahsîniyyah. 59 Kemudian pada akhir abad ke-20 masehi, muncul ulama kontemporer seperti Ahmad al-raisûnî (w M). Al-Raisûnî membagi maqâsid al-syarîʻah menjadi tiga, yaitu maqâsid umum, maqâsid khusus dan maqâsid parsial. Hal ini ditujukan untuk mengetahui tingkat maslahah dan mafsadah, mengingat tujuantujuan yang diletakkan oleh syariat adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia. 60 Selanjutnya adalah periode Muhammad Tâhir bin ʻÂsyûr (w M). Bin ʻÂsyûr membagi maslahah menjadi dua bagian, yakni al-maslahah al- 57 Ahmad al-raisûnî dan Muhammad Jamal Bârût, al-ijtihâd: al-nas, al-wâqiʻ, al- Maslahah, h Harun, Pemikiran Najmuddin Tufi Tentang Konsep Maslahah Sebagai Teori Istinbat Hukum Islam, dalam Jurnal ISYROQI, Vol. 5, No. 1, 2009, h Ahmad al-raisûnî dan Muhammad Jamal Bârût, al-ijtihâd: al-nas, al-wâqi, al- Maslahah, h Ahmad al-raisûnî dan Muhammad Jamal Bârût, al-ijtihâd: al-nas, al-wâqi, al- Maslahah, h. 15.

62 45 âmmah dan al-maslahah al-khâssah. Apabila terjadi pertentangan antara keduanya maka yang diunggulkan adalah al-maslahah al-ʻâmmah, karena maslahah ini menyentuh kepentingan orang banyak. 61 Di zaman yang modern ini, banyak orang yang kemudian dianggap memanfaatkan maslahah untuk berpaling dari syariat. Ditambah lagi kaum modernis yang mulai memberikan statement bahwa sistem peradaban modern (Barat) lebih mampu merespon kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang daripada sistem peradaban yang dimiliki oleh Islam. 62 Untuk menepis paham tersebut salah seorang ulama kontemporer pada tahun 1965 menulis disertasi tentang cara penggunaan konsep maslahah, beliau adalah Muhammad Saʻîd Ramadân al-bûtî dalam kitabnya yang berjudul; Dawâbit al-maslahah fî al-syarîʻah al-islâmiyyah. 2. Dasar Hukum Maqâsid al-syarîʻah Dasar hukum yang menjadi landasan memang tidak disebutkan secara langsung terkait pemberlakuan maqâsid al-syarîʻah yang bertujuan kepada maslahah di dalam menetapkan suatu hukum. Tetapi hal tersebut dapat difahami dari dalil-dalil yang menjelaskan tentang perhatian dan kepedulian syariat Islam terhadap kemaslahatan manusia. Hal ini tentu saja terlepas dari mereka yang menganggap bahwa maslahah merupakan unsur terpenting dalam penerapan syariat, tanpa memandang bahwa penerapan syariat sendiri bertujuan untuk pencapaian kemaslahatan. Karena sadar atau tidak sadar, menjadikan kemaslahatan sebagai unsur terpenting akan semakin menjauhkan hubungan manusia dengan syariat-nya dan menjadikan dunia sebagai satu-satunya tolak ukur. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam dalam menetapkan suatu hukum tidak terlepas dari perhatiannya terhadap kemaslahatan manusia Muhammad Tâhir Ibn Âsyûr, Maqâsid al-syarîʻah al-islamiyyah, (Yordania: Dâr al- Nafais, 2001), h, Muhammad Saʻid Ramadhan al-bûtî, Dawâbit al-maslahah fî al-syarîʻah al- Islâmiyyah, h Muhammad Saʻid Ramadhan al-bûtî, Dawâbit al-maslahah fî al-syarîʻah al- Islâmiyyah, h. 74.

63 46 Adapun dalil-dalil yang menjelaskan tentang perhatian dan penjagaan syariat Islam terhadap kemaslahatan manusia sangatlah banyak di antaranya adalah sebagai berikut: 64 a. Dalil dari Al-Qur an: )701 ر ح ة ل ل عال مي )األنبياء [21]: و مآ أ ر سل ن ا ك إا ل Artinya: Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (Q.S. al-anbiyâ [21]: 107) 65 Bila mencermati ayat tersebut, ada kesimpulan bahwa pengutusan seorang rasul yang membawa kemaslahatan dan menjamin kebahagiaan kepada umatnya akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, dan sebaliknya, jika pengutusan seorang rasul tidak demikian maka akan menjadi bencana bagi mereka. Oleh karenanya maslahah menjadi sangat penting keberadaannya untuk mewujudkan tujuan dari diutusnya para rasul yaitu membawa kesejahteraan bagi seluruh alam. إ ان الل ي أمر م ل علكا ي عظك سا ن وإ ي ت ا ء ذي ح ب ال ع د ل و ال م ت ذاكرو ن. )النحل [16]: 00( هى ال ق ر ب وي ن ع ن ال ف ح شاء و ال ب غ ي ك ر وا م نل Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S. al-nahl [16]: 90) 66 Ayat tersebut selain menjelaskan tentang perintah juga menjelaskan tentang larangan untuk melakukan perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan yang ketiga hal tersebut merupakan bagian dari mafsadah yang keberadaannya akan menghambat terbentuknya kemaslahatan bagi manusia dan juga kebaikan baginya. )781 الل بكم ي ر يد ر و ل ي ر يد بكم ال ي س ر )البقرة [2]: ال ع س Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S. al-baqarah [2]: 185) Muhammad Saʻid Ramadhan al-bûtî, Dawâbit al-maslahah fî al-syarîʻah al- Islâmiyyah, h Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h. 28.

64 47 ل عل يك م ا ي ر يد الل ل ي ج ع ت شكر و ن )املائدة [5]: 6( ن م رك م لي طه ي ر يد ول كن ح رج م م عل يك مته ن ع ام ويت م ل علكا Artinya: Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-nya bagimu supaya kamu bersyukur. (Q.S. al-mâidah [5]: 6) 68 )710 )البقرة [2]: ال قص ا ص م ف و لك حي اة ي آ أول األ ل ب ا ب ل علكا Artinya: Dan dalam qisâs itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu wahai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa. (Q.S. al-baqarah [2]: ن ق إ ث ل لناا س ( سأل و ن ك ع ي )البقرة [2]: س ر مر ال ف ي هما ل و ال مي م تاتق و ن من كبر ما أ وإ ثه و من اف ع كب ير ن فع هما )970 Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan Judi. Katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. (Q.S. al- Baqarah [2]: 219) 70 Dijelaskan pada dalil ketiga dan keempat bahwa Allah Swt menghendaki diangkatnya kesukaran dan kesulitan dari manusia terhadap apa yang telah diwajibkan oleh Allah Swt kepada mereka, yaitu berupa hukum-hukum yang sejalan dengan kemaslahatan dan kebahagiaan mereka, karena kalau tidak demikian maka kesukaran dan kesulitan tidak akan diangkat dari hal-hal yang telah diwajibkan kepada mereka. Pada dalil kelima Allah Swt menjadikan qisâs sebagai jaminan untuk kelangsungan hidup manusia, karena adanya qisâs orangorang akan jera untuk melakukan hal-hal yang membahayakan nyawa orang lain. Kemudian dalil yang keenam Allah Swt menjelaskan akan manfaat yang terkandung dalam khamr (sesuatu yang memabukkan) akan tetapi bahaya yang terkandung didalamnya jauh lebih besar dari manfaat yang diperoleh. Dalil-dalil tersebut secara keseluruhan jika dicermati akan membawa kepada suatu kesimpulan, bahwa hukum-hukum Allah Swt itu berjalan beriringan 68 Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h. 34.

65 48 sesuai dengan kemaslahatan manusia dan keberadaannya membawa mereka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. b. Dalil dari Hadits Nabi Saw: 71 )ال ي ن ا ب ة ع ه ر ي ر ي الل ق ا ل: ق ا ل الل عب ة ش عنه رض ن أ أ ع ل ها ش ها دة رس ول ل إ ل ه إا ل الل صلاى الل و أ دن ا ها إ ماط ة م: عل ي ه و سلا األ ذ ى ع ن ضع الطا ر ي ق(. )رواه ن أ ب و س بع و ن النسائي( Artinya: Dari Abû Hurairah r.a. berkata: Rasulullah Saw bersabda: Iman itu memiliki lebih dari tujuh puluh bagian, yang tertinggi yaitu syahadat dan yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang dapat membahayakan di jalan raya. (H.R. al-nasâ î). 72 Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah Saw menggabungkan dua sisi sekaligus dari esensi agama yaitu; pertama: Sisi aqidah yang diimplementasikan dengan kalimat syahadat. Kedua: Sisi kemaslahatan umat manusia, dengan menghilangkan sesuatu yang dapat membahayakan orang lain di jalan raya sebagai contoh yang paling sederhana. Ini sebagai bukti betapa besar dan luas perhatian syariat terhadap maslahah yang termaktub dalam sendi-sendi agama. م ق ضى )أ ن ل ض ر ر و ل ض ر ا ر(. صلاى الل عل ي ه و سلا ع ن عب ا دة ب ن ال اصا م ت أ ان رس و ل الل ( رواه ابن ماجه( Artinya: Dari Ubâdah bin Sâmit r.a. bahwasannya Rasulullah Saw telah memberi ketetapan untuk dilarangnya melakukan sesuatu yang membahayakan (baik terhadap diri sendiri atau orang lain) dan saling membahayakan (antara satu dengan yang lain). (H.R. Ibnu Mâjah). 73 Hadits tersebut melarang melakukan sesuatu perkara yang dapat menimbulkan mafsadah pada orang lain maupun pada diri sendiri, atau saling membahayakan antara satu dengan yang lainnya. Ini merupakan sebuah kaidah besar yang dengannya Rasulullah Saw menutup kemungkinan terjadinya bahaya 71 Muhammad Saʻid Ramadhan al-bûtî, Dawâbit al-maslahah fî al-syarîʻah al- Islâmiyyah, h Ahmad bin Syu aib al-nasâ î, Sunan al-nasâ î, (Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyyah, 1971), Nomor Hadits 5005, Jilid 4, h Muhammad bin Yazîd al-qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah, (Beirut: Dar al-kutub al- Ilmiyyah, 1971), Nomor Hadits 2340, Jilid 3, h. 117.

66 49 dan kerusakan terhadap orang Islam. Sehingga di dalam syariat tidak tersisa kecuali ajaran-ajaran yang mengandung kemaslahatan manusia baik didunia maupun diakhirat. ع ن كله م د ع ب ع ي ل ا صلاى الل ي الل عنه ق ا ل: ق ا ل رس ول الل الل ب ن م سع ود رض ا لل ف أ حبه م إ ل ا لل أ ن فعه م ل ع ي ال ه(. )رواه الطرباين( )ال لق م سلا و عل ي ه Artinya: Dari Abdullah bin Mas'ûd r.a. berkata: Rasulullah Saw bersabda: Semua makhluk adalah hamba-hamba Allah, maka yang paling dicintai oleh Allah di antara mereka adalah yang paling bermanfaat bagi hambahamba-nya. (H.R. al-tabarânî). 74 Nabi Saw menjelaskan bahwa sejauh mana pengabdian manusia kepada hamba-hamba-nya dengan memperdulikan kemaslahatan dan kebahagiaan maka disitulah terlihat hubungan kedekatannya dengan Allah Swt. Apabila tolak ukur kedekatan manusia dengan Allah dalam perbuatannya itu dinilai dari besarnya pengabdian dalam mewujudkan kemaslahatan sesama manusia maka sudah sepantasnya kemaslahatan itu menjadi tolak ukur dalam penetapan suatu hukum dalam agama Islam. Dalil-dalil di atas (Al-Qur an atau Hadits) membuktikan bahwa seluruh asas agama Islam adalah tercipta atas perhatian dan kepedulian terhadap kemaslahatan manusia, baik dari segi penerapannya maupun upaya dalam menjaga kemaslahatan tersebut. 75 Para ulama Fiqih dalam mengkaji konsep maslahah terbagi kedalam tiga kelompok. Pertama, kalangan tekstualis yang hanya melihat maslahah sesuai yang tampak dalam teks. Kelompok pertama ini tidak menelusuri kemaslahatan yang mungkin berada di kedalaman teks. 76 Kedua, mereka yang tidak menghargai maslahah kecuali ada dalil tertentu, yang dipakai hanya yang ada di dalam nas. Dengan analogi, mereka dapat memastikan keberadaan maslahah di kedalaman teks, walaupun bagi mereka adalah kemaslahatan berteks. Sementara maslahah yang tidak berteks tidak 74 Sulaiman bin Ahmad al-tabarânî, al-muʻjam al-kabîr, (Beirut: Dar al-kutub al- Ilmiyyah, 1971), Nomor Hadits 9891, Jilid 5, h Muhammad Saʻid Ramadhan al-bûtî, Dawâbit al-maslahah fî al-syarîʻah al- Islâmiyyah, h Jamâl al-bannâ, Nahwa Fiqih Jadîd, (Kairo: Dar al-fikr al-islamiy, 1997), h. 63.

67 50 diperhitungkan. Mereka melakukan semua itu untuk membedakan antara maslahah yang hakiki dengan maslahah yang berdasarkan hawa nafsu. 77 Ketiga, mereka yang berkeyakinan bahwa maslahah apapun bentuknya, merupakan bagian dari maslahah yang disebutkan oleh syariat, yaitu pertama menjaga agama, kedua menjaga jiwa, ketiga menjaga akal, keempat menjaga keturunan, dan kelima menjaga harta. Namun maslahah ini tidak berteks dan biasa dikenal dalam ilmu usûl fiqih dengan maslahah mursalah Teori Maqâsid al-syarîʻah Menurut al-syâṯibî Secara genealogis rancang bangun pemikiran maqâsid bukanlah temuan hal yang baru. Maqâsid bukanlah hasil capaian ulama kontemporer, karena dalam tradisi ushul fiqh klasik, kendati term maqâsid secara eksplisit belum ditemukan dalam kitab-kitab anggitan para ulama klasik, hal itu sudah banyak terangkum dalam pembahasan di term-term lain misalnya tentang qiyâs. Namun, pembahasannya belum sistematis sebagaimana yang telah disajikan oleh al- Syâṯibî. Dalam pembahasannya tentang maslahah al-syâṯibî lebih sistematis dan tertata sehingga dapat diterima oleh semua kalangan. 79 Al-Syâṯibî berpendapat bahwa tujuan Allah Swt adalah tiada lain untuk memberikan kemaslahatan dan menghalangi kemadaratan (jalb al-masâlih wa dar al-mafâsid) dalam menciptakan syariat (aturan hukum). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang telah ditentukan Allah Swt hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri baik di dunia dan akhirat sekaligus. Kemaslahatan tersebut dapat terwujud apabila lima unsur pokok berikut terpenuhi, yakni: pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Serangkaian aturan yang Allah Swt gariskan dalam syariat adalah untuk menjadikan kondisi manusia dalam keadaan baik dan menjauhkannya dari segala 77 Abû Ishâq al-syâtibî, al-ʻitisâm, (Beirut: Dar al-kutub al- Ilmiyyah, t.th), h Jamâl al-bannâ, Nahwa Fiqih Jadîd, h Nama lengkap Imam al-syâṯibî adalah Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsa bin Muhammad al- Lakhmî al-gharnâtî al-syâṯibî. Ilmuwan Islam yang terkenal sebagai pakar dalam bidang tafsir, ushul fiqih, hadits, fiqih, lughât. Tentang tempat dan tahun kelahirannya, sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti. Al-Tanbakati, yang kitabnya disebut-sebut sebagai kitab tarjamah/biografi tentang al-syâṯibî yang paling muʻtamad, menyebutkan secara jelas tempat dan tanggal wafatnya, yakni al-syâṯibî wafat di Granada pada hari selasa, 8 sya ban tahun 790 H/1388 M. Sementara Hammâdi al- Ubaidî, menyimpulkan al-syâṯibî lahir pada tahun 730 H, dan menurut Abu al-ajfân, al-syâṯibî dilahirkan pada tahun 720 H.

68 51 hal yang membawanya ke dalam kondisi yang buruk, tidak saja di kehidupan dunia namun juga di akherat. Kata kunci yang kemudian kerap disebut oleh para sarjana muslim adalah maslahah. Teori maqâsid merupakan salah satu materi yang disajikan dan diulas oleh al-syâṯibî dalam kitabnya al-muwâfaqât 80 dan ia singgung dalam kitabnya yang lain, yakni al-i tisâm. 81 Dalam al-muwâfaqât, ia membahas masalah ini pada bagian ketiga dari lima bagian kitab al-muwâfaqât atau dalam jilid dua dari keempat jilid sampai selesai. Menurut beberapa kalangan, teori maqâsid inilah yang telah menjadikan kitab al-muwâfaqât sebagai kitab yang fenomenal dan poluler. Al-Syâṯibî dalam pembahasan tentang maqâsid ini, tidak menjelaskan secara pasti tentang definisi maqâsid, ia hanya menjelaskan bagian-bagiannya secara rinci. Pembahasan maqâsid dalam kitab al-muwâfaqât dibagi menjadi dua, yakni pembahasan tentang maksud syâriʻ (qasd al-syâriʻ) dan tentang maksud mukallaf (qasd al-mukallaf). Adapun yang berkenaan dengan maksud syâriʻ (qasd al-syâriʻ), dibagi menjadi empat, yaitu: 1) Qasd al-syâriʻ fî Wadʻi al-syarîʻah. 2) Qasd al-syâriʻ fî Wadʻi al-syarîʻah li al-ifhâm. 3) Qasd al-syâriʻ fî Wadʻi al-syarîʻah li al-taklîf bi Muqtadâhâ. 4) Qasd al-syâriʻ fî Dukhûl al-mukallaf Tahta Ahkâm al-syarîʻah. 80 Kitab ini adalah kitab paling monumental sekaligus paling dikenal di antara karyakarya Imam al-syâṯibî lainnya. Kitab ini terdiri dari 4 juz dan pada awalnya kitab ini berjudul al- Taʻrîf bi Asrâr al-taklîf, kemudian kitab nama ini dirubah menjadi al-muwâfaqât. Kisah pergantian nama tersebut bermula ketika suatu saat imam al-syâṯibî bertemu dengan salah satu gurunya, kemudian ia diberitahu oleh gurunya tersebut: kemarin saya bermimpi melihatmu membawa sebuah kitab karanganmu sendiri, dan kemudian kamu memberitahuku bahwa nama kitab tersebut adalah al-muwâfaqât, lalu saya bertanya: kenapa namanya al-muwâfaqât?, Kemudian engkau menjawab: karena pada kitab tersebut engkau mencoba mempertemukan madzhab Hanafi dan Ibnu al-qâsim. Lalu imam al-syâṯibî berkata: mimpi guru benar adanya. 81 Setelah kitab al-muwâfaqât al-syâṯibî menulis buku dengan judul al-iʻtisâm. Buku ini terdiri dari beberap juz, pembahasan didalamnya adalah keterangan tentang bid ah dan seluk beluknya secara panjang lebar. Ditulis oleh Imam al-syâṯibî dalam suatu perjalanan khusus dan beliau meninggal terlebih dahulu sebelum merampungkan tulisannya ini.

69 52 Sedangkan untuk maksud mukallaf (qasd al-mukallaf) tidak ada pembagian didalamnya, hanya pembahasan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengannya. 82 a) Qasd al-syâriʻ 1. Qasd al-syâriʻ fî Wadʻi al-syarîʻah Menurut Imam al-syâṯibî, Allah Swt menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain untuk menjaga tujuan-tujuannya dalam kehidupan manusia, yakni kemaslahatan dunia dan akhirat. Singkatnya, diturunkannya syariat itu hanyalah untuk mendatangkan maslahah dan menjauhkan madarrah bagi kehidupan manusia. Adapun kriteria maslahat itu sendiri adalah tegaknya kehidupan dunia demi tercapainya kehidupan akhirat. Al-Syâṯibî Kemudian membagi maqâsid ini menjadi tiga bagian penting yaitu darûriyyât, hâjiyyât dan tahsîniyyât. a. al-maqâsid al-darûriyyât, adalah kemaslahatan essensial bagi kehidupan manusia dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi. Tidak terpenuhinya darûriyyât ini akan menimbulkan disharmoni atau bahkan kerusakan besar dunia dan akhirat. Seberapa besar kadar yang tidak terpenuhi dari darûriyyât ini, akan menentukan seberapa besar kadar kerusakan yang ditimbulkan. Ada lima hal yang disebut dengan al-kulliyyât al-khams yang harus diprioritaskan dalam menjaga maslahah atau al-maqâsid aldarûriyyât ini, yaitu: perlindungan terhadap agama (al-dîn), jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), harta (al-mâl) dan akal (al- aql). 83 Urutan kelima darûriyyât ini bersifat ijtihâdî bukan naqlî, al-syâṯibî terkadang lebih mendahulukan al- aql daripada al-nasl, terkadang al-nasl terlebih dahulu kemudian al- aql, dan terkadang al-nasl lalu al-mâl dan terakhir al- aql. 82 Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, ( Kairo, Dâr Ibn Affân, t.th.), h Urutan kelima darûriyyât ini bersifat ijtihâdî bukan naqlî. Artinya, ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqrâ (induktif). Dalam merangkai kelima darûriyyât ini (al-kulliyyât al-khams) terkadang ada yang mendahulukan al-nasl dari pada al- aql, atau ada yang mengakhirkan al-dîn, dsb. Bagi al-zarkasyî, urutannya adalah; al-nafs, al-mâl, al-nasab, al-dîn dan al- aql. Sedangkan menurut al-âmidî urutannya adalah; al-dîn, al-nafs, al-nasl, al-ʻaql dan al-mâl. Menurut al-qarâfî urutannya: al-nufûs, aladyân, al- uqûl, al-amwâl, dan al-ʼaʻrâdh. Sementara menurut al-ghazâlî urutannya, al-dîn, alnafs, al- aql, al-nasl dan al-mâl.

70 53 Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam susunan yang manapun al-syâṯibî tetap selalu mengawalinya dengan al-dîn dan al-nafs terlebih dahulu. Pertama adalah perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) yang merupakan tujuan pertama hukum Islam, sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia, Allah Swt melindungi orang-orang yang berada dalam agamanya. Orang-orang yang berada dalam agama islam haram baginya darahnya atau haram baginya untuk membunuhnya. Di dalam agama Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan pegangan hidup setiap muslim terdapat akhlak yang merupakan sikap hidup seorang muslim. Kedua adalah perlindungan terhadap jiwa (hifz al-nafs) yang merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena itu hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Untuk itu hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya. Ketiga adalah perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl), maksud perlindungan terhadap keturunan ini adalah bahwa Islam mensyariatkan larangan perzinahan, munuduh zina, terhadap perempuan muhsanât, dan menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang melakukannya. Agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan. Hal ini tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi, dan larangan berzina. Keempat perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl) yang tampak dalam dua hal berikut; Pertama, memiliki hak untuk dijaga dari para musuhnya, baik dari tindak pencurian, perampasan, atau tindakan lain memakan harta orang lain (baik dilakukan kaum muslimin atau nonmuslim) dengan cara yang batil, seperti merampok, menipu, atau memonopoli. Kedua, harta tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang mubah, tanpa ada unsur tabzîr atau menipu untuk hal-hal yang dihalalkan Allah Swt. Oleh karena itu ia tidak digunakan untuk maksiat seperti membeli minuman keras atau berjudi. Kelima perlindungan terhadap akal (hifz al- aql), melalui akalnya

71 54 manusia mendapatkan petunjuk menuju makrifat kepada Tuhan. Manusia menggunakan akalnya untuk mempercayai Tuhan dan mengimani nabi- Nya. Kemudian manusia mengoperasikan akal mereka, mempelajari yang halal dan yang haram, yang berbahaya dan bermanfaat, serta yang baik dan buruk. Maka akal wajib dilindungi dan dijaga pemeliharaanya. b. al-maqâsid al-hâjiyyât adalah segala sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia agar dapat hidup sejahtera dan terhindar dari kesengsaraan, kesulitan dan kesempitan serta mendapatkan kelapangan. Jika maslahah ini tidak terjaga, maka akan menimbulkan kesempitan dan kesengsaraan. c. al-maqâsid al-tahsîniyyât adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi penyempurnaan kesejahteraan manusia. Jika maslahah ini tidak terjaga, maka kehidupan manusia terasa kurang sempurna dan kurang nikmat, meski tidak sampai menyebabkan kesengsaraan dan kebinasaan. Misalnya dalam ibadah diharuskan menutup aurat dan bersuci. 84 Selanjutnya untuk menjaga ketiga maslahah tersebut, dapat ditempuh dengan dua cara yaitu: 85 1) Dari segi adanya (min nâhiyat al-wujûd), yaitu dengan cara menjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya. 2) Dari segi tidak adanya (min nâhiyat al-ʻadam), yaitu dengan cara mencegah atau menghindari hal-hal yang menyebabkan rusak, ketimpangan, dan ketiadaannya. 86 Tentang cara kerja ketiga maslahah tersebut, maslahah darûriyyah adalah pokok dan dasar dari kedua maslahah lainnya. Sedangkan maslahah hâjiyyah berfungsi sebagai pelengkap maslahah darûriyyah, dan maslahah tahsîniyyah sebagai pelengkap maslahah hâjiyyah. Dengan demikian, kedua maslahah 84 Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Contoh penerapannya sebagai berikut: menjaga agama dari segi al-wujûd, misalnya shalat, zakat. Menjaga dari segi al- adam misalnya jihad dan hukuman bagi pemurtad. Menjaga jiwa dari segi al-wujûd, contohnya makan dan minum, dari segi al- adam qisâs dan diyât. Menjaga akal dari segi al-wujûd contohnya mencari ilmu, dari segi al- adam contonya had bagi peminum khamar. Menjaga nasl dari segi al-wujûd contohnya nikah, dari segi al- adam contohnya had bagi pezina dan qâdzif. Menjaga harta dari segi al-wujûd contohnya jual beli dan mencari rezeki, dari segi al- adam misalnya dilarang riba, had potong tangan bagi pencuri.

72 55 tersebut melingkari maslahah darûriyyah untuk melengkapi dan menyempurnakannya. 87 Oleh karena itu hukum-hukum yang mengandung kemaslahatan darûriyyât menjadi lebih penting untuk didahulukan dan dijaga daripada hukum-hukum yang bersifat hâjiyyât apalagi yang bersifat tahsîniyyât. Berdasar pada konsep ini, kemudian al-syâṯibî mengemukakan kaidah tentang maqâsid tersebut, yaitu: a) al-darûriyyât adalah pokok dari kedua maslahah lainnya. b) Tidak terjaganya maslahah darûriyyah akan menimbulkan hilangnya kedua maslahah lainnya secara mutlak. c) Tidak terjaganya hâjiyyah dan tahsîniyyah tidak akan menimbulkan rusaknya maslahah darûriyyah. d) Terkadang rusaknya hâjiyyah secara mutlak, atau tahsîniyyah secara mutlak, dapat menimbulkan rusaknya darûriyyah di satu sisi. e) Hendaknya menjaga ketiga maslahah tersebut, baik darûriyyah, hâjiyyah ataupun tahsîniyyah. 88 Dalam hal ini al-syâṯibî memberikan catatan, bahwa kedua maslahah yang berposisi sebagai pelengkap, tidak boleh dijaga, jika dalam penjagaannya dapat merusak yang dilengkapi. 2. Qasd al-syâriʻ fî Wadʻi al-syarîʻah li al-ifhâm. Inti dari pembahasan ini adalah bahwasanya Syâriʻ dalam menetapkan syariatnya bertujuan agar syariat tersebut mudah dipahami. maksudnya, syariat harus dapat dipahami dengan mudah oleh manusia secara umum, karena jika syariat sulit dipahami maka Allah Swt telah membebani hamba-nya dengan sesuatu di luar daya dan kemampuan, padahal ini tidak mungkin. 89 Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini. Pertama, bahwa syariat ini diturunkan dalam Bahasa Arab sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Qur an surat Yusuf [12] ayat 2: 87 Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Lihat juga; Hamka Haq, al- Syâṯibî, Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-muwâfaqât, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 209.

73 56 90)9 إ ناآ أ ن ز ل ن اه ق ر آنا ع ر ب ي ا ل ع لاك م ت ع ق ل و ن. )يوسف [12]: Artinya: Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al-Qur an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Q.S. Yûsuf [12]: 2) Oleh kerena itu, untuk dapat memahami syariat harus terlebih dahulu mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi perantara untuk memahami syariat tersebut, yakni ilmu tata bahasa arab. Menurut al-syâṯibî: Apabila seseorang ingin mendalami syariat, seharusnya ia terlebih dahulu mendalami bahasa Arab, karena pemahaman yang matang tidak mungkin dihasilkan tanpa mendalaminya. Pokok pembahasan masalah ini adalah hal tersebut. 91 Dengan bahasa lebih mudah, di samping mengetahui bahasa Arab, untuk memahami syariat ini juga dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang erat kaitannya dengan lisan Arab seperti Ushul Fiqh, Mantiq, Ilmu Maʻani dan yang lainnya. Karenanya, tidaklah heran apabila bahasa Arab dalam Ushul Fiqh termasuk salah satu persyaratan pokok yang harus dimiliki seorang mujtahid. Kedua, bahwa syariat ini ummiyyah. Maksudnya, untuk memahami syariat harus didasarkan pada kondisi pengetahuan manusia secara umum, sebagaimana kondisi manusia yang dilahirkan oleh ibunya (umm), bukan kondisi keilmuan orang-orang khusus yang telah mengetahui berbagai disiplin ilmu. Hal ini dimaksudkan agar syariat mudah dipahami oleh semua kalangan manusia. Apabila untuk memahami syariat ini harus lewat bantuan pengetahuan yang tidak umum, paling tidak ada dua kendala besar yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam hal pemahaman dan dalam pelaksanaan. 92 Dengan berlandaskan kepada konsep maslahah maka siapa saja dan dari bidang apa saja dapat memahami syariat dengan mudah. 93 Di antara landasan bahwa syariat ini ummiyyah adalah karena pembawa syariat itu sendiri (Rasulullah Saw) adalah seorang yang ummiy dan diutus untuk 90 Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Lihat juga; Muhammad Abd al- Hâdî Fâʻûr, al-maqâsid inda al-syâṯibî, h Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Lihat juga; Ahmad al-raisûni, Nazariyyât al-maqâsid inda al-syâṯibî, h. 149.

74 57 umat yang ummiy sebagaimana ditegaskan dalam berbagai firman-nya dalam Al- Qur an surat al-ʼaʻrâf ayat 158: ف ئ ام ن و ا ب الل و ر س و ل ه النا ب األ م ي الاذ ي ي ؤ م ن بالل و ك ل م ات ه و اتاب ع و ه ل ع لاك م ت ه ت د و ن. 94)718 )األعراف [7]: Artinya: Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummiy yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-nya (kitab-kitab Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk. (Q.S. al- Arâf [7]: 158) Ada sebagian ulama yang memiliki ketidaksesuaian dengan pernyataan bahwa syariat bersifat ummiyyah, karena sesungguhnya Al-Qu an mencakup segala bidang keilmuan. Betul, lanjut al-syâṯibî, Al-Qur an menyinggung dan sesuai dengan berbagai disiplin ilmu, namun tidak berarti Al-Qur an mencakup semuanya, itu semua hanyalah isyarat saja dan bukan sebagai legitimasi semua disiplin ilmu. 3. Qasd al-syâriʻ fî Wadʻi al-syarîʻah li al-taklîf bi Muqtadâhâ. Seperti yang telah dipahami, bahwa dasar utama pemberlakuan taklîf adalah daya manusia. Maka sangat tidak mungkin jika Allah Swt membebani manusia dengan taklîf yang berada di luar daya manusia (al-taklîf bimâ lâ yutâq). Tentang taklîf semacam ini, al-syâtibî tidak membahasnya panjang lebar, karena itu tidak sesuai dengan syariat. Berkaitan dengan hal ini al-syâtibî berpendapat: bahwa secara syarʻi taklîf yang melebihi batas kemampuan manusia, walaupun akal membolehkannya hanya saja taklîf itu tidak sah. 95 Apabila dalam takaran akal, ada taklîf yang nampak memerintahkan sesuatu yang di luar daya manusia, maka menurut al-syâtibî harus dikembalikan pada hal-hal yang berkaitan dengannya, sebelumnya atau sesudahnya. Seperti firman Allah Swt surat Âli Imrân ayat 102: ي آأ ي ه ا الاذ ي ن آم ن و ا ات اق و ا الل ح اق ت ق ات ه و ل ت و ت ان إ ا ل و أ ن ت م م س ل م و ن. )آل عمران [3]: 96) Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h. 63.

75 58 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenarbenar takwa kepada-nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Q.S. Âli imrân [3]: 102) Maksud ayat ini bukanlah memerintahkan kematian itu sendiri, tetapi perbuatan sebelum kematian, yakni keislaman. Demikian juga, perbuatanperbuatan yang samar, termasuk perbuatan yang masuk kategori taklîf atau perbuatan yang berada di luar daya manusia. Maka harus dikembalikan kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan itu. Seperti perintah untuk saling mencintai, perintah ini tidak memerintahkan cinta itu sendiri, karena yang bisa memberikan rasa cinta hanya Allah Swt. Akan tetapi maksud perintah ini adalah mengusahakan perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan perasaan cinta. 97 Berdasar atas daya manusia ini, al-syâtibî kemudian membagi perbuatan menjadi tiga, yaitu: a. Perbutan yang secara pasti berada di luar batas daya manusia, misalnya kematian. b. Perbuatan yang dapat diusahakan secara pasti oleh manusia dan menjadi tuntutan atas manusia, baik perbuatan itu sendiri atau yang berkaitan dengannya. c. Perbuatan yang samar antara kedua perbuatan di atas. Seperti perasaan cinta, benci, dll. Pada dasarnya perbuatan ini muncul dari diri manusia, tapi di luar dayanya. 98 Dari ketiga model perbuatan di atas, yang dapat dinilai secara syariat dan dikenakan hukum taklîf adalah perbuatan yang berdasarkan daya manusia itu sendiri. Sedangkan taklîf yang di dalamnya terdapat masyaqqah atau kesulitan (al- taklîf bimâ fîhi masyaqqah), persoalan inilah yang kemudian dibahas panjang lebar oleh Imam al-syâtibî. Menurut Imam al-syâtibî, dengan adanya taklîf, syâri tidak bermaksud menimbulkan masyaqqah bagi pelakunya (mukallaf) karena banyak teks yang menyebutkan bahwa taklîf diadakan semata-mata untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Jika memang syâri menghendaki masyaqqah 97 Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h. 115.

76 59 dalam penerapan syariat, mestinya tidak akan ada keringanan atau kemudahan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-baqarah ayat 185: 99 ي ر ي د الل ب ك م ال ي س ر و ل ي ر ي د ب ك م ال ع س ر )البقرة [2]: 781( Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S. al-baqarah [2]: 185) Jika dilihat sekilas, tidak ada satupun taklîf yang bisa lepas dari masyaqqah itu sendiri, karena itu merupakan konsekuensi dari setiap perbuatan. Meskipun demikian, yang menjadi tujuan utama syâriʻ bukanlah pemberian masyaqqah itu, namun maslahah yang ada di balik pensyariatan tersebut. Al-Syâtibî dalam hal ini memperingatkan bahwa tidak semua yang tampak sebagai masyaqqah itu disebut masyaqqah menurut syaraʻ. Masyaqqah yang wajar, yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan manusia sebagaimana dalam kacamata kewajaran, misalnya memanggul beban berat dalam bekerja, maka itu tidak dipandang sebagai masyaqqah, tetapi sebagai salah satu keharusan dan konsekuensi yang tidak bisa lepas perbuatan itu sendiri. Dengan ini jelas bahwa taklîf terhadap perbuatan yang lumrah tidak mendatangkan masyaqqah. Adapun masyaqqah yang dianggap sebagai masyaqqah syarʻi adalah masyaqqah yang telah keluar dari kewajaran, yaitu masyaqqah yang dapat menghentikan perbuatan atau dapat menyebabkan kerusakan. Masyaqqah semacam inilah yang oleh syara dimaksudkan untuk dihilangkan dari mukallaf. Begitu juga masyaqqah (kesulitan) dalam menentang hawa nafsu. Masyaqqah semacam ini tidak diperhitungkan oleh syaraʻ meskipun itu dianggap masyaqqah yang lumrah, karena maksud dari pensyariatan itu sendiri adalah menjauhkan manusia dari hawa nafsu. 100 Adapun amal yang bernilai pahala besar tetapi sulit dikerjakan, hal itu bukan karena kesulitannya, tetapi karena amal itu memang bernilai tinggi, dan kesulitan itu adalah sebuah kelaziman yang tidak bisa lepas dari tingginya nilai tersebut Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Lihta juga; Muhammad Abd al- Hâdî Fâʻûr, al-maqâsid inda al-syâṯibî, h Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h. 117.

77 60 4. Qasd al-syâriʻ fî Dukhûl al-mukallaf Tahta Ahkâm al-syarîʻah. Pembahasan bagian terakhir ini merupakan pembahasan paling panjang. Namun semuanya mengacu kepada pertanyaan: mengapa mukallaf melaksanakan hukum syariat?. Tujuan Syâriʻ mengharuskan mukallaf bernaung dan tunduk di bawah hukum syaraʻ adalah agar manusia dapat menghindarkan diri dari tuntutan hawa nafsu sehingga menjadi hamba yang sesungguhnya. Menurut al-syâtibî, dalam upaya mewujudkan maslahah, manusia harus terbebas dari hawa nafsu karena kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat itu tidak diukur berdasarkan nafsu, tetapi syaraʻ. Prinsip ini didasarkan atas nash yang banyak mengungkapkan tentang kewajiban semua manusia untuk beribadah secara mutlak dan mengecam orang-orang yang lari dari ibadah dan mengikuti hawa nafsu. Atas dasar prinsip di atas, maka bisa dibentuk beberapa kaidah, antara lain: a. Bahwasanya setiap perbuatan yang diikuti hawa nafsu secara mutlak, tanpa adanya sedikitpun niat untuk menjalankan perintah maka perbuatan tersebut batil secara mutlak. Karena, setiap perbuatan ada motifnya, jika motifnya tidak karena syaraʻ, pasti yang mendorongnya adalah nafsu, karena lawan syaraʻ adalah nafsu. b. Bahwasanya mengikuti hawa nafsu adalah jalan menuju kehinaan, meskipun terbungkus dalam kemasan perbuatan terpuji. b) Qâsd al-mukallaf fî al-taklîf Maqâsid kedua yang dijelaskan al-syâtibî adalah berkaitan dengan perilaku manusia dan tujuan dan niatnya dalam melakukan hal itu. Perbuatan mukallaf sendiri dibagi menjadi dua, yakni perbuatan yang disyariatkan dan yang tidak disyariatkan. Adapun yang disyariatkan adalah perbuatan yang dalam kesahihannya menuntut adanya niat dan qasd. Sedangkan yang gairu masyrûʻ, adalah perbuatan yang tidak akan menjadi sah meskipun diniatkan, semisal maksiat. Pembahasan kali ini difokuskan pada perbuatan yang pertama, yakni alafʻâl al-masyrûʻah. Untuk mengawali pembahasan ini, al-syâtibî mengatakan bahwa suatu perbuatan dinilai oleh syaraʻ apabila dilakukan dengan niat dan tujuan yang jelas.

78 61 Karena, maksud seseorang dalam melakukan sebuah perbuatan akan menjadikan perbuatan itu sah atau batil, ibadah atau hanya riya, fardlu atau sunnah, bahkan bisa jadi iman atau kufur. Setiap perbuatan yang mempunyai maksud dan tujuan, tentunya akan selalu berhubungan dengan taklîf, sebaliknya jika tidak maka telah terlepas dari taklîf, seperti perbuatan orang yang sedang terlelap. Al-Syâtibî kemudian mengungkapkan ketentuan bahwa setiap maksud mukallaf dalam melakukan perbuatan harus sesuai dengan maksud syâriʻ, yakni untuk menjaga kemaslahatan. Apabila melalui syariatnya Allah Swt bermaksud memelihara kemaslahatan manusia, maka melaksanakan syariat demi terjaganya kemaslahatan wajib dilakukan oleh manusia. 102 Ada beberapa cara menurut al-syâtibî untuk memastikan bahwa tujuan perbuatannya telah relevan dengan apa yang digariskan oleh syâriʻ, yakni: 1. Hendaknya mukallaf menentukan tujuan sebagaimana ia pahami tentang tujuan syâriʻ dalam pensyariatan itu. Selain itu, ia juga harus meniatkan perbuatannya untuk taʻabbud, agar tujuannya dalam berbuat tidak keluar dari tujuan syâri yang tidak ia ketahui. 2. Menentukan tujuan sebagaimana digariskan oleh syâriʻ tanpa membatasi tujuan tersebut, hal ini lebih luas ketercakupannya daripada yang pertama. 3. Bertujuan untuk melakukan perintah Allah Swt dan tunduk kepada hukumnya semata, ini adalah level yang paling tinggi. Ketiga cara di atas, jika benar-benar dilakukan, menurut al-syâtibî akan membawa mukallaf pada kondisi dimana ia telah menyesuaikan tujuannya dengan tujuan syâri atau minimal tidak bertentangan dengan tujuan syâriʻ. 103 Dari cara penyesuaian tersebut, secara aplikatif al-syâtibî membagi perbuatan manusia menjadi beberapa bentuk menurut kesesuaian antara maksud mukallaf dan maksud syâriʻ: 104 a. Maksud dan implementasi mukallaf telah sesuai dengan syâriʻ. Perbuatan semacam ini tak terbantahkan kesahihannya. 102 Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h

79 62 b. Maksud dan implementasi mukallaf bertentangan dengan syâriʻ. Perbuatan semacam ini tak terbantahkan kebatilannya. c. Implementasinya sesuai dengan syâriʻ, tapi maksudnya bertentangan, sedangkan si mukallaf tidak mengetahui bahwa implementasinya telah sesuai. Karena maksudnya yang jelek, maka di mata syâriʻ mukallaf seperti ini berdosa, namun di mata makhluk tidak berdosa, karena maslahah tidak hilang dan kerusakan tidak tercipta. d. Seperti bentuk ketiga, tetapi si mukallaf tahu bahwa implementasinya telah sesuai. Bentuk ini justru lebih besar dosanya karena termasuk riyâ dan merekayasa hukum Allah Swt. e. Implementasinya bertentangan dengan syâriʻ, tapi secara maksud ia telah sesuai sembari dirinya tahu bahwa implementasinya bertentangan. Bentuk semacam ini bisa dibilang sebagai bid ah seperti menambahkan sesuatu dalam ibadah. f. Seperti bentuk sebelumnya, hanya saja ia tidak tahu bahwa implementasinya bertentangan. Bentuk yang keenam inilah yang memicu pertentangan, dan membutuhkan pemikiran serius sedangkan kaidah yang ada tidak cuma satu. Al-Syâtibî mengatakan bahwa masalah semacam ini adalah masalah yang ruwet dalam fiqih. Ia tidak bisa serta merta dihukumi batil karena sahnya maksud dapat mempengaruhi hukum perbuatannya, namun tidak bisa serta merta dihukumi sahih karena pertentangannya dengan syâriʻ dalam perbuatan juga mempengaruhi hukum perbuatannya. 105 Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa al-syâṯibî berpendapat tujuan Allah Swt adalah tiada lain untuk memberikan kemaslahatan dan menghalangi kemadaratan (jalb al-masâlih wa dar al-mafâsid) dalam menciptakan syariat (aturan hukum). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang telah ditentukan Allah Swt hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri baik di dunia dan akhirat sekaligus. Kemaslahatan tersebut dapat terwujud apabila lima 105 Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h Lihat; Muhammad Abd. al-hâdî Fâʻûr, al-maqâsid inda al-syâṯibî, h. 391.

80 63 unsur pokok berikut terpenuhi, yakni: pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Al-Syâṯibî dalam pembahasan tentang maqâsid ini, tidak menjelaskan secara pasti tentang definisi maqâsid, ia hanya menjelaskan bagian-bagiannya secara rinci. Pembahasan maqâsid dalam al-muwâfaqât dibagi menjadi dua, yakni pembahasan tentang maksud syâriʻ (qasd al-syâriʻ) dan tentang maksud mukallaf (qasd al-mukallaf). Adapun yang berkenaan dengan maksud maksud syâriʻ (qasd al-syâriʻ), dibagi menjadi empat, yaitu: qasd al-syâriʻ fî wadʻi al-syarîʻah, qasd al-syâriʻ fî wadʻi al-syarîʻah li al-ifhâm, qasd al-syâriʻ fî wadʻi al-syarîʻah li altaklîf bi muqtadâhâ, qasd al-syâriʻ fî dukhûl al-mukallaf tahta ahkâm al-syarîʻah. Al-Syâṯibî Kemudian membagi qasd al-syâriʻ fî wadʻi al-syarîʻah ini menjadi tiga bagian penting yaitu darûriyyât, hâjiyyât dan tahsîniyyât. C. Pembagian Warisan Perkawinan Poligami Sirrî 1. Perkawinan Poligami Sirrî dalam Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam Tujuan perkawinan dalam hukum Islam dapat dipahami dari pernyataan Al-Qur an yang menegaskan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Swt ialah bahwa ia menciptakan isteri-isteri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tenteram (sakînah). Lalu perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) Allah Swt tumbuhkan di antara mereka, Al-Qur an surat al-rûm ayat 21 menjelaskan tentang tujuan dari hal tersebut; Yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau berfikir. Dalam ayat lain yakni surat al-baqarah ayat 187 mengisyaratkan bahwa para isteri adalah pakaian (libâs) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah pakaian bagi para isteri. Kedudukan warga negara yang setara di muka hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 juga berlaku dalam ranah perkawinan termasuk perkawinan poligami dan akibat dari perkawinan yaitu status perkawinan, status ahli waris dan status harta waris. Perkawinan poligami adalah sebuah bentuk perkawinan dimana seorang lelaki mempunyai beberapa orang isteri dalam waktu yang sama. Poligami bukanlah merupakan masalah baru, telah ada sejak dulu kala di antara berbagai

81 64 kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain di sebagian besar kawasan dunia pada masa itu. Bahkan dimasa sebelum datangnya Islam, telah dipraktekkan poligami yang tanpa batas. Dalam catatan sejarah, utamanya dalam masyarakat jahiliyah telah terdapat beberapa bentuk perkawinan dimana seorang isteri mempunyai beberapa orang suami dan seorang laki-laki mempunyai beberapa orang isteri, atau sebaliknya seorang laki-laki hanya mempunyai seorang isteri atau sebaliknya seorang isteri hanya mempunyai seorang suami. 106 Islam bukan agama yang pertama kali membolehkan poligami. Dalam perkembangannya, Islam justru memberikan pembatasan gerak terhadap kebolehan perkawinan poligami. Inilah yang membedakan poligami dalam Islam dan agama lain dimana dalam Islam hanya memperbolehkan maksimal empat orang isteri. Terjadi kontroversi atau silang pendapat di kalangan ilmuwan dalam mensikapi poligami, seperti pendapat Masdar F. Masʻudi, bahwa poligami bersifat natural, penyeimbang supply dan demand (permintaan dan penawaran), jadi poligami dibolehkan. 107 Sedangkan pendapat M. Quraish Shihab bahwa tidak membukanya lebar-lebar pintu poligami tanpa batas dan syarat, dalam saat yang sama ia tidak juga dapat dikatakan menutup pintu rapat-rapat sebagaimana dikehendaki oleh sebagian orang. Selanjutnya ia menambahkan bahwa poligami bukan anjuran, melainkan salah satu alternatif yang diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syarat. 108 Allah Swt menciptakan manusia baik laki-laki dan perempuan satu sama lain memiliki hubungan kemitraan, untuk saling melindungi, terutama dalam hubungan suami isteri dan keluarga. Jelaslah Islam menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, dan menolak segala bentuk diskriminasi. 106 M. Ahnan & Ummu Khoiroh, Poligami di Mata Islam, (Surabaya: Putra Pelajar, 2001), h Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Jogjakarta: Pustaka Marwa, 2007), h M. Quraish Shihab, Perempuan, dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut ah, Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 165.

82 65 Sebenarnya tidak ada yang salah dalam perkawinan poligami karena sesuai aturan dalam Al-Qur an surat al-nisa ayat 3: و إ ن خ ف ت م أ ا ل ت ق س ط و ا ف ال ي ت ام ى ف ان ك ح و ا م ا ط اب ل ك م م ن الن س اء م ث ن و ث ل ث و ر ب اع ف إ ن خ ف ت م أ ا ل ت ع د ل و ا ف و اح د ة أ و م ا م ل ك ت أ ي ان ك م ذ ل ك أ د ن أ ا ل ت ع و ل و ا. )النساء [4]: 109)3 Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. al-nisâ [4]: 3) Apabila dipelajari secara seksama ketetapan Allah Swt dan Rasul-Nya Saw yang terdapat dalam Al-Qur an dan Hadits yang sahîh, maka dapat diketahui tujuan hukum Islam. Sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagian hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang madarrah yaitu yang tidak berguna bagi kehidupan. Poligami dalam wacana sering kali dianggap sebagai penyimpangan sekaligus pembenaran atas penyaluran hasrat laki-laki. Saat ini, sebagian besar perempuan akan memilih untuk diceraikan dibanding harus menerima dirinya dimadu. Poligami dianggap sebagai bentuk penghianatan atas cinta, sedangkan monogami adalah bentuk dari kesetiaan. 110 Kendati demikian, poligami tidak lain adalah syariat ilâhî yang ditetapkan dalam kitab suci Al-Qur an dan Hadits. Setiap muslim dan muslimah harus membenarkan syariat tersebut dan menerimanya dengan lapang dada tanpa ada ganjalan sedikit pun di dalam hati. Terlepas apakah ada kemampuan untuk menjalaninya ataukah tidak. Poligami adalah syariat Allah Swt, maka tentunya memiliki tujuan-tujuan dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. 109 Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h Justito Adiprasetio, Sejarah Poligami (Analisis Wacana Foucauldian Atas Poligami di Jawa), (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h. 3-4.

83 66 Poligami merupakan suatu realitas hukum dalam masyarakat yang akhirakhir ini menjadi suatu perbincangan hangat serta menimbulkan pro dan kontra. Adanya asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan tegas disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat terbatas saja, karena dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan disebutkan di mana pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Hal ini memungkinkan bagi seorang suami untuk poligami tetapi atas izin dari pengadilan. Khusus yang beragama Islam harus mendapat izin dari Pengadilan Agama sesuai dengan Pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dan yang beragama selain Islam harus mendapat izin dari Pengadilan Negeri. Permohonan izin secara tertulis kepada Pengadilan wajib dilakukan seorang suami yang ingin melakukan poligami. Pengadilan agama baru dapat memberikan izin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum sesuai dengan persyaratan-persyaratan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu: 1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri, 2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, 3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 111 Untuk mendapatkan izin dari pengadilan, suami harus memenuhi syaratsyarat tertentu di sertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang alasan yang dapat dibenarkan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan: 111 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)), h. 2.

84 67 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. 112 Perkawinan poligami yang terjadi di Indonesia dalam prakteknya sangat jarang didaftarkan pada lembaga pencatat perkawinan, karena untuk mencatatkan perkawinan dalam perkawinan poligami harus mendapat persetujuan atau izin dari isteri pertama melalui pengadilan. Dalam prakteknya, jarang terjadi perempuan memberikan izin agar suaminya dapat melakukan perkawinan poligami. Pemahaman sebagian masyarakat bahwa perkawinan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab-kitab fiqih sudah terpenuhi, tidak perlu adanya pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak perlu surat nikah sebab hal itu tidak diatur pada zaman Rasulullah Saw dan merepotkan saja. Sebagai akibat dari pemikiran tersebut di atas, banyak timbul perkawinan secara sirrî tanpa melibatkan Pegawai Pencatat Nikah sebagai petugas resmi mengenai urusan perkawinan. Faktor-faktor penyebab melakukan perkawinan secara diam-diam (sirrî) tersebut antara lain: Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)), h Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 47.

85 68 1. Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka masih menganggap bahwa masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada campur tangan pemerintah/negara. 2. Adanya kekhawatiran dari seseorang akan kehilangan hak pensiun janda apabila perkawinan baru didaftarkan pada pejabat pencatat nikah. 3. Tidak ada izin isteri atau isterinya dan Pengadilan Agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang. 4. Adanya kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul rapat dengan calon isteri/suami, sehingga dikhawatirkan terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan, lalu dikawinkan secara diam-diam dan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. 5. Adanya kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya, karena anaknya segera dikawinkan dengan suatu harapan pada suatu saat jika sudah mencapai batas umur yang ditentukan terpenuhi, maka perkawinan baru dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan. Kompilasi Hukum Islam menyebutkan pasal-pasal yang mengatur urgensi pencatatan pernikahan diantaranya: 114 Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. 114 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV Akademik Pressindo, 2010), Cet. Ke-4, h. 114.

86 69 (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 7 (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilang Akta Nikah. c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun (4) Yang berhak yang mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Perkawinan poligami tidak tercatat (sirrî) menimbulkan sejumlah pengaruh negatif. Dampak yang sangat memukul perasaan dan nasib pihak isteri adalah segi hukumnya. Ada banyak kerugian yang dapat dirasakan sang isteri jika nikah tidak tercatat (sirrî), salah satunya adalah tidak mendapat pengakuan hukum. Belum lagi, sang isteri juga akan merasakan dampak sosial, ekonomi, dan sebagainya. Disamping isteri, masa depan anak juga patut dikhawatirkan. Akibat perkawinan poligami tidak tercatat (sirrî) sangat banyak, diantaranya: a. Isteri yang dinikahi dan tidak tercatat (dibawah tangan/sirrî) tidak dianggap sebagai isteri yang sah. Berdasarkan Undang-undang pasal 2 ayat (2), perkawinan harus dicatat menurut Peraturan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak dicatatnya perkawinan berarti

87 70 menyalahi ketentuan ini, sehingga perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan legal. b. Isteri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian. c. Isteri dalam pernikahan tidak tercatat (dibawah tangan/sirrî) tidak berhak atas nafkah, dan jika suami meninggal dunia, maka dia juga tidak berhak mendapatkan warisan dari peninggalan suaminya itu. d. Anak tidak berhak atas nafkah dan warisan dari ayahnya. Dalam pasal 42 Undang-undang perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat yang sah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak hasil perkawinan tidak tercatat (dibawah tangan/sirrî) dianggap anak yang tidak sah. e. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, tetapi hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Ketentuan ini berdasarkan pada pasal 43 Undang-undang perkawinan yang menyebutkan; anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ketentuan tersebut didukung oleh KHI pasal 100 yang menyebutkan; anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dibanding dengan KHI, Undang-undang perkawinan lebih tegas dalam menyebutkan hubungan anak dengan ibunya sebagai hubungan perdata. 115 Berdasarkan uraian diatas maka kesimpulan yang dapat penulis uraikan adalah bahwa hukum Islam yang tertulis dalam kitab-kitab Fiqih jelas mengatur perkawinan poligami bagi seseorang yang ingin menikahi lebih dari satu isteri. Salah satu aturan tersebut adalah tidak boleh menikah lebih dari empat isteri. Kendati demikian, aturan Fiqih tidak membebani seorang suami untuk melakukan pencatatan pernikahannya, baik yang pertama maupun pernikahan yang selanjutnya. Hal ini tentu saja tidak ada dampak atau pengaruh negatif apapun berkenaan dengan hak-hak isteri kedua dan seterusnya dalam masalah harta peninggalan dan status hukum lainnya. Sama halnya dengan status hukum anak 115 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 86.

88 71 yang terlahir dari perkawinan kedua dan selanjutnya. Semua dimata Hukum Fiqih sama, karena ketika seorang lelaki menikahi seorang wanita maka seluruh kewajiban dan hak bagi keduanya secara otomatis terikat pada diri masing-masing suami dan isteri tersebut, terlepas apakah itu isteri pertama atau kedua dan selanjutnya. Kesimpulan berikutnya menurut penulis adalah hukum positif di Indonesia yang mengatur bahwa untuk mengajukan gugatan terhadap haknya, maka pihak isteri kedua terlebih dahulu harus mengajukan sidang itsbat pernikahan di Pengadilan Agama tempat domisilinya untuk mendaftarkan perkawinanan yang selama ini dilakukan secara sirrî, dengan penetapan Pengadilan Agama dalam sidang itsbat perkawinan, maka penetapan tersebut dapat dijadikan dasar dalam mengajukan gugatan masalah kewarisan di Pengadilan Agama di tempatnya berdomisili. Kenyataan yang sering terjadi adalah bahwa sidang Itsbat pernikahan karena poligami jarang dikabulkan oleh pihak Pengadilan Agama. Hal tersebut sering sekali disebabkan oleh sidang izin poligami yang ditolak pengadilan karena pihak isteri pertama ternyata menolak atau tidak memberikan izin poligami terhadap suaminya yang telah meninggal dunia. Dengan demikian maka permohonan pihak isteri kedua untuk menetapkan perkawinannya dalam lembaga pencatat perkawinan ditolak oleh pihak pengadilan. Maka akibatnya adalah isteri kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta warisan peninggalan suaminya yang telah wafat, karena perkawinannya tidak sah secara hukum positif. 2. Pembagian Warisan Poligami Sirrî dalam Hukum Positif di Indonesia Salah satu fenomena yang cukup mendapat perhatian masyarakat dari perkawinan poligami adalah masalah pembagian warisan. Tidak dapat dipungkiri bahwa terjadi banyak konflik di masyarakat berkaitan dengan masalah pembagian warisan dalam perkawinan poligami. Hal ini dapat terjadi karena berbagai macam sebab, salah satu di antaranya adalah minimnya pengetahuan masyarakat tentang hukum dan kaedah-kaedah yang berlaku dalam pembagian warisan pada perkawinan poligami. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang harta benda dalam perkawinan yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan

89 72 berlangsung menjadi harta bersama. Demikian pula menurut Kompilasi Hukum Islam yakni bila seseorang menikah maka terjadi harta bersama. Harta bersama tersebut sering menjadi permasalahan dalam perkawinan poligami ketika terjadi perebutan harta akibat tidak ada pemisahan yang tegas antara harta bersama dari masing-masing perkawinan. Pembagian warisan dalam perkawinan poligami juga harus memperhatikan bagaimana nasib anak-anak hasil perkawinan itu. Dalam pembagian warisan, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut ditentukan dahulu asal mula harta, apakah harta yang ditinggalkan orang tua merupakan harta bawaan atau harta bersama dari hasil perkawinan. Pembagian warisan dalam perkawinan poligami merupakan satu hal yang hanya diatur dalam dua sistem hukum waris yang ada di Indonesia, yaitu sistem Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sementara dalam sistem Hukum Perdata tidak diatur, karena dalam pasal 27 KUHPerdata disebutkan bahwa sistem Hukum Perdata menganut azas monogami mutlak sehingga tidak memperbolehkan baik suami maupun isteri mempunyai pasangan lebih dari satu orang, sehingga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengatur soal pembagian warisan dalam perkawinan poligami. Adanya asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan tegas disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Tentunya asas monogami ini tidak bersifat terbatas dan paten, dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa; Pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang

90 73 bersangkutan. Hal ini memungkinkan bagi seorang suami untuk poligami tetapi atas izin dari pengadilan. 116 Dalam perkawinan poligami ada kemungkinan bercampurnya harta kekayaan antara isteri pertama dengan isteri kedua dan selanjutnya. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksananya, tidak mengatur lebih lanjut tentang perlindungan harta kekayaan dalam perkawinan poligami. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 94 ayat (1) dan (2) menentukan bahwa: a. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. b. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat. 117 Pasal tersebut menjelaskan bahwa perhitungan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami adalah separuh harta bersama yang diperoleh dengan isteri pertama dan separuh harta bersama yang diperoleh dengan isteri kedua dan seterusnya masing-masing terpisah dan tidak ada percampuran harta. 118 Perkawinan poligami yang terjadi di Indonesia dalam prakteknya sangat jarang didaftarkan di lembaga pencatat perkawinan, karena untuk mencatatkannya seorang suami harus mendapat persetujuan atau izin dari isteri pertama melalui Pengadilan Agama sebagaimana tersebut dalam pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Dalam prakteknya, jarang terjadi perempuan memberikan izin agar suaminya dapat melakukan perkawinan poligami. Akibat dari tidak tercatatnya perkawinan tersebut adalah adanya hambatan di kemudian hari dalam pelaksanaan pembagian warisan, karena isteri kedua dan seterusnya beserta anak-anak hasil 116 Bambang Sugianto, Kedudukan Ahli Waris Pada Perkawinan Poligami, (Jurnal Al Adl, Volume IX Nomor 2, Agustus 2017), h. 218, ISSN /ISSN-E , diakses pada tanggal 9 April Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 61.

91 74 dari perkawinan tersebut tidak mempunyai status hukum yang kuat dan jelas, sebab perkawinannya dilakukan secara sirrî atau di bawah tangan. 119 Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan; bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah dan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Artinya bahwa perkawinan poligami itu harus dilakukan sesuai dengan prosedur sebagaimana dianjurkan dalam Undang-undang Perkawinan dan hasil perkawinan tersebut harus dicatat di Lembaga Pencatat Perkawinan, apabila tidak dilakukan maka kedudukan anak yang dilahirkan dari poligami yang tidak tercatat hanya mempunyai hubungan hukum perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Oleh karena itu sangat dianjurkan bagi seseorang yang hendak melakukan perkawinan poligami untuk mendaftarkan perkawinannya, karena hal yang demikian itu akan berdampak terhadap status hukum anak-anak hasil dari perkawinannya apabila tidak dicatatkan, mulai dari tidak terdaftarnya di kantor kependudukan dan pencatatan sipil hingga permasalahan pembagian warisan saat sang ayah meninggal dunia. Hukum positif di Indonesia mengatur bahwa untuk mengajukan gugatan terhadap haknya, maka pihak isteri kedua terlebih dahulu harus mengajukan sidang itsbat pernikahan di Pengadilan Agama tempat domisilinya untuk mendaftarkan perkawinanan yang selama ini dilakukan secara sirrî, dengan penetapan Pengadilan Agama dalam sidang itsbat perkawinan, maka penetapan tersebut dapat dijadikan dasar dalam mengajukan gugatan masalah waris di Pengadilan Agama di tempatnya berdomisili. Namun kenyataan yang terjadi adalah bahwa sidang itsbat pernikahan karena poligami jarang dikabulkan oleh pihak Pengadilan Agama. Hal tersebut sering sekali disebabkan oleh sidang izin poligami yang ditolak Pengadilan karena pihak isteri pertama ternyata menolak atau tidak memberikan izin poligami terhadap suaminya yang telah meninggal 119 Asuan, Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Warisan Pada Perkawinan Poligami Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (E-Jurnal Hukum Unpal Vol. 7, No. 1 Januari, 2015), h. 138, diakses pada tanggal 10 April 2019.

92 75 dunia. Dengan demikian maka permohonan pihak isteri kedua untuk menetapkan perkawinannya dalam lembaga pencatat perkawinan ditolak oleh pihak Pengadilan. Maka akibatnya adalah isteri kedua dan seterusnya begitupun anakanak hasil dari perkawinan tersebut tidak berhak atas warisan peninggalan suaminya yang telah wafat, karena perkawinannya tidak sah secara hukum. 3. Pembagian Warisan Poligami Sirrî dalam Hukum farȃid Ashâb al-furûd (ahli waris yang mendapatkan bagian waris yang telah ditentukan) adalah mereka yang mendapatkan bagian dari warisan yang telah ditetapkan bagi mereka dalam Al-Qur an dan Sunnah, yaitu: 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/ Ashâb al-furûd ini ada dua belas (12) orang. Empat (4) dari kaum laki-laki, yaitu: ayah, kakek dan terus lurus ke atas, saudara laki-laki dari ibu, dan suami. Sedangkan delapan (8) lainnya adalah dari kaum perempuan, yaitu: isteri, anak perempuan, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, dan nenek. a. Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian setengah (1/2) dari harta warisan adalah: 121 1) Suami, yaitu apabila isteri yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan anak dan tidak pula ada anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan. 2) Anak perempuan tunggal, atau tidak mempunyai saudara yang lain. 3) Anak perempuan dari anak laki-laki, yaitu jika tidak memiliki anak perempuan, serta tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang perolehan warisan (mahjûb). 4) Saudara perempuan kandung, yaitu ketika dia seorang diri serta tidak ada orang yang menghalanginya. b. Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperempat (1/4) dari harta warisan adalah: Muhammad Alî al-sâbûnî, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, terjemah. Addys Aldizar, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h Muhammad Alî al-sâbûnî, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, h Muhammad Alî al-sâbûnî, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, h. 121.

93 76 1) Suami, jika isteri yang meninggal dunia meninggalkan anak laki-laki atau perempuan dan atau meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan. 2) Isteri atau beberapa isteri (tidak lebih dari empat orang), jika suami yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak (laki-laki atau perempuan), atau tidak juga anak dari anak laki-laki (baik laki-laki atau perempuan). c. Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperdelapan (1/8) dari harta warisan adalah: 123 1) Isteri atau beberapa isteri (tidak lebih dari empat orang), jika suami yang meninggal dunia itu meninggalkan anak (laki-laki atau perempuan), atau anak dari anak laki-laki (laki-laki atau perempuan). d. Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian dua pertiga (2/3) dari harta warisan adalah: 124 1) Dua anak perempuan atau lebih, dengan syarat tidak ada anak laki-laki. 2) Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan serta tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang dari perolehan warisan (mahjûb). 3) Dua orang saudara perempuan kandung (seibu sebapak) atau lebih, yaitu ketika tidak ada saudara perempuan kandung serta tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang perolehan warisan (mahjûb). e. Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian sepertiga (1/3) dari harta warisan adalah: 125 1) Ibu, jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak atau anak dari anak laki-laki (cucu laki-laki atau perempuan), dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki ataupun perempuan. 2) Dua saudara atau lebih yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan, jika tidak ada orang lain yang berhak menerima. 123 Muhammad Alî al-sâbûnî, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, h Muhammad Alî al-sâbûnî, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, h Muhammad Alî al-sâbûnî, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, h. 152.

94 77 f. Ahli waris yang berhak menerima bagian seperenam (1/6) dari harta warisan adalah: 126 1) Ayah si mayit, jika yang meninggal tersebut mempunyai anak atau anak dari anak laki-lakinya. 2) Ibu, jika dia mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki, atau beserta dua saudara kandung atau lebih, baik saudara laki-laki maupun perempuan yang seibu seayah, seayah saja, atau seibu saja. 3) Kakek (ayah dari ayah), yaitu jika beserta anak atau anak dari anak lakilaki, dan tidak ada ayah. 4) Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah), jika tidak ada ibu. 5) Cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih, ketika berkumpul dengan anak perempuan, dan tidak terhalangi oleh ahli waris yang lain (mahjûb). 6) Saudara perempuan sebapak. Ketika berkumpul dengan saudara perempuan kandung, dan tidak terhalangi oleh ahli waris yang lain. 7) Saudara laki-laki atau perempuan seibu, yaitu jika tidak ada hâjib (yang menghalanginya). 127 Suatu hubungan darah (nasabiyyah) atau hubungan perkawinan (sababiyyah) adalah hal yang menjadikan seseorang dinyatakan sebagai ahli waris. Orang-orang yang termasuk ahli waris karena hubungan darah (nasabiyyah) adalah terdiri dari: (1) anak laki-laki dan anak perempuan, (2) cucu, baik laki-laki maupun perempuan, (3) ayah, (4) ibu, (5) kakek, (6) nenek, (7) saudara laki-laki dan perempuan, sekandung, seayah, atau seibu, (8) anak saudara, (9) paman, dan (10) anak-anak paman. Sedangkan orang-orang yang termasuk ahli waris karena perkawinan (sababiyyah) hanyalah suami, atau isteri saja, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-nisa ayat 12. Dalam perkawinan poligami apabila memiliki keturunan dan salah satu anggota keluarga meninggal dunia, maka akan terjadi pewarisan. Firman Allah Swt dalam Al-Qur an surat al-nisa ayat 7: Muhammad Alî al-sâbûnî, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, h Kâmil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2007), h.

95 78 ل لر ج ال ن ص ي ب م اا ت ر ك ال و ال د ان و األ ق ر ب و ن و ل لن س اء ن ص ي ب م اا ت ر ك ال و ال د ان و األ ق ر ب و ن م اا ق ال 128)1 م ن ه أ و ك ث ر ن ص ي با م ف ر و ضا. )النساء [4]: Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (al-nisâ [4]: 7) Pada ayat tersebut, Allah Swt dengan keadilan-nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan yang kecil maupun yang besar, antara laki-laki maupun wanita juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah Swt tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab. 129 Demikian juga apabila dalam perkawinan poligami isteri meninggal, maka suami berhak mewarisinya atau sebaliknya apabila suami meninggal, maka isteriisteri berhak mewarisinya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt: و ل ك م ن ص ف م ا ت ر ك أ ز و اج ك م إ ن ل ي ك ن ل ان و ل د ف إ ن ك ان ل ان و ل د ف ل ك م الر ب ع م اا ت ر ك ن م ن ب ع د و ص يا ة ي و ص ي ه ا أ و د ي ن. و ل ان الر ب ع م اا ت ر ك ت م إ ن ل ي ك ن ل ك م و ل د ف إ ن ك ان ل ك م 130)79 و ل د ف ل ه ا ن الثم ن م اا ت ر ك ت م م ن ب ع د و ص ياة ت و ص و ن ه ا أ و د ي ن. )النساء [4]: Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. (al-nisâ [4]: 12) Hukum Islam yang tertulis dalam kitab-kitab Fiqih jelas mengatur perkawinan poligami bagi seseorang yang ingin menikahi lebih dari satu isteri. Salah satu aturan tersebut adalah tidak boleh menikah lebih dari empat isteri. 128 Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h Muhammad Alî al-sâbûnî, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, terjemah. Addys Aldizar, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h. 79.

96 79 Kendati demikian, aturan Fiqih tidak membebani seorang suami untuk melakukan pencatatan pernikahnnya, baik yang pertama maupun pernikahan yang selanjutnya. Hal ini tentu saja tidak ada dampak atau pengaruh negatif apapun berkenaan dengan hak-hak isteri kedua dan seterusnya dalam masalah harta peninggalan dan status hukum lainnya. Sama halnya dengan status hukum anak yang terlahir dari perkawinan kedua dan selanjutnya, semuanya dimata hukum Fiqih sama. Ketika seorang lelaki menikahi seorang wanita maka seluruh kewajiban dan hak bagi keduanya secara otomatis terikat pada diri masing-masing suami dan isteri tersebut, terlepas apakah itu isteri pertama atau kedua dan selanjutnya. Waris Islam dirumuskan sebagai perangkat ketentuan hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki seseorang pada waktu ia meninggal dunia. Sumber pokok hukum waris Islam adalah Al-Qur an dan Hadits Nabi Saw, kemudian Ijmâʻ dan Qiyâs. Akibat hukum suami menikah dengan lebih dari satu isteri (poligami) dalam pembagian warisan adalah ¼ dari harta peninggalan suami yang dibagikan sama besarnya antara isteri pertama dengan isteri kedua, ketiga dan seterusnya terhadap bagian masing-masing. Apabila suami mempunyai anak, maka bagian isteri atau isteri-isteri 1/8 dari harta peninggalan. Furûd bagi isteri sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur an adalah ¼ jika suaminya tidak meninggalkan anak dan 1/8 jika suaminya meninggalkan anak. Furûd untuk 4 orang isteri secara jelas tidak dinyatakan dalam Al-Qur an, namun para ulama sepakat bahwa furûd isteri hanya ¼ atau 1/8, baik untuk seorang isteri atau beberapa orang isteri. Alasannya adalah jika setiap isteri mendapatkan ¼ bagian maka seluruh harta kekayaan akan habis oleh isteri saja dan dzawî al-furûd lainya tidak mendapatkan bagian. 131 Berdasarkan uraian diatas maka penulis menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara Hukum Positif dan Hukum Islam berkenaan dengan perkawinan poligami dan pembagian hak warisan dalam perkawinan poligami sirrî tersebut. Hukum Positif menerangkan bahwa perkawinan poligami harus mengikuti 131 Amir Syariffudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 79.

97 80 prosedur-prosedur yang telah ditetapkan pemerintah baik itu syarat mengajukan maupun Undang-undang yang mewajibkan untuk mencatat semua perkawinan seseorang yang ingin melakukan poligami. Hal tersebut berkaitan dengan proses pembagian warisan dan besaran hak para ahli waris. Menurut Undang-undang apabila sebuah perkawinan tidak dicatatkan maka implikasi dalam hal waris adalah isteri dan anak-anak hasil perkawinan tersebut sulit untuk mendapatkan hak-hak mereka kecuali dengan beberapa prosedur panjang untuk mengesahkan perkawinan tersebut. Sedangkan Hukum Islam yang tertulis dalam kitab-kitab Fiqih jelas mengatur perkawinan poligami bagi seseorang yang ingin menikahi lebih dari satu isteri. Salah satu aturan tersebut adalah tidak boleh menikah lebih dari empat isteri. Kendati demikian, aturan Fiqih tidak membebani seorang suami untuk melakukan pencatatan pernikahannya, baik yang pertama maupun pernikahan yang selanjutnya. Hal ini tentu saja tidak ada dampak atau pengaruh negatif apapun berkenaan dengan hak-hak isteri kedua dan seterusnya dalam masalah harta peninggalan dan status hukum lainnya. Sama halnya dengan status hukum anak yang terlahir dari perkawinan kedua dan selanjutnya. Semua dimata Hukum Fiqih sama, karena ketika seorang lelaki menikahi seorang wanita maka seluruh kewajiban dan hak bagi keduanya secara otomatis terikat pada diri masing-masing suami dan isteri tersebut, terlepas apakah itu isteri pertama atau kedua dan selanjutnya.

98 BAB III GAMBARAN UMUM DESA SINDANGLAKA DAN PEMBAGIAN WARISAN PADA PERKAWINAN POLIGAMI SIRRÎ A. Gambaran Umum Masyarakat Desa Sindanglaka 1. Letak Geografis dan Demografis Kabupaten Cianjur dengan luas km², menjadi salah satu kabupaten terbesar di provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk pada tahun 2018 sebanyak jiwa, jumlah penduduk laki-laki sebanyak jiwa atau 52% dari jumlah keseluruhan, sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak jiwa atau 48% dari jumlah keseluruhan, dan laju pertumbuhan penduduk 1,48% per tahun. 1 Wilayah Kabupaten Cianjur dibagi ke dalam tiga bagian berdasarkan situasi geografis. Pertama adalah wilayah Cianjur Utara terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian meter dengan kombinasi pegunungan, perkebunan, dan pesawahan. Kedua adalah Cianjur Tengah, merupakan daerah yang berbukit-bukit kecil. Ketiga adalah Cianjur Selatan merupakan dataran rendah yang diselingi bukit-bukit dan pegunungan yang melebar sampai dengan Samudera Indonesia. Kabupaten Cianjur dikelilingi oleh 5 Kabupaten dan memiliki pantai sepanjang 75 Km, sebelah utara berbatasan dengan wilayah kabupaten Bogor dan Purwakarta, sebelah barat berbatasan dengan wilayah kabupaten Bandung dan Garut, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Kabupaten Cianjur secara Administratif terdiri dari 32 Kecamatan, 354 Desa, 6 Kelurahan, Rukun Warga (RW), dan Rukun Tetangga (RT). 2 Wilayah Utara mencakup 16 kecamatan yaitu: Cilaku, Cianjur, Warungkondang, Cibeber, Gekbrong, Karang Tengah, Ciranjang, Sukaluyu, Bojongpicung, Mande, Cugenang, Cikalongkulon, Sukaresmi, Pacet, Cipanas, dan Haurwangi. Wilayah Tengah meliputi 9 Kecamatan: Takokak, Sukanagara, Campaka, Campaka Mulya, Leles, Tanggeung, Cijati, Pagelaran, dan 1 diakses 15 Maret diakses 16 Maret

99 82 Kadupandak. Wilayah Selatan mencakup 7 kecamatan: Agrabinta, Cibinong, Cidaun, Sindangbarang, Naringgul, Pasirkuda, dan Cikadu. Terjadi kesenjangan penyebaran jumlah penduduk di ketiga bagian wilayah Cianjur. Kepadatan penduduk di kecamatan-kecamatan wilayah Utara jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah selatan dan tengah dibandingkan dengan Kecamatan lain. Berdasarkan hasil proyeksi pada Semester I tahun 2018 kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Cianjur dengan jumlah penduduk sebesar jiwa. Kemudian pada peringkat kedua terbanyak adalah Kecamatan Karang Tengah dengan jumlah kepadatan penduduk sebesar jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak KK, Jumlah lakilaki sebanyak jiwa dan jumlah perempuan sebanyak jiwa. 3 Kecamatan Karang Tengah terdiri dari 16 Desa, 133 rukun warga (RW), 560 rukun tentangga (RT). 4 Dengan luas wilayah 48,52 km², batas wilayah Kecamatan Karang Tengah secara geografis adalah Kecamatan Mande sebelah utara, kemudian sebelah selatan adalah Kecamatan Cilaku, sebelah timur adalah Kecamatan Sukaluyu, dan sebelah barat adalah Kecamatan Cianjur. Kecamatan Karang Tengah terdiri dari 16 desa yaitu; Bojong, Babakan Caringin, Hegarmanah, Ciherang, Maleber, Langensari, Sindangasih, Sabandar, Sukajadi, Sindanglaka, Sukamantri, Sukamanah, Sukasarana, Sukamulya, Sukataris, Sukasari. Desa Sindanglaka terletak di kecamatan Karang Tengah kabupaten Cianjur, dengan luas wilayah Ha, dengan batas wilayah sebagai berikut; bagian utara berbatasan dengan Desa Leuwi Koja Kecamatan Mande, bagian timur berbatasan dengan Desa Sukamanah, bagian selatan berbatasan dengan Desa Bojong, bagian barat berbatasan dengan Desa Sukataris. Dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa dan jumlah KK sebanyak kepala keluarga, Desa Sindanglaka secara administratif memiliki 9 rukun warga (RW), 35 rukun 3 diakses 16 Maret diakses 16 Maret 2020.

100 83 tetangga (RT), jumlah penduduk laki-laki sebanyak jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak jiwa. 5 Desa Sindanglaka berada di wilayah persawahan, pada umumnya desa Sindanglaka dilewati oleh jalan raya dan jalan desa yang menghubungkan satu desa dengan desa yang lainnya. Secara topografis wilayah desa Sindanglaka pedataran dengan dikelilingi oleh banyak persawahan warga. Adanya sungai yang menghubungkan beberapa desa menjadikan wilayah ini strategis dengan tiga batas dusun meliputi; Sukamanah, Bojong, dan Sukataris. Di beberapa sisi jalan terdapat sawah, tambak ikan dan perkebunan milik penduduk sebagai mata pencahariannya. 6 Kantor desa Sindanglaka berada tepat di depan jalan raya yang menghubungkan antara Kecamatan Karang Tengah dengan wilayah kabupaten Cianjur. Desa Sindanglaka berada di ibukota kecamatan, dengan jarak tempuh sekitar 2 km ke ibukota kecamatan. Desa Sindanglaka dari segi iklim memiliki 400 Mm curah hujan, dengan rata-rata jumlah bulan hujan selam 4 bulan. Suhu rata-rata hariannya mencapai 30 derajat Celcius, dengan ketinggian 300 meter diatas permukaan laut. Dari jiwa, penduduk Desa Sindanglaka semuanya penganut agama Islam Keadaan Etnis dan Keagamaan Alasan memilih kota Cianjur sebagai lokasi penelitian adalah identitas kota Cianjur yang sangat menarik, yang meleburkan identitas etnik dan keagamaan: Sunda dan Islam. Mayoritas penduduk Cianjur merupakan etnis Sunda yang memeluk agama Islam. Bahkan secara khusus Cianjur juga disebut sebagai kota santri, karena banyaknya pesantren di kota ini. 8 Kondisi yang tampak jelas juga terjadi di desa Sindanglaka, salah satu desa yang berada di Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Cianjur. Dalam keseharian, ciri ke-sundaan dan ke- 5 Pemerintah Kabupaten Cianjur, Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daftar Isian Potensi Desa, (Cianjur: 20018), h Pemerintah Kabupaten Cianjur, Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daftar Isian Potensi Desa, h Pemerintah Kabupaten Cianjur, Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daftar Isian Potensi Desa, h Maret 2020.

101 84 Islaman menyatu dalam konteks-konteks sosial dan kultural kehidupan masyarakat desa Sindanglaka. Secara politis sepertinya ciri identitas ini ingin dilembagakan oleh para elite terutama setelah Era Reformasi, melalui dibangunnya berbagai simbol fisik dan kebijakan publik. Namun dalam praktiknya, masyarakat Cianjur yang bertutur bahasa santun, bersikap sopan terutama kepada pendatang; memiliki pemaknaan dan caranya sendiri dalam menampilkan identitasnya, yang belum tentu sama dengan apa yang dikehendaki oleh para elite politiknya. Pemaknaan terhadap Islam paling banyak disimbolkan dalam larangan maksiat dan cara bagaimana perempuan harus berpakaian, yang bahkan ditulis di plang-plang yang ditempatkan di jalan raya atau tempat keramaian (publik). Pada prinsipnya semua larangan itu mengobyektifikasi ketubuhan perempuan. Karena dari perspektif laki-laki, nampaknya perempuan yang harus dibebani simbolsimbol yang merepresentasi diri laki-laki. Karena perempuan adalah milik lakilaki. Berjilbab Ciri Wanita Muslimah Beriman. Tulisan ini terpampang pada sebuah plang besar di pinggir jalan raya. Plang-plang bertuliskan semacam itu dapat dengan mudah kita jumpai di pinggir jalan raya di kota Cianjur maupun di beberapa desa dan kelurahan di Cianjur, di pesantren atau bahkan di sekolah negeri sekalipun. Perempuan berjilbab memang menjadi pemandangan yang sangat biasa dalam kehidupan sehari-hari. Murid Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), sebagian besar menggunakan jilbab meskipun statusnya adalah sekolah negeri. Di sebuah Pesantren bahkan terdapat tulisan kawasan wajib jilbab di pintu gerbangnya. Kebijakan untuk menggunakan jilbab dalam praktiknya diinterpretasikan secara beragam. Setidaknya hal ini dilihat dari cara bagaimana perempuan di Cianjur berpakaian. Salah satu contoh apabila kita pergi ke supermarket besar, tidak sedikit perempuan yang berani menggunakan pakaian ketat. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang Amil Desa Sindanglaka yang di wawancara untuk penelitian ini mengatakan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak terlalu peduli dengan citra Islami yang berusaha dibangun oleh elit pemerintah melalui gerakan

102 85 akhlakul karimah, 9 terutama melalui gerakan penggunaan jilbab bagi kaum perempuan. Komposisi penduduk berdasarkan agama di Kabupaten Cianjur terdapat berbagai ragam kelompok agama selain Islam, seperti Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Mereka tinggal di beberapa kecamatan di Wilayah Cianjur Utara dan Tengah. Mayoritas penduduk Cianjur beragama Islam, secara kuantitatif besarnya jumlah penduduk yang beragama Islam tersebut sekaligus merupakan potensi penting yang diharapkan mampu menunjang pelaksanaan dakwah Islamiyah. Sarana keagamaan tersebar dimana-mana seperti, masjid, langgar, mushalla. pondok pesantren, majelis taklim, dan lembaga keagamaan lainnya yang menjadikan Cianjur lebih kental dengan nuansa ke-islamannya. Potensi lain yang tak kalah pentingnya adalah sejumlah lembaga pendidikan formal seperti, pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi, disamping sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang kesemuanya diharapkan mampu membangun nilai-nilai ke-islaman di daerah kabupaten Cianjur. 10 Awal cerita dari lahirnya sebuah pesantren di sebuah daerah selalu dihiasi dengan berbagai konflik antara pihak pesantren dan warga sekitar yang selalu berakhir dengan kemenangan pesantren sehingga masyarakat sekitar pada akhirnya dapat menerima keberadaannya bahkan kemudian menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya dalam bidang sosial keagamaan. Nilai baru yang dibawa pesantren tersebut, untuk mudahnya disebut nilai putih yaitu nilai-nilai moral keagamaan, sedangkan nilai lama yang lebih dulu ada di dalam masyarakat, disebut nilai hitam, yaitu nilai-nilai rendah yang tidak terpuji. Kontribusikontribusi awal yang dilakukan pesantren lebih bersifat edukatif yang berorientasi kepada transformasi sosial Secara khusus Bupati Cianjur menerapkan gerakan masyarakat akhlakul karimah yang diterjemahkan sebagai anjuran untuk mengenakan pakaian yang Islami, utamanya ditujukan kepada mereka yang bekerja di lembaga pemerintah. Secara politis, hal ini dapat dimaknai bahwa mereka yang bekerja di lembaga pemerintah diharapkan adalah hanya kaum Muslim saja. Padahal menurut data kependudukan di Cianjur juga dijumpai pemeluk agama lain selain Islam Diakses tanggal 17 Maret Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 20.

103 86 Pesantren hadir ditengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga syiar agama, dan sosial keagamaan. Pesantren berhasil menjadikan dirinya sebagai poros gerakan pengembangan Islam, seperti dikemukakan oleh Dr. Soebardi, dan Prof. Johns, yang dikutip oleh Zamaksyari Dhofier dalam bukunya; Tradisi Pesantren, (1982): lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak ke- Islaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dari lembagalembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengembara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang Inggris dan Belanda dari akhir abad ke-16 agar dapat memahami dengan benar sejarah masuknya Islam di wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga- lembaga pesantren, karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi poros tersebarnya agama Islam di wilayah ini. 12 Pergumulan-pergumulan pesantren dengan realitas yang ada disekitarnya meliputi berbagai dimensi kehidupan masyarakatnya, memperlihatkan keunikan pesantren sebagai sebuah komunitas yang kemudian mampu membangun kulturnya sendiri. Juga membuktikan bahwa pesantren memberikan kontribusi yang besar bagi penciptaan tatanan masyarakat dan bangsa, juga terhadap peradaban sejarah anak manusia. 13 Sejarah dan kultur awal terbentuknya pesantren, misalnya yang diteliti oleh Steenbrink, bahwa kontribusi pesantren pada umumnya berada di pedesaan, lebih dikaitkan dengan usaha pembukaan daerah pertanian baru dan transmigrasi lokal yang kemudian melahirkan komunitas masyarakat tertentu. Ulama dengan komunitas pesantrennya ikut membangun saluran air dan irigasi untuk mengembangkan pertanian. Kontribusi-kontribusi semacam inilah yang perlu dipertahankan, bahkan kalaupun perlu, dicari penyesuaian dan perumusan strateginya yang tepat untuk menghadapi dampak negatif dari sebuah akar modernisme yang hadir ditengah-tengah masyarakat kita. Hal ini dimungkinkan 12 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), h Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 70.

104 87 karena memang konteks sosio-kultural yang dihadapi pesantren sekarang jauh berbeda dengan masa yang telah lalu. 3. Kondisi Ekonomi Masyarakat Desa Sindanglaka Pada umumnya tanah Cianjur yang subur dimanfaatkan untuk pertanian. Di Cianjur Utara penduduknya banyak bertanam sayuran, teh, dan tanaman hias. Penduduk Cianjur Tengah bertanam padi, kelapa, dan buah-buahan. Sementara itu di Cianjur Selatan terdapat pertanian palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa dan juga buah-buahan. Kabupaten Cianjur adalah salah satu dari sedikit wilayah di pulau Jawa yang mampu berswasembada padi. Pertanian padi terdapat hampir di seluruh wilayah. Beras Cianjur adalah jenis beras yang sangat dikenal rasa dan kualitasnya di Indonesia. Tanaman sayur-mayur menjadi andalan untuk didisteribusikan ke wilayah lain dan setiap hari belasan ton dipasok ke wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah desa Sindanglaka tumbuh subur tanaman sayur, teh dan tanaman hias. Di desa Sindanglaka tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sebagai daerah agraris yang pembangunannya bertumpu pada sektor pertanian, desa Sindanglaka merupakan salah-satu daerah penghasil padi. Setiap tahunnya desa Sindanglaka dapat memproduksi padi sekitar ton, dan masih memperoleh keuntungan 15% dari jumlah sebesar itu walaupun telah dikurangi kebutuhan konsumsi lokal dan benih. Produksi pertanian padi terdapat hampir di seluruh wilayah desa Sindanglaka. 14 Pembangunan kependudukan merupakan langkah penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Upaya ini di selenggarakan melalui dua langkah pokok pengendalian kuantitas penduduk. Pengendalian kuantitas penduduk dilaksanakan melalui program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, pengaturan mobilitas penduduk dan penyelenggaraan administrasi kependudukan. Sedangkan peningkatan kualitas penduduk dapat dilihat melalui pencapaian indek 14 Pemerintah Kabupaten Cianjur, Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daftar Isian Tingkat Perkembangan Desa, (Cianjur. 2006), h. 1.

105 88 pembangunan sumber daya manusia, dengan mendirikan sarana-sarana pendidikan disekitar wilayah desa Sindanglaka. 15 Jauhnya jarak tempuh masyarakat desa Sindanglaka ke pusat kota Jakarta, membiasakan mereka terbiasa hidup sederhana dengan tanah dan pengetahuan yang mereka miliki. Kerja keras dan semangat yang besar adalah modal utama bagi masyarakat desa Sindanglaka untuk terus bertani, bercocok tanam, dan sebagaian kecil ada yang memilih menjadi pedagang serta buruh atau jasa. Meski demikian, laju pertumbuhan perekonomian masyarakat desa Sindanglaka cukup maju dan berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bangunanbangunan mewah, rumah-rumah bertingkat, serta sarana dan prasarana pembangunan yang setiap tahunnya mengalami perkembangan Permasalahan Sosial-Kultural Sebutan sebagai Kota Santri bagi Cianjur dengan banyaknya pesantren yang tumbuh dan berkembang tidak menyebabkan kota ini terbebas dari berbagai persoalan sosial dan kultural. Di antaranya adalah pernikahan yang tidak dicatat dan menyebabkan terbatasnya perlindungan hukum bagi perempuan dan anak, juga tingkat kawin-cerai yang tinggi. Maksudnya adalah perkawinan yang sangat singkat yang diakhiri dengan perceraian untuk kemudian terjadi lagi berulangulang. a. Pernikahan Yang Tidak Dicatat Bagi sebagian masyarakat Cianjur khususnya di desa Sindanglaka pernikahan sudah dianggap sah jika dilakukan menurut agama, dalam hal ini dianggap tidak perlu lagi mencatatkannya di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS). Sungguhpun sudah ada hukum yang mengatur, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa setiap pernikahan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia harus dicatatkan di KUA atau KCS. Pencatatan resmi perkawinan tentu saja sangat penting untuk melindungi status perempuan atau isteri dan anak-anak yang kelak lahir dari perkawinan tersebut. 15 Pemerintah Kabupaten Cianjur, Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daftar Isian Tingkat Perkembangan Desa, h Hendra, Sekretaris Desa Sindanglaka, Wawancara Pribadi, Cianjur 2 Maret 2020.

106 89 Pendapat tentang tidak perlunya pencatatan ini, menurut warga masyarakat dibenarkan oleh sebagian Ajengan 17 di Cianjur. Pada umumnya pernikahan dilakukan menurut agama -begitu istilah mereka- tanpa dicatatkan ke KUA. Namun pendapat tidak perlunya pencatatan pernikahan tidak dibenarkan oleh tokoh-tokoh agama yang lain. Seorang mantan kepala KUA di daerah Sindanglaka dan juga seorang Ustadz, Pak Rudi (bukan nama sebenarnya) mengatakan bahwa praktik nikah dibawah tangan sering dilakukan. Seringkali pernikahan tersebut adalah pernikahan yang bermasalah seperti kawin lari atau pernikahan poligami, pak Rudi bercerita bahwa pada suatu hari seorang lelaki datang ke kantornya sambil marah-marah. Setelah ditenangkan dan ditanya lebih lanjut rupanya lelaki itu menuntut Akta Nikah yang tidak kunjung diberikan walaupun sudah menikah beberapa bulan. Pak Rudi lalu mengecek buku register dan tidak menemukan nama laki-laki tersebut di dalamnya. Rupanya lelaki tersebut menikah di suatu Pesantren tetapi oleh pihak Pesantren tidak dicatatkan di KUA sehingga tidak keluar Akta Nikahnya. Kejadian ini membuat pak Rudi semakin giat memberikan sosialisasi pentingnya mencatatkan pernikahan di KUA terutama di kalangan ajengan. 18 b. Tingkat Kawin Cerai Yang Tinggi Fenomena Kawin-Cerai yang terjadi di Desa Sindanglaka dan di beberapa desa di Cianjur adalah hal yang biasa. Maka tidak mengherankan jika sebagian masyarakat mengatakan bahwa ia pernah bercerai dan menikah lagi dan menganggap faktor usia pernikahan muda adalah alasan perceraian. Di Sindanglaka dan beberapa desa, perempuan pada umumnya menikah pada usia belasan tahun bahkan perkawinan anak. Beberapa informan mengakui bahwa menikah di usia muda adalah pernikahan yang belum matang karena masing-masing pasangan masih memiliki perasaan egoisme yang tinggi. Akibatnya sulit untuk mempertahankan rumah tangga. Alasan perceraian lainnya adalah karena perempuan menjadi buruh 17 Ajengan adalah sebutan bagi tokoh agama di pesantren yang biasanya berperan besar dalam masyarakat termasuk dalam hal kasus perkawinan. 18 Wawancara dengan bapak Ust. Rudi salah satu tokoh agama dan mantan kepala KUA Kecamatan Karang Tengah pada tanggal 2 Maret 2020 di kediamannya.

107 90 migran tenaga kerja wanita atau TKW. Menurut penuturan Pak Rudi perempuan yang pergi ke Arab Saudi sebagai buruh migran sekembalinya ke desa merasa bahwa suaminya begitu-begitu saja. Pekerjaan sebagai petani, terutama buruh tani, tidak menghasilkan banyak uang. Perempuan tersebut lalu meminta cerai dan menikah lagi dengan lelaki yang status ekonominya lebih baik. Atau ketika seorang perempuan pergi ke Arab Saudi sebagai buruh migran suaminya di desa menikah lagi dengan perempuan lain. Ini juga menjadi alasan perceraian. Dari beberapa hasil wawancara terdapat sebagian masyarakat desa Sindanglaka tidak pernah bercerai di Pengadilan Agama Cianjur. Hal ini tentu merupakan implikasi dari banyaknya pernikahan yang juga tidak dicatatkan. Masyarakat desa Sindanglaka biasa melakukan perceraian hanya dengan bukti sebuah surat talak yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan satu atau dua orang saksi. Surat talak tersebut ada yang ditulis dengan tangan dan ada yang diketik. Bagi masyarakat daerah tersebut punya atau tidak punya Akta Nikah dan Akta Cerai yang sah tidak terlalu dianggap masalah karena mereka bisa mendapatkan dokumen kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) yang dirasa sebagai dokumen wajib tanpa repot-repot melampirkan Akta Nikah atau Akta Cerai. 19 Kesimpulan tentang pembahasan mengenai Desa Sindanglaka meliputi beberapa hal antara lain adalah; desa Sindanglaka terletak di kecamatan Karang Tengah kabupaten Cianjur, dengan luas wilayah Ha. Dengan jumlah penduduk berdasarkan sensus terakhir yang dilakukan pada tahun 2018 sebanyak jiwa, jumlah penduduk laki-laki sebanyak jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak jiwa. Berdirinya beberapa pondok pesantren memberikan pengaruh terhadap keberadaan agama Islam yang sangat kuat di Desa Sindanglaka, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hampir semua penduduk desa Sindanglaka beragama Islam. Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah desa Sindanglaka tumbuh subur tanaman sayur, teh dan tanaman hias. Di desa Sindanglaka tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. 19 Wawancara dengan bapak Ust. Rudi salah satu tokoh agama dan mantan kepala KUA Kecamatan Karang Tengah pada tanggal 2 Maret 2020 di kediamannya.

108 91 Sebagai daerah agraris yang pembangunannya bertumpu pada sektor pertanian, desa Sindanglaka merupakan salah-satu daerah penghasil padi. Setiap tahunnya desa Sindanglaka dapat memproduksi padi sekitar ton, dan masih memperoleh keuntungan 15% dari jumlah sebesar itu walaupun telah dikurangi kebutuhan konsumsi lokal dan benih. Produksi pertanian padi terdapat hampir di seluruh wilayah desa Sindanglaka. Terdapat beberapa hal yang terjadi di Desa Sindanglaka mengenai perilaku kebanyakan masyarakat dalam hal yang berkaitan dengan Hukum di Indonesia, banyaknya perkawinan yang sirrî dan tingginya tingkat kawin cerai dapat menjadi bukti terhadap hal tersebut. B. Perkawinan Poligami Sirrî dan Pembagian Warisan di Desa Sindanglaka 1. Catatan Penelitian 20 Pada tahap awal di lapangan, peneliti agak kesulitan untuk mendapatkan kasus waris dalam pernikahan poligami dan kasus-kasus waris lainnya yang dihadapi oleh warga masyarakat di beberapa daerah di Cianjur apalagi perempuan. Masalah waris bukanlah masalah kasatmata yang banyak dihadapi oleh warga masyarakat. Seminggu pertama peneliti memilih untuk melakukan observasi di Pengadilan Agama untuk mencari berapa banyak kasus waris baik penetapan ahli waris ataupun sengketa waris yang sedang berjalan dan ditangani oleh Pengadilan Agama. Ternyata jumlah kasus waris jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kasus perceraian misalnya. Dalam setahun tidak lebih dari 10 kasus waris yang ditangani oleh Pengadilan Agama. Peneliti kemudian berbincang 21 dengan salah seorang panitera atau juru bicara di Pengadilan Agama dan dia mengatakan bahwa sebagian besar kasus waris diselesaikan secara kekeluargaan oleh masyarakat dengan bantuan ulama setempat. Penyelesaiannya cenderung dilakukan melalui musyawarah internal 20 Catatan penelitian ini dirasa penting untuk dibuat, untuk memberi penjelasan tentang proses penelitian yang lebih lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan. Metodologi dilakukan dengan bersumber dari wawancara terhadap informan yaitu wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawwir salah satu tokoh agama di Desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya.dan beberapa warga masyarakat desa Sindanglaka pada tanggal Maret Wawancara dilakukan pada tanggal 27 Februari 2020 di Pengadilan Agama Kelas 1B Cianjur Jawa Barat dengan bapak Asep, S.Ag, M.H selaku Pembina Tingkat I/ Hakim Madya Muda.

109 92 keluarga dan bersifat tertutup. Jadi, pada umumnya masalah waris tidak dibawa ke Pengadilan Agama. Bagaimana kasus waris pada perkawinan poligami dalam kehidupan keseharian warga masyarakat di Cianjur, terjun langsung ke masyarakat untuk mencari kasus waris bukan perkara yang mudah. Kebanyakan warga yang peneliti temui di sekitar tempat tinggal peneliti hanya mengetahui desas-desus penyelesaian waris tetangga mereka tanpa mengetahui kebenarannya. Peneliti pun kemudian dianjurkan oleh salah seorang warga untuk bertanya kepada para Amil Desa karena mereka selaku Pamong Desa biasanya mengetahui hal-hal yang terjadi di desa mereka. Dari hasil wawancara dengan beberapa Amil atau Pamong Desa, peneliti mendapatkan beberapa kasus waris yang dapat dipelajari lebih mendalam yang berkaitan dengan masalah waris pada perkawinan poligami, kasus-kasus tersebut berasal dari desa Sindanglaka Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Cianjur Jawa Barat, juga di beberapa desa lainnya seperti desa Sayang Kecamatan Cianjur. Namun peneliti disini memilih desa Sindanglaka Kecamatan Karang Tengah. Di desa Sindanglaka, peneliti dapat melakukan penelitian berkat jasa Ustad Jamil Munawir pemilik pesantren Tanwiriyah atau salah satu daripada cucu pendiri Pesantren tersebut, beliau juga merupakan ulama terpandang di desa Sindanglaka. Peneliti juga melakukan survei di beberapa wilayah di Desa Sindanglaka dengan melakukan wawancara yang diperoleh secara langsung dari responden dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berdasarkan kerangka yang telah dibuat sebelumnya. Dalam menetapkan responden, penulis menggunakan teknik snowball sampling yang merupakan teknik pengambilan sampel dengan bantuan key informan, dan dari key informan inilah akan berkembang sesuai petunjuknya. Dalam hal ini penulis menentukan kriteria sebagai persyaratan untuk dijadikan sampel. Sebelum menentukan sampel, penulis terlebih dahulu melakukan wawancara terhadap anggota administrasi desa seperti sekretaris desa, ketua RW, dan ketua RT sebagai bahan informasi yang akan penulis gunakan untuk menentukan sampel. Dengan teknik snowball sampling ini

110 93 dipilih responden berjumlah satu orang sebagai key informan yang merupakan ahli waris dari keluarga yang pernah melakukan poligami sirrî di Desa Sindanglaka, untuk selanjutnya memberikan petunjuk siapa responden dari warga masyarakat yang bersedia untuk meberikan data tentang permasalahan yang akan diteliti. Dari hasil survei dan wawancara, penulis berhasil mengumpulkan data dari 10 keluarga yang orang tuanya (bapak) meninggal dan pernah melakukan poligami sirrî melalui informasi dari ahli waris setiap keluarga yang penulis wawancarai. Dalam prosentasi, jumlah 10 tersebut ternyata 67% dari jumlah populasi warga yang keluarganya pernah melakukan poligami sirrî, karena dari informasi yang didapat ada 15 sampai 16 keluarga yang bapaknya pernah melakukan poligami sirrî dan melakukan pembagian warisan. Kemudian salah satu dari temuan survei dan wawancara diketahui bahwa peranan ulama cukup besar dalam penyelesaian warisan yaitu dengan menggunakan hukum farȃid. Penulis juga menemukan beberapa kasus pembagian warisan poligami yang dilakukan secara internal keluarga, penulis mendapati adanya penggunaan hukum waris Islam yang tidak keseluruhan, kemudian ada juga yang menggunakan hukum Islam secara keseluruhan yaitu dengan menggunakan hukum farȃid. Dari hasil temuan lainnya pembagian warisan dilakukan dengan sama rata yaitu 1/8 untuk masing-masing isteri yang ditinggalkan pewaris, ada juga yang membaginya kepada ahli waris yang sah menurut hukum positif sedangkan isteri-isteri yang dinikahi pewaris dan pernikahan sirrî maka hanya dibagikan secara hibah saja dan tidak mendapatkan warisan. Hasil temuan lainnya tentang pembagian warisan terhadap anak-anak dari perkawinan poligami sirrî, anak-anak dari isteri pertama mendapatkan jatah warisan sesuai ketentuan hukum Islam yaitu 2:1, sedangkan anak-anak dari isteri kedua dibagikan secara merata. Alasan mendasar atas pembagian warisan semacam ini adalah kekuasaan penuh rumah tangga yang berada dipundak ahli waris yang sah, sehingga isteri dan anak-anak yang tidak sah secara hukum tidak mampu menolak keputusan tersebut, mereka hanya dapat menerima keputusan tanpa adanya iterpensi apapun. Sedangkan alasan pembagian 2:1 antara anak lakilaki dan perempuan adalah karena anak laki-laki memiliki tanggungan yang lebih besar daripada anak perempuan.

111 94 2. Perkawinan Poligami Sirrî di Desa Sindanglaka Perkawinan poligami yang terjadi di Indonesia dalam prakteknya sangat jarang didaftarkan di lembaga pencatat perkawinan, karena untuk mencatatkannya seorang suami harus mendapat persetujuan atau izin dari isteri pertama melalui Pengadilan Agama sebagaimana tersebut dalam pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Dalam prakteknya, jarang terjadi perempuan memberikan izin agar suaminya dapat melakukan perkawinan poligami. Akibat dari tidak dicatatnya perkawinan tersebut adalah adanya hambatan di kemudian hari dalam pelaksanaan pembagian warisan, karena isteri kedua dan seterusnya beserta anak-anak hasil dari perkawinan tersebut tidak mempunyai status hukum yang kuat dan jelas, sebab perkawinannya dilakukan secara sirrî atau di bawah tangan. 22 Bagi sebagian masyarakat Cianjur khususnya di desa Sindanglaka pernikahan sudah dianggap sah jika dilakukan menurut agama, dalam hal ini dianggap tidak perlu lagi mencatatkannya di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS). Sungguhpun sudah ada hukum yang mengatur, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa setiap pernikahan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia harus dicatatkan di KUA atau KCS. Pencatatan resmi perkawinan tentu saja sangat penting untuk melindungi status perempuan atau isteri dan anak-anak yang kelak lahir dari perkawinan tersebut. Pendapat tentang tidak perlunya pencatatan ini, menurut warga masyarakat dibenarkan oleh sebagian Ajengan 23 di Cianjur. Pada umumnya pernikahan dilakukan menurut agama -begitu istilah mereka- tanpa dicatatkan ke KUA. Namun pendapat tidak perlunya pencatatan pernikahan tidak dibenarkan oleh tokoh-tokoh agama yang lain. Seorang mantan kepala KUA di daerah Sindanglaka dan juga seorang Ustadz, Pak Rudi (bukan nama sebenarnya) mengatakan bahwa praktek nikah dibawah tangan sering dilakukan. Seringkali 22 Asuan, Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Warisan Pada Perkawinan Poligami Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (E-Jurnal Hukum Unpal Vol. 7, No. 1 Januari, 2015), h. 138, diakses pada tanggal 10 April Ajengan adalah sebutan bagi tokoh agama di pesantren yang biasanya berperan besar dalam masyarakat termasuk dalam hal perkawinan.

112 95 pernikahan tersebut adalah pernikahan yang bermasalah seperti kawin lari atau pernikahan poligami, pak Rudi bercerita bahwa pada suatu hari seorang lelaki datang ke kantornya sambil marah-marah. Setelah ditenangkan dan ditanya lebih lanjut rupanya lelaki itu menuntut Akta Nikah yang tidak kunjung diberikan walaupun sudah menikah beberapa bulan. Pak Rudi lalu mengecek buku register dan tidak menemukan nama laki-laki tersebut di dalamnya. Rupanya lelaki tersebut menikah di suatu Pesantren tetapi oleh pihak Pesantren tidak dicatatkan di KUA sehingga tidak keluar Akta Nikahnya. Kejadian ini membuat pak Rudi semakin giat memberikan sosialisasi pentingnya mencatatkan pernikahan di KUA terutama di kalangan ajengan. 24 Berdasarkan kasus tersebut, peneliti melakukan survei di beberapa wilayah di desa Sindanglaka. Terdapat 15 keluarga yang bapaknya meninggal dan pernah melakukan poligami sirrî dan pembagian warisannya. 25 Namun yang penulis jadikan sampel untuk penelitian dengan menggunakan metode wawancara adalah 10 keluarga, jumlah tersebut adalah 67% dari jumlah populasi warga yang keluarganya melakukan pernah poligami sirrî. Wawancara dilakukan melalui perwakilan dari ahli waris setiap keluarga dan sebanyak 10 orang, masing-masing keluarga satu orang ahli waris. Jumlah keseluruhan kepala keluarga yang sudah meninggal dan pernah melakukan poligami sirrî dan pembagian warisannya sebanyak 10 kepala keluarga yang penulis jadikan sampel penelitian, dengan rincian sebagai berikut: a. H. Umar 1) Hj. Rosmani 2) Hj. Ainun b. H. Zainal 1) Hj. Neneng 2) Ibu Sari 24 Wawancara dengan bapak Ust. Rudi salah satu tokoh agama dan mantan kepala KUA Kecamatan Karang Tengah pada tanggal 2 Maret 2020 di kediamannya. 25 Sumber data jumlah penduduk yang melakukan poligami sirrî berdasarkan informasi dari informan dan beberapa ketua RT di desa Sindanglaka setelah penulis mendapatkan izin penelitian dari pihak kantor kepala desa Sindanglaka.

113 96 c. H. Abidin 1) Rahmawati 2) Neng Siti Rohmah d. H. Abdul Halim 1) Hj. Nining Fatmawati 2) Hamdiyyah e. H. Husin 1) Ibu Ai Nur jannah 2) Ibu Maulida f. H. Suyuthi 1) Hj. Marhamah 2) Ibu Ucu Zuhriyah g. H. Nanang Suhendra 1) Hj. Siti Maryam 2) Ibu Zainab h. H. Deden Muttaqin 1) Hj. Maisaroh 2) Hj. Lela 3) Hj. Maryati 4) Hj. Syifa i. H. Sopyan 1) Hj. Salsabila 2) Ibu Nenti j. H. Abdullah 1) Hj. Yuni 2) Titin 3. Pembagian Warisan Perkawinan Poligami Sirrî di Desa Sindanglaka Masyarakat desa Sindanglaka Cianjur pada umumnya relatif homogen, oleh karenanya sifat paternalistik sangat terlihat, dan dalam hal ini peranan ulama sangat besar dalam menentukan soal warisan. Situasi ini dapat menjelaskan pandangan masyarakat terhadap perkara warisan dalam beberapa hal. Pertama,

114 97 mereka meyakini bahwa melakukan pembagian warisan adalah bagian dari ibadah, sehingga sebaiknya dilakukan dengan ilmu farâid oleh kyai atau ustad. Mereka khawatir jika tidak dilakukan dengan cara itu, termasuk bila membawa kasus waris ke Pengadilan maka akan mengurangi pahala. Kedua, mereka percaya bahwa pembagian warisan juga harus membawa barokah atau berkat bagi para pihak yang terlibat, sehingga kalau pergi ke Pengadilan Agama ditakutkan tidak barokah. Ketiga, adanya paham mahabbah guru atau rasa cinta kepada guru, sehingga apa yang dikatakan oleh para kyai atau ustad akan dipegang teguh oleh masyarakat sekitar. Keempat, adanya kepuasan batin jika menyelesaikan masalah melalui ustad setempat, ketenangan batin yang tidak bisa dibayar dengan uang. Kenyataan berbeda ditemukan dalam penelitian yaitu penyelesaian pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî. Penulis menemukan beberapa kasus yang tidak diselesaikan sesuai dengan ketentuan farâid, banyak diantaranya diselesaikan dengan kesepakatan internal keluarga, kesepakatan yang dilakukan dipimpin oleh pihak isteri pertama dan anak-anak dari isteri pertama yang terkadang terkesan ingin menguasai seluruh harta tanpa memperhatikan hak isteri kedua dan anak-anak dari isteri kedua secara adil. Pada umumnya masalah warisan dalam perkawinan poligami sirrî dilakukan sesuai dengan ketentuan pembagian warisan dalam kitab-kitab ulama Fikih atau farâid dengan dibantu oleh ulama setempat. Walaupun demikian terjadi sebuah praktek pembagian waris dalam perkawinan poligami sirrî tanpa melibatkan ulama setempat dan dilakukan secara internal kekeluargaan, dalam hal ini pembagian dilakukan sesuai keputusan pemegang kekuasaan dalam kesepakatan keluarga yang biasanya diambil alih oleh ahli waris dari isteri pertama, namun penggunaan ketentuan farâid masih dilakukan walaupun tidak secara keseluruhan. 26 Dari hasil temuan pembagian warisan dilakukan dengan sama rata yaitu 1/8 untuk masing-masing isteri yang ditinggalkan pewaris, ada juga yang membaginya kepada ahli waris yang sah menurut hukum positif sedangkan isteriisteri yang dinikahi pewaris dan pernikahan sirrî maka hanya dibagikan secara 26 Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawir salah satu tokoh agama di desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya.

115 98 hibah saja dan tidak mendapatkan warisan. Hasil temuan lainnya tentang pembagian warisan terhadap anak-anak dari perkawinan poligami sirrî, anak-anak dari isteri pertama mendapatkan jatah warisan sesuai ketentuan hukum Islam yaitu 2:1, sedangkan saudara atau anak-anak dari isteri kedua dibagikan secara merata. Alasan mendasar atas pembagian warisan semacam ini adalah kekuasaan penuh rumah tangga yang berada dipundak ahli waris yang sah, sehingga isteri dan anakanak yang tidak sah secara hukum tidak mampu menolak keputusan tersebut, mereka hanya dapat menerima keputusan tanpa adanya interpensi apapun. Sedangkan alasan pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan adalah karena anak laki-laki memiliki tanggungan yang lebih besar daripada anak perempuan. 27 Mengenai harta bersama atau harta tumpang kaya sebagaimana sebutan warga desa, data yang penulis kumpulkan menunjukkan bahwa tidak semua keluarga yang penulis wawancarai melakukan pembagian harta bersama terlebih dahulu sebelum melakukan pembagian warisan kepada ahli waris. Dari jumlah yang penulis wawancarai, hanya ada 3 keluarga yang melakukan pembagaian harta tumpang kaya. Adapaun sikap keluarga yang tidak melakukan pembagian harta bersama didasari atas keinginan isteri-isteri dari almarhum yang tidak ingin dilakukan pembagian harta bersama tetapi langsung saja dilakukan pembagian warisan kepada seluruh ahli waris, tidak adanya pembagian harta bersamapun terjadi karena isteri-isteri dari almarhum sudah meninggal terlebih dahulu. Berikut ini adalah laporan hasil penelitian berdasarkan wawancara yang penulis lakukan di desa Sindanglaka tentang pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî; a. Pembagian Warisan Keluarga Almarhum Bapak H. Umar. Penyelesaian pembagian warisan dalam keluarga ini hanya dilakukan terhadap anak-anak hasil dari dua perkawinan, karena kedua isteri almarhum sudah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum suaminya, sehingga perhitungan harta bersama tidak dilakukan. Pembagian dilakukan dengan memperhatikan 27 Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawwir salah satu tokoh agama di Desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya.dan beberapa warga masyarakat desa Sindanglaka pada tanggal Maret 2020.

116 99 hukum Islam dan tanpa memperhatikan hukum positif di Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut; Meninggalkan ahli waris dari isteri pertama dua anak laki-laki dan empat anak perempuan, dan satu anak laki-laki dua anak perempuan dari isteri kedua. Harta tirkah yang ditinggalkan Rp ,- (satu miliar lima ratus juta rupiah). Dengan pembagian untuk anak-anak dari isteri pertama 2:1. Sedangkan untuk pembagian anak-anak dari isteri kedua dibagi sama rata. Pembagian dilakukan dengan kesepakatan musyawarah keluarga yaitu ahli waris dari pihak isteri pertama. Namun pembagian ini tidak menggunakan hukum positif maupun hukum adat. 28 Harta Peninggalan = Rp ,- Ahli waris: 2 anak laki-laki dari isteri pertama Rp ,- masingmasing mendapat Rp ,- 4 anak perempuan dari isteri pertama Rp ,- masingmasing mendapat Rp ,- 1 anak laki-laki dan 2 anak perempuan dari isteri kedua Rp ,- di bagi sama rata, masing-masing mendapat Rp ,- b. Pembagian Warisan Keluarga Almarhum Bapak H. Zainal. Pembagian warisan dalam keluarga ini memiliki perbedaan dengan keluarga bapak H. Umar yaitu isteri pertama dan kedua masih hidup sampai sekarang, dan mempunyai 2 anak perempuan dari isteri pertama sedangkan dari isteri kedua mempunyai 1 orang anak laki-laki. Dalam pembagian warisan, isteri mendapat 1/8 baik isteri pertama maupun isteri kedua, sedangkan untuk anakanaknya mendapatkan bagian yang sama rata dan bukan 2:1 setelah dibagikan harta bersama atau tumpang kaya untuk para isterinya. Akan tetapi ada perbedaan dengan keluarga bapak H. Umar yaitu ahli waris anak laki-laki mendapat harta tambahan benda tidak bergerak berupa rumah sesuai wasiat dari almarhum, 28 Wawancara keluarga poligami sirrî bapak H. Umar dengan Bapak H. Nang sebagai ahli waris, pada tanggal 10 maret 2020 di rumahnya.

117 100 dengan alasan bahwa anak laki-laki mempunyai tanggungan lebih terhadap isteri dan anak-anaknya. Pembagian ini tidak dilakukan di Pengadilan Agama disebabkan pernikahannya sirrî dan hanya menggunakan jasa tokoh agama atau ahli hukum Islam. Harta tirkah yang ditinggalkan oleh pewaris setelah dilakukan pembagian harta tumpang kaya kepada isteri-isterinya berjumlah Rp ,- dan berupa benda tidak bergerak yaitu rumah yang tidak dinominalkan karena hanya akan diberikan kepada anak laki-laki saja. 29 1) Harta Tumpang Kaya dengan Isteri Pertama; Harta keseluruhan dengan isteri pertama setelah dinominalkan berjumlah Rp ,-. Harta tumpang kaya untuk isteri pertama adalah: 1/3 x = Rp ,-. 30 Harta tirkah yang akan dibagikan kepada ahli waris adalah = Rp ,-. 2) Harta Tumpang Kaya dengan Isteri Kedua; Harta keseluruhan dengan isteri kedua setelah dinominalkan berjumlah Rp ,-. Harta tumpang kaya untuk isteri kedua adalah: 1/3 x = Rp ,-. Harta tirkah yang akan dibagikan kepada ahli waris adalah = Rp ,-. 3) Harta Tirkah/Peninggalan Jumlah dari sisa perhitungan harta tumpang kaya dengan isteri pertama dan kedua = = Rp ,- Ahli Waris: 2 orang isteri masing-masing mendapatkan 1/8. 1/8 x = Rp , = ,- 2 orang anak perempuan masing-masing mendapatkan bagian sama rata dengan anak laki-laki yaitu: Rp , x 2 = Wawancara keluarga poligami sirrî bapak almarhum H. Zainal dengan bapak H. Yusuf sebagai ahli waris, pada tanggal 10 maret 2020 di rumahnya. 30 Pembagian harta tumpang kaya dengan rumusan 1/3 untuk isteri dan 2/3 untuk suami apabila isteri meninggal berdasarkan wawancara penulis dengan bapak Ustad Jamil Munawir selaku tokoh agama yang dijadikan rujukan oleh masyarakat desa Sindanglaka dalam pembagian warisan. Contoh prakteknya akan penulis uraikan di pembahasan sub bab selanjutnya.

118 101 1 anak laki-laki mendapatkan Rp ,- dan sebuah rumah. Isteri pertama mendapatkan harta sebanyak Rp ,-. Sedangkan isteri kedua mendapatkan harta sebanyak Rp ,-. c. Pembagian Warisan Keluarga Almarhum Bapak H. Deden Muttaqin. Keluarga Bapak H. Deden berbeda dengan keluarga sebelumnya, letak perbedaanya adalah Bapak H. Deden ini mempunyai 4 isteri dan 15 orang anak dari isteri-isterinya. Dari isteri pertama mempunyai 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Isteri kedua mempunyai 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Isteri ketiga mempunyai 4 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Sedangkan untuk isteri yang terakhir tidak mempunyai anak. Praktek pembagian warisan kepada isteri-isteri dan anak-anaknya sepenuhnya adalah hak anak pertama dari isteri pertama pewaris tanpa ada interpensi dari isteri-isteri dan anak-anaknya, sebagaimana wasiat almarhum sebelum meninggal. Dalam hal pembagiannya anak pertama yang bernama H. Endang tidak menyamakan pembagian kepada isteri-isteri pewaris, sedangkan pembagian untuk anak-anaknya dilakukan dengan ketentuan 2:1. Sedangkan pembagian harta bersama tidak dilakukan karena keempat isteri almarhum tidak ingin dihitung atau dibagikan kemudian juga mereka tidak memiliki hak untuk menuntut karena kekuasaan penuh dipegang oleh anak pertama dari isteri pertama. 31 Harta Peninggalan berupa sawah seluas = M2 Ahli Waris: 4 orang isteri masing-masing mendapatkan: Isteri pertama mendapatkan: 400 meter tanah Isteri kedua mendapatkan : 350 meter tanah Isteri ketiga mendapatkan : 150 meter tanah Isteri keempat mendapatkan : 100 meter tanah 31 Wawancara keluarga poligami sirrî bapak almarhum H. Deden dengan bapak Wahyu sebagai ahli waris, pada tanggal 11 maret 2020 di rumahnya.

119 anak laki-laki dan perempuan 2:1 9 anak laki-laki mendapatkan meter tanah. masing-masing mendapatkan 250 meter tanah. 6 anak perempuan mendapatkan 750 meter tanah. masing-masing mendapatkan 125 meter tanah. d. Pembagian Warisan Keluarga Almarhum Bapak H. Abdullah. Pembagian warisan dalam keluarga bapak almarhum H. Abdullah hanya dilakukan kepada isteri pertama dan anak-anaknya dan sesuai dengan ketentuan hukum Islam, sedangkan untuk isteri kedua dan anak-anak dari isteri kedua hanya mendapatkan harta berupa hibah atau shodaqoh dari pihak ahli waris lainnya berdasarkan kesepakatan ahli waris dari pihak isteri pertama. Pembagian warisan pada awalnya dibantu oleh seorang ustad setempat, namun dalam pembagian hibah selanjutnya dilakukan pihak keluarga secara internal. Sedangkan pembagian harta bersama tidak dilakukan karena isteri pertama dari almarhum tidak ingin harta tumpang kaya dihitung atau dibagikan. 32 Harta Peninggalan = Rp ,- Ahli Waris: 1 orang isteri mendapatkan 1/8. 1/8 x Rp = Rp ,- 2 orang anak laki-laki masing-masing mendapatkan Rp , x 2 = Rp ,- 2 orang anak perempuan mendapatkan Rp ,-, masingmasing mendapatkan Rp ,- Isteri kedua dan 2 anaknya laki-laki dan perempuan mendapatkan harta hibah sebesar Rp ,- dibagi sama rata. e. Pembagian Warisan Keluarga Almarhum Bapak H. Sopyan. Pembagian warisan dalam keluarga ini memiliki kesamaan dengan keluarga Bapak H. Zainal yaitu isteri pertama dan kedua masih hidup sampai 32 Wawancara dengan keluarga poligami bapak H. Abdullah dengan salah satu ahli waris yaitu ibu Nurjanah di desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 11 Maret 2020 di rumahnya.

120 103 sekarang, dan mempunyai 3 anak perempuan dari isteri pertama sedangkan dari isteri kedua mempunyai 2 orang anak laki-laki. Dalam pembagian warisan, isteri mendapat 1/8 baik isteri pertama maupun isteri kedua, sedangkan untuk anakanaknya mendapatkan bagian 2:1. Pembagian dilakukan setelah dibagikan harta bersama atau tumpang kaya untuk para isteri. Ahli waris anak laki-laki mendapat harta tambahan benda tidak bergerak yaitu sawah sesuai wasiat dari almarhum, dengan alasan bahwa anak laki-laki mempunyai tanggungan lebih terhadap isteri dan anak-anaknya. Pembagian ini tidak dilakukan di Pengadilan Agama disebabkan pernikahannya sirrî dan hanya menggunakan jasa tokoh agama atau ahli hukum Islam. Harta tirkah setelah pembagian harta tumpang kaya kepada isteri-isteri berjumlah Rp ,- dan berupa benda tidak bergerak yaitu sawah 1000 meter. 33 1) Harta Tumpang Kaya dengan Isteri Pertama; Harta keseluruhan dengan isteri pertama setelah dinominalkan berjumlah Rp ,-. Harta tumpang kaya untuk isteri pertama adalah: 1/3 x = Rp ,-. Harta tirkah yang akan dibagikan kepada ahli waris adalah = Rp ,-. 2) Harta Tumpang Kaya dengan Isteri Kedua; Harta keseluruhan dengan isteri kedua setelah dinominalkan berjumlah Rp ,-. Harta tumpang kaya untuk isteri kedua adalah: 1/3 x = Rp ,-. Harta tirkah yang akan dibagikan kepada ahli waris adalah = Rp ,-. 3) Harta Tirkah/Peninggalan Jumlah dari sisa perhitungan harta tumpang kaya dengan isteri pertama dan kedua = = Rp ,- dan sawah seluas 1000 meter yang hanya dibagikan kepada ahli waris anak laki-laki saja. Ahli Waris: 2 orang isteri masing-masing mendapatkan 1/8. 1/8 x Rp = Rp ,- 33 Wawancara keluarga poligami sirrî bapak almarhum H. Sopyan dengan bapak H. Qus sebagai ahli waris, pada tanggal 12 maret 2020 di rumahnya.

121 = Rp ,- 3 orang anak perempuan masing-masing mendapatkan Rp , x 3 = anak laki-laki mendapatkan Rp dan sawah seluas 1000 meter, masing-masing mendapatkan Rp ,- dan sawah seluas 500 meter. Isteri pertama mendapatkan harta sebanyak Rp ,. Sedangkan isteri kedua mendapatkan harta sebanyak Rp ,-. f. Pembagian Warisan Keluarga Almarhum Bapak H. Nanang Suhendra. Pembagian warisan dalam keluarga ini memiliki perbedaan dengan keluarga Bapak H. Sopyan yaitu isteri sebanyak tiga orang, dan mempunyai anak sebanyak 10 orang dari ketiga isteri tersebut. Isteri pertama memiliki 1 anak perempuan dan 3 anak laki-laki, isteri kedua mempunyai 2 orang anak laki-laki dan 2 anak perempuan, isteri ketiga mempunyai 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Dalam pembagian warisan isteri mendapat 1/8 baik isteri pertama, isteri kedua maupun isteri ketiga, sedangkan untuk anak-anaknya mendapatkan bagian 2:1. Pembagian dilakukan setelah dibagikan harta bersama atau tumpang kaya untuk para isteri. Pembagian ini tidak dilakukan di Pengadilan Agama disebabkan pernikahannya sirrî dan hanya menggunakan jasa tokoh agama atau ahli hukum Islam. Harta tirkah yang ditinggalkan oleh pewaris sebesar Rp , ) Harta Tumpang Kaya dengan Isteri Pertama; Harta keseluruhan dengan isteri pertama setelah dinominalkan berjumlah Rp ,-. Harta tumpang kaya untuk isteri pertama adalah: 1/3 x = Rp ,-. Harta tirkah yang akan dibagikan kepada ahli waris adalah = Rp ,-. 2) Harta Tumpang Kaya dengan Isteri Kedua; 34 Wawancara keluarga poligami sirrî bapak almarhum H. Nanang Suhendra dengan bapak Syaiful sebagai ahli waris, pada tanggal 12 maret 2020 di rumahnya.

122 105 Harta keseluruhan dengan isteri kedua setelah dinominalkan berjumlah Rp ,-. Harta tumpang kaya untuk isteri kedua adalah: 1/3 x = Rp ,-. Harta tirkah yang akan dibagikan kepada ahli waris adalah = Rp ,-. 3) Harta Tumpang Kaya dengan Isteri Ketiga; Harta keseluruhan dengan isteri ketiga setelah dinominalkan berjumlah Rp ,-. Harta tumpang kaya untuk isteri ketiga adalah: 1/3 x = Rp ,-. Harta tirkah yang akan dibagikan kepada ahli waris adalah = Rp ,-. 4) Harta Tirkah/Peninggalan Jumlah dari sisa perhitungan harta tumpang kaya dengan isteri pertama, isteri kedua, dan ketiga = = Rp ,- Ahli Waris: 3 orang isteri masing-masing mendapatkan 1/8. 1/8 x = Rp , = ,- 4 orang anak perempuan masing-masing mendapatkan Rp , x 4 = Rp ,- 6 anak laki-laki mendapatkan Rp masing-masing mendapatkan Rp ,-. Isteri pertama mendapatkan harta sebanyak Rp ,-. Isteri kedua mendapatkan harta sebanyak Rp ,-. Sedangkan isteri ketiga mendapatkan harta sebanyak Rp ,-. Responden yang penulis wawancara saat penelitian berjumlah 10 orang ahli waris dari 10 keluarga yang pernah melakukan poligami sirrî. Namun penulis hanya menggambarkan penyelesaian di enam keluarga sebagaimana rincian diatas. Keempat keluarga yang tidak penulis cantumkan yakni kelurga almarhum bapak H. Abidin, H. Sayuthi, H. Abdul Halim dan almarhum H. Husin lebih

123 106 cenderung menggunakan hukum waris Islam atau farȃid yang dilakukan atau dibantu oleh ustad atau kyai setempat, dan penyelesaiannya cenderung lebih mirip dengan dua keluarga terakhir yakni keluarga almarhum bapak H. Sopyan dan bapak H. Nanang Suhendra. Namun perbedaannya adalah bahwa keempat keluarga diatas tidak melakukan pembagian harta bersama atau tumpang kaya sebagaimana yang terjadi pada keluarga H. Sopyan dan H. Nanang. Hal itu disebabkan karena menurut pandangan ustad yang menyelesaikan pembagian warisan salah satu dari keempat keluarga diatas harta bersama atau tumpang kaya tidak ada dalam ketentuan Islam dan farȃid. Alasan lain yang terdapat dari sebagian keempat keluarga diatas adalah bahwa ahli waris tidak menginginkan pembagian harta bersama dilakukan tetapi langsung kepada pembagian harta tirkah. 4. Peran Tokoh Agama Tingkat Desa dalam Penyelesaian Perkara Warisan Tokoh agama di pondok pesantren pada umumnya mengelola sekolah sekolah di rumah atau tanah nya sendiri. Murid-murid dikirim oleh orangtuanya untuk bersekolah di sana, termasuk juga tinggal di lingkungan sekolah. Oleh karena itu pesantren juga disebut sebagai Boarding School. Di pesantren salah satu mata pelajaran yang diajarkan adalah ilmu farâid. Pimpinan dan para pengajar di pesantren menguasai ilmu farâid. Para ustadz pesantren terkadang juga diminta untuk menyelesaikan masalah waris. Berikut ini berbagai keterangan tentang waris dan praktiknya dari pengalaman kepala pesantren Tanwiriyyah yang ada di desa Sindanglaka yaitu ustad Jamil. Pada waktu diskusi berlangsung hadir pula beberapa warga masyarakat kampung Sindanglaka yang pernah meminta jasa ustad Jamil dalam menyelesaikan masalah waris nya yaitu ibu Nurjanah, bapak Irfan dan bapak pak Junaedi (bukan nama-nama sebenarnya). Menurut pengetahuan ustad Jamil (yang bersangkutan tidak keberatan namanya dicantumkan) hukum waris yang berlaku di kalangan umat Islam di Cianjur pada umumnya dan di desa Sindanglaka pada khususnya ada empat (4) yaitu; pertama berdasarkan Syariat Islam yaitu farâid, kedua Qânûn al-wârits wa al-wâritsah al-misriyyah atau disebut Qânûn sebagai pelengkap dari hukum Syariat Islam, ketiga hukum perdata Barat BW, dan keempat hukum adat dalam

124 107 hal ini adat Sunda. Dengan demikian ustad Jamil mengakui adanya keragaman acuan hukum waris di Cianjur dan desa Sindanglaka. Namun hukum yang paling banyak digunakan oleh masyarakat setempat adalah hukum Islam farâid. Hal ini terkait dengan pemahaman keagamaan masyarakat yang menganggap pelaksanaan hukum waris sebagai bagian dari ibadah. 35 Pembagian warisan yang dilakukan menurut tata cara Syariat Islam sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur an, dianggap sebagai ibadah yang mendatangkan pahala dan barokah berkat. Namun ustad Jamil juga mengakui bahwa kecenderungan melakukan pembagian warisan menurut tata cara hukum Islam bukan merupakan kecenderungan yang mutlak. Jika orang yang akan melakukan pembagian warisan dekat dengan lingkungan pesantren maka sudah tentu mereka akan menggunakan hukum Islam. Sementara itu masyarakat Islam perkotaan lebih cenderung menggunakan hukum perdata BW. Masyarakat Islam yang ada di perkampungan tetapi jauh dari pesantren cenderung menggunakan hukum adat yaitu adat Sunda. Menurut ustad Jamil salah satu contoh pengaruh adat dalam hal pembagian warisan adalah adanya kecenderungan untuk membagikan harta secara sama rata antara anak laki-laki dan perempuan. Begitu juga hal yang sama terjadi dalam pembagian warisan pada perkawinan poligami. Pengaruh adat Sunda lainnya dalam hal pembagian warisan adalah diperhitungkannya harta tumpang kaya, harta seharkat atau gono gini (marital property) antara suami dan isteri sebelum warisan dibagikan. Sementara dalam pengaturan warisan menurut hukum Islam tidak dikenal pembagian gono gini atas harta warisan. 36 Dalam Islam tidak dikenal adanya hak gono-gini atau tumpang kaya. Hak bersama suami isteri yang meninggal dalam hukum Islam tidak dihitung. Tidak menjadi soal lamanya berkeluarga berapa tahun, semua harta dijadikan satu, dan itulah yang dibagikan sebagai warisan. 35 Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawwir salah satu tokoh agama di Desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya. 36 Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawwir pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya.

125 108 Dengan demikian hukum waris Islam yang berlaku di Cianjur mengenal harta bersama, yang disebut tumpang kaya itu. Hal ini berlaku juga di Indonesia pada umumnya seperti juga negara-negara Islam di Asia Tenggara. 37 Besaran hak tumpang kaya untuk seorang suami adalah 2/3, sedangkan isteri adalah 1/3 dari harta bersama. Setelah dibagikan harta tumpang kaya kepada suami atau isteri yang ahli waris baru kemudian dilakukan pembagian warisan kepada ahli waris yang lain. Pembagian harta tumpang kaya sebesar 2:1 tersebut selaras dengan pepatah adat sunda yang menyebutkan lalaki nanggung awewe ngagandong laki-laki memikul dan perempuan menggendong. Apakah pembagian porsi tumpang kaya 2:1 untuk suami dan isteri dilakukan dalam kondisi suami bekerja dan isteri menjadi ibu rumah tangga dalam arti tidak bekerja menghasilkan uang, ataukah dalam kondisi keduanya bekerja, menurut ustad Jamil pembagian 2:1 antara bagian suami dan isteri itu memang berdasarkan hukum adat. Namun pada akhirnya bisa fleksibel didasarkan pada hasil kompromi. Ada pula yang dibagi sama rata pada kasus-kasus tertentu misalnya karena alasan perempuan juga bekerja. 38 Warisan setelah dipisahkan untuk tumpang kaya, dan dibagikan kepada ahli waris yang lain, maka ada persamaan porsi antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana dalam hal misalnya tidak ada anak laki-laki, menurutnya barangkali kembali kepada hukum Islam. Jadi memang diakui ustad Jamil bahwa antara adat Sunda dengan hukum islam itu tidak ada pembatas yang jelas. Pengaturan warisan menurut Qânûn al-wârits wa al-wâritsah al- Misriyyah merupakan pelengkap dari pelaksanaan hukum Syariat Islam. Dalam praktiknya menurut ustad Jamil warisan merupakan masalah yang kompleks karena terkait dengan hibah dan wasiat, sehingga pemecahan permasalahan nya tidak cukup hanya dengan satu aturan hukum saja, Oleh karena itu diperlukan gabungan dari tiga aturan hukum yaitu Syariat Islam, adat dan Qânûn. Salah satu contoh penerapan ketentuan Qânûn al-wârits wa al-wâritsah al-misriyyah dalam 37 Mark Cammack, Marital Property in California and Indonesia: Community Property and Harta Bersama, (64 WASH. LEE L. REV, 2007), h Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawwir salah satu tokoh agama di Desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya.

126 109 hal warisan adalah kasus warisan dalam keluarga H. Sadeli. Seorang cucu lakilaki dari anak laki-laki diputuskan berhak mendapatkan warisan padahal sang paman saudara laki-laki almarhum ayah masih hidup, padahal menurut hukum Islam cucu laki-laki tersebut seharusnya tidak mendapatkan warisan, karena terhalang oleh pamannya. Penggunaan ketentuan dalam Qânûn juga pernah dipraktikkan oleh ustad Jamil dalam kasus pembagian warisan keluarga Hj. Nurjanah (bukan nama sebenarnya). Itu terakhir kali yang saya lakukan. Yakni menyelesaikan warisan dengan menggunakan hukum farâid, adat dan Qânûn al-wârits wa al- Wâritsah al-misriyyah. Itu sebabnya saya agak berseberangan dengan para ajengan setempat. Saya melakukan itu, karena menggunakan prinsip keadilan, kebersamaan dan pemindahan hak milik, untuk masyarakat Cianjur dan khususnya masyarakat desa Sindanglaka. 39 Meskipun ustad Jamil mengatakan adanya pengaruh hukum adat Sunda, tetapi beliau tidak melakukan klarifikasi ataupun sanggahan ketika Ketua Komisi Fatwa MUI Kecamatan mengatakan tidak dikenal adanya adat Sunda dalam pengurusan masalah warisan. Ustad Jamil berargumentasi bahwa beliau tetap berpendapat bahwa sesungguhnya adat juga merupakan bagian dari hukum, yaitu hukum yang tidak tertulis namun pengaruhnya dirasakan oleh masyarakat. Yang namanya hukum adat itu tidak tertulis seperti lembaran daun. Itu turun temurun dari kakek moyang. Itu memang ada. Kan berpikir saya agak moderat. 40 Menurutnya tidak diakuinya keberadaan hukum adat oleh para kyai juga dipengaruhi oleh pemikiran konservatif yang cenderung menarik garis tegas antara adat dan hukum Islam. Padahal katanya, hukum Islam sesungguhnya tidak menolak keberadaan hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Mayoritas kyai lulusan dari pesantren, yang terkadang konservatif dan kolot juga memegang teguh tanpa ada pertimbangan lagi, padahal kegunaan hukum adat sangat dihargai dalam hukum Islam, Islam tidak 39 Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawwir pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya. 40 Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawwir pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya.

127 110 menolak hukum adat selagi hukum itu sesuai dengan kaidah hukum Islam. Ini hanya masalah pemahaman saja, tentu dibutuhkankan pemahaman darı wawasan keilmuan yang bersangkutan. Kebetulan selain belajar di pondok pesantren masalah warisan ini, saya juga belajar di STIH (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) jadi sedikit tidak konservatif. 41 Beberapa jenis warisan yang dikenal dalam masyarakat Cianjur adalah: Pertama, harta pusaka, yaitu gabungan harta suami dan isteri, darimanapun asalnya. Kedua, harta asal atau harta bawaan atau harta sampakan, yang diperhitungkan dalam pembagian warisan jika diminta oleh ahli waris. Ketiga, harta gono-gini atau harta tumpang kaya atau harta bersama, yang didapatkan semasa pernikahan berlangsung. Keempat, tirkah atau harta peninggalan, yaitu besarnya harta pusaka dikurangi harta tumpang kaya. Nampaknya ustad Jamil membedakan antara harta pusaka (total harta yang dimiliki oleh suami dan isteri) dengan tirkah. Beliau bersikeras bahwa tirkah atau warisan yang dibagikan harus dikurangi dengan harta tumpang kaya terlebih dahulu. Pemikiran atau pemahaman ini adalah pemikiran saya yang saya lakukan di masyarakat dan belum ada persetujuan dari MUI kabupaten Cianjur. Pendapat mereka adalah bahwa harta pusaka itu sama dengan tirkah, itu yang saya tidak setuju. Harta pusaka adalah harta peninggalan yang kotor, sedangkan tirkah itu adalah harta bersih yang harus dibagikan kepada ahli waris. 42 Pertanyaannya, seberapa jauh masyarakat di Cianjur mengakui dan memperhitungkan harta tumpang kaya ketika melakukan pembagian warisan? ustad Jamil berpendapat hal itu akan tergantung kepada keinginan para ahli waris. Jika mereka tidak menginginkan ada harta tumpang kaya dalam pembagian warisan maka harta pusaka akan langsung dibagikan. Contoh Penghitungan Warisan Dengan Harta Tumpang Kaya A (laki-laki) dan B (perempuan) adalah sepasang suami isteri yang mempunyai seorang anak laki-laki (C), dan seorang anak perempuan (D). Dari pernikahan tersebut harta keseluruhan A dan B berjumlah 12 juta, bila isteri (B) 41 Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawwir salah satu tokoh agama di Desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya. 42 Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawwir salah satu tokoh agama di Desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya.

128 111 meninggal, maka akan ada tiga orang-orang ahli waris, yaitu A (sang suami), C (anak laki-laki) dan D (anak perempuan). Perhitungan pembagian warisannya adalah harta tumpang kaya akan dihitung terlebih dahulu, baru kemudian tirkah dibagikan menurut ketentuan farâid. Harta tumpang kaya untuk suami adalah: 2/3 x 12 juta = 8 juta. Tirkah (warisan yang akan dibagi kepada ahli waris lain ) adalah 12-8 juta = 4 juta, akan dibagi lagi sebagai berikut: 43 A (suami) = 0,25 x 4 juta =1 juta C (anak laki-laki) = 2/3 x 3 juta = 2 juta D (anak perempuan) = 1/3 x 3 juta = 1 juta Memang hukum kewarisan Islam diakui dalam masyarakat, tetapi ada juga masyarakat yang menginginkan pembagian warisan sama besar antara anak lakilaki dan perempuan sebagaimana yang diatur oleh hukum adat. Namun mereka tidak berani serta merta menerapkan ketentuan adat tersebut tanpa menggunakan ketentuan hukum Islam terlebih dahulu. Untuk menyiasati hal ini maka masyarakat akan melakukan pembagian warisan menurut hukum Islam terlebih dahulu (dengan pembagian 2:1), setelah dilakukan qabad (serah terima) warisan maka bisa saja dilakukan musyawarah atau kompromi. Anak laki-laki akan menyerahkan sebagian warisannya (shodaqoh) kepada saudara perempuannya, sehingga mereka mendapat bagian yang sama. Musyawarah dilaksanakan antara ahli waris yang ingin supaya anak laki-laki dan anak perempuan memperoleh warisan yang jumlahnya sama. Hukum Syariat kadang-kadang ditolak oleh sebagian keluarga. Kalau begitu saja kembali pada adat takut tidak dapat pahala dan dikutuk Allah Swt. Tetapi, kalau melaksanakan ketentuan Syariat juga kurang pas. Jadi ada musyawarah atau kompromi, yaitu aturan farâid tetap berlaku, anak laki-laki mendapatkan dua kali bagian dari perempuan. Setelah serah terima, saudara laki-laki akan memberi kepada saudara perempuannya, sehingga mereka mendapat porsi yang sama besar. 44 Paktik pembagian warisan dengan menggabungkan ketentuan farâid dan adat juga dialamai oleh keluarga H. Qus. Beliau menjelaskan bahwa perpaduan 43 Hasil praktek penulis dibawah bimbingan bapak Ust. Jamil Munawwir salah satu tokoh agama di Desa Sindanglaka. 44 Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawwir salah satu tokoh agama di Desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya.

129 112 ketentuan dua aturan hukum tersebut dirasakan lebih adil oleh seluruh anggota keluarga. Jumlah anak laki-laki keluarga bapak saya dua orang dan anak perempuan tiga orang. Pembagian warisan tidak sama, ada kelebihan sedikit untuk anak laki-laki. Jadi, tetap dilaksanakan ketentuan hukum farâid,. Tetapi setelah dilakukan serah terima, ada suatu pemberian dari anak laki-laki kepada anak perempuan. Itu lebih baik, karena pemberian dilakukan dari yang hidup kepada yang hidup. 45 Bagaimana bila timbul sengketa warisan? Menurut keterangan ustad Jamil selama ini belum pernah terjadi sengketa. Biasanya sengketa terjadi sebelum warisan dibagi, oleh karena itu mereka segera meminta pertolongan kyai untuk memprosesnya. Mereka sangat menyadari bahwa warisan itu amanah dari Allah Swt, dan amanah itu dirasakan sebagai tanggungjawab yang berat, sehingga harus dilaksanakan. Berdasarkan deskripsi tentang praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî pada masyarakat desa Sindanglaka Cianjur, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian dilakukan dengan beragam cara. Sebagian warga masyarakat melaksanakan hukum waris Islam secara keseluruhan dengan bantuan ulama setempat dan sebagian lain tidak keseluruhan yang biasanya dilakukan secara internal kekeluargaan. Hal itu terbukti pada salah satu keluarga dengan salah seorang ahli waris yang bernama H. Qus, H. Yusuf, dan Syaiful. Keluarga tersebut melaksanakan pembagian warisan tanpa membagi kepada isteri-isteri bagian 1/8 dibagi secara merata. Seharusnya mereka melaksanakan pembagian sesuai ketentuan hukum Islam akan tetapi isteri-isteri mendapatkan masingmasing 1/8. Sedangkan harta peninggalan untuk anak-anak adalah 2:1 antara lakilaki dan perempuan. Harta peninggalan tidak semua berwujud nominal uang, melainkan berupa benda yang tidak bergerak seperti rumah, tanah, sawah, dan lain-lain. Dalam pembagian harta berupa tanah terjadi juga perbedaan dengan ketentuan Islam yaitu bagian antara isteri-isteri tidak sama, isteri pertama mendapatkan 400 meter tanah sedangkan isteri kedua 350 meter tanah, isteri rumah. 45 Wawancara dengan bapak H. Qus salah satu warga pada tanggal 10 Maret 2020 di teras

130 113 ketiga dan keempat masing-masing 150 meter tanah dan 100 meter tanah, ini menunjukkan ketidakseimbangan dalam pembagian warisan. 46 Praktek lain terjadi dalam sebuah keluarga dengan salah seorang ahli waris bernama H. Nang. Bapaknya H. Umar yang berpoligami meninggalkan ahli waris 2 anak laki-laki dan 4 anak perempuan dari isteri pertama, kemudian 1 anak lakilaki 2 anak perempuan dari isteri kedua. Pembagian untuk anak-anak dari isteri pertama dilakukan dengan porsi 2:1 sedangkan untuk anak-anak dari isteri kedua dibagi sama rata. 47 Hal lain berbeda dengan yang terjadi dalam praktek-praktek sebelumnya, dalam sebuah keluarga poligami pembagian warisan dilakukan dengan tidak memperhatikan isteri kedua dan seterusnya, hal itu terbukti pada keluarga bapak almarhum H. Abdullah, salah satu ahli waris yang bernama ibu Nurjanah mengatakan pembagian harta hanya dilakukan kepada isteri pertama dan anakanaknya dan sesuai dengan ketentuan hukum Islam, sedangkan untuk isteri kedua dan anak-anak dari isteri kedua hanya mendapatkan harta berupa hibah atau shodaqoh dari pihak ahli waris lainnya berdasarkan kesepakatan seluruh keluarga. Setelah dilakukan wawancara selanjutnya, ternyata sebab dari pelaksanaan seperti itu karena perkawinan almarhum H. Abdullah dengan isteri kedua dilakukan secara sirrî atau dibawah tangan. Pembagian warisan pada awalnya dibantu oleh seorang ustad setempat, namun dalam masalah hibah selanjutnya dilakukan oleh pihak keluarga secara internal. Menurut hemat penulis, penggunaaan hukum Islam yang tidak menyeluruh adalah hal yang kurang bagus dan menyimpang dari anjuran syariat. Keegoisan dari sebagian ahli waris yang menyebabkan sebagian ahli waris lainnya merasa tidak adil dalam pembagian warisan. Terlihat juga pada saat pembagian warisan untuk isteri dari bapak H. Deden Muttaqin yaitu pembagian kepada keempat isteri dalam hal tanah tidak sama rata, melainkan ada perbedaan, isteri pertama mendapatkan 400 meter tanah dan terakhir mendapatkan 100 meter tanah, 46 Wawancara dengan keluarga poligami bapak H. Qus, H. Yusuf, dan bapak Syaiful di desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 4 Maret 2020 di rumah masing-masing. 47 Wawancara dengan keluarga poligami bapak H. Nang di desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 4 Maret 2020 di rumahnya.

131 114 sedangkan isteri kedua kedua mendapatkan 350 meter tanah dan isteri ketiga mendapatkan 150 meter tanah, ini menunjukkan ketidakseimbangan dalam pembagian warisan. Kemudian alasan adanya tambahan warisan untuk anak lakilaki yang dikemukakan dihadapan penulis adalah alasan yang dapat diterima, dimana anak laki-laki lebih banyak memiliki tanggungan sebagai kepala rumah tangga. Walaupun perempuan juga memiliki tanggungan, namun tidak seberat tanggungan yang dibebankan kepada laki-laki.

132 BAB IV ANALISIS TEORI GENDER DAN MAQÂSID AL-SYARÎʻAH TERHADAP PEMBAGIAN WARISAN POLIGAMI SIRRÎ DI DESA SINDANGLAKA A. Analisis Teori Gender Menurut Feminisme Islam Terhadap Pembagian Warisan Poligami Sirrî di Desa Sindanglaka Berdasarkan kajian teoretik tentang teori gender yang penulis uraikan pada bab kedua bahwa feminisme dalam Islam tidak terlepas dari munculnya feminisme di Barat yang masuk di kalangan umat Islam. Gagasan demokrasi dan emansipasi Barat yang masuk ke dunia Islam memaksa umat Islam untuk menelaah kembali posisi perempuan yang telah termarginalkan selama berabadabad. Konsep feminisme yang marak di Barat menjadi model bagi pembebasan perempuan di banyak Negara berpenduduk muslim. Bermula dari kaum intelektual mesir yang belajar di Eropa, yang kemudian dikembangkan dengan istilah Tahrîr al-mar ah (pembebasan perempuan). Namun demikian, feminisme dalam Islam tidak menyetujui semua konsep feminisme Barat, khususnya yang ingin menempatkan laki-laki sebagai lawan perempuan. Disisi lain, feminisme Islam tetap berupaya untuk memperjuangkan hak-hak kesetaraan perempuan dan laki-laki yang terabaikan dikalangan tradisional konservatif, yang menganggap perempuan sebagai sub-ordinal lakilaki. Ada beberapa hukum Islam dianggap oleh kaum feminis muslim sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Di antara hukum-hukum tersebut adalah hukum poligami dan hukum waris. Berkenaan dengan hukum poligami dalam syariat Islam, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para aktifis feminis muslim. Kelompok yang melarang poligami mengatakan bahwa poligami adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Maka dalam pemahaman tentang ayat poligami perlu diadakan analisis ulang agar ayat tersebut tidak menimbulkan bias gender. Bahkan Musdah Mulia mengatakan bahwa hukum poligami adalah haram ligairihi. 115

133 116 Artinya poligami tidak boleh dilakukan jika dalam pelaksanaannya menimbulkan tindak diskriminasi terhadap perempuan. 1 Kelompok feminis muslim lainnya seperti Masdar F. Masʻudi berpendapat bahwa poligami bersifat natural, penyeimbang supply dan demand (permintaan dan penawaran), jadi poligami dibolehkan. 2 Sedangkan feminis muslim lainnya yang mengatakan bahwa poligami tidak dilarang adalah Asghar Ali Engineer. Asghar Ali berpendapat bahwa memahami ayat tentang poligami yang tersurat dalam al-nisâ [4] ayat 3 harus mempertimbangkan dengan ayat-ayat lain baik sebelum ataupun sesudah ayat tersebut. Ayat tersebut diturunkan kepada para wali untuk berbuat adil terhadap anak yatim. Dalam kajiannya tentang poligami, Asghar membahas poligami bersama pergundikan sebagai sarana pelampiasan nafsu seksual yang bernaung di bawah hak kepemilikan (milk al-yamîn). Keduanya bukan ajaran murni Islam tetapi sudah menjadi tradisi umat manusia selama berabad-abad sebelum kedatangan Islam. Menurut Asghar, poligami merupakan pintu darurat bagi sekelompok laki-laki yang benar-benar terdesak untuk rnendapatkan sesuatu dalam perkawinan yang tidak diperoleh dari isterinya (yang pertama). Ia tidak mendapatkan kesenangan dan ketenangan jiwa (sakînah) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur an. Sehingga ia terdorong untuk mencari kepuasan dan kesenangan di luar cara-cara yang legal dan sah, yaitu perkawinan. Dengan demikian, poligami tidak dianjurkan atau diwajibkan, tetapi juga tidak dilarang oleh Islam. Asghar menolak pandangan kalangan tradisionalis yang melegalkan hubungan seksual tanpa akad nikah dengan budak-budak perempuan dan tawanan perang perempuan yang dimiliki seseorang (pergundikan). Setiap hubungan seksual harus diperoleh dengan cara legal dan sah, yaitu dengan akad. 3 1 Agama Islam membolehkan poligami, namun untuk melakukan poligami terdapat beberapa syarat. Hal ini ditegaskan oleh beberapa ilmuwan muslim seperti M. Quraish Shihab, Wahbah al-zuhailiy, dan M. Saʻid Ramadan al-bûtî. Mereka mengatakan bahwa tidak membukanya lebar-lebar pintu poligami tanpa batas dan syarat, dalam saat yang sama ia tidak juga dapat dikatakan menutup pintu rapat-rapat sebagaimana dikehendaki oleh sebagian orang. Selanjutnya ia menambahkan bahwa poligami bukan anjuran, melainkan salah satu alternatif yang diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syarat. 2 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Jogjakarta: Pustaka Marwa, 2007), h Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, h. 40.

134 117 Isu persamaan dan keadilan gender dalam hukum waris Islam 4 adalah salah satu isu yang gaungnya terdengar nyaring dari para aktivis feminis muslim. Para aktivis feminis muslim menentang hukum pembagian waris Islam antara laki-laki dan perempuan, yakni ketentuan 2:1. Mereka beranggapan ketentuan 2:1 satu ini adalah upaya untuk memarginalkan hak kaum perempuan dan pengistimewaan untuk kaum laki-laki. 5 Beberapa pemikir feminis muslim modern memiliki pandangan mengenai pembagian warisan 2:1. Syahrur misalnya, ia beranggapan bahwa konsep kewarisan Islam dengan pembagian semacam ini menyisakan problematika permasalahan yang harus diselesaikan, yakni bahwa konsep kewarisan yang telah diterapkan oleh kalangan masyarakat muslim muncul berdasarkan pemahaman para ahli fiqih pada abad-abad pertama Islam. Pemikiran ahli fiqih yang termuat dalam buku-buku farâid dan mawaris tersebut masih berkaitan erat dengan tradisi yang diterapkan oleh budaya lokal di negeri-negeri Arab maupun non Arab. Menurut Syahrur, para ulama fiqih membaca kalimat مثل dengan dengan harakat fathah, sehingga memunculkan pemahaman bahwa bagian anak laki-laki sama dengan dua kali bagian seorang anak perempuan. Semestinya ayat tersebut dipahami bagian anak laki-laki semisal bagian dua anak perempuan. 6 Muhamad Syahrur dengan teori hudûd-nya juga mengkaitkan faktor keikutsertaan perempuan masa kini dalam menanggung beban nafkah keluarga. Ketika perempuan tidak ikut andil, maka bagian yang diperoleh adalah setengah dari laki-laki. Akan tetapi, jika ikut andil dalam menanggung nafkah bagi keluarga, maka tidak ada perbedaan bagian yang diperoleh laki-laki dan perempuan. 7 Hal ini, senada dengan apa yang disampaikan oleh Asghar Ali 4 Pembagian warisan Islam yang mengikutsertakan perempuan di dalamnya dengan pembagian 2:1, memiliki hikmah yakni; pertama, kebutuhan wanita adalah tanggungan dan kewajiban laki-laki, baik suami atau keluarganya. Kedua, wanita tidak wajib memberi nafkah. Ketiga, laki-laki memiliki tuntutan untuk menafkahi kerabat perempuan. Keempat, laki-laki memiliki kewajiban untuk membayar mahar. Kelima, seluruh kebutuhan hidup isteri dan anak adalah kewajiban laki-laki, bukan sebaliknya. 5 Muhammad Saʻid Ramadan Al-Bûtî, Al-Mar ah Bayna Tugyân al-garbiy Wa Latâif al- Tasyrîʻi al-rabbânî, (Damaskus: Dar el-fikr, t.th.), h Muhamad Syahrur, Nahwu Usûl Jadîdah li al-fiqh al-islâmî: Fiqh al-mar ah, (Damaskus: al-ahlî li al-tibâʻah wa al-nasyr wa al-tauzîʻ, 2000), h Muhamad Syahrur, Nahwu Usûl Jadîdah li al-fiqh al-islâmî: Fiqh al-mar ah, h. 602.

135 118 Engineer bahwa laki-laki mendominasi dalam struktur masyarakat, sedangkan perempuan dianggap lebih rendah, sehingga pembagian waris menjadi timpang dan muncul ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. 8 Menurut Engineer, umat Islam perlu melakukan rekonstruksi metodologis dalam memahami Al-Qur an. Kitab Suci harus ditafsirkan dengan dua aspek, yaitu aspek normatif dan aspek kontekstual. Kedua aspek ini menjadi penting dikarenakan kenyataan yang ada, bahwa terjadi perbedaan konsep dan praktik hukum Islam di berbagai belahan dunia. Hal ini menunjukkan bahwa; pertama perbedaan tersebut lebih disebabkan oleh kondisi sosial-politik. Kedua, kondisi yang berbeda ini menjadikan perlunya dilakukan rekonstruksi penafsiran Al- Qur an yang (seolah) tidak adil gender menjadi sesuai dengan konteks masingmasing. Sehingga agama akan dinilai terus dinamis, fleksibel dan dapat menerima perubahan. Lebih lanjut, feminis muslim Aminah Wadud Muhsin berpendapat bahwa ketentuan pembagian warisan 2:1 bukan merupakan suatu ketentuan yang mutlak, melainkan hanyalah variasi pembagian saja. Menurutnya, pembagian warisan hendaknya dilakukan dengan beragam pertimbangan, termasuk kondisi keluarga yang ditinggalkan, asas kemanfaatan dan kebutuhan ahli waris serta manfaat harta warisan itu sendiri. Sehingga, menurut Aminah pembagian warisan bisa menjadi sangat fleksibel dan memiliki banyak kemungkinan dalam pembagiannya, tergantung dari manfaat harta bagi tiap-tiap ahli waris. Jika demikian, barulah pembagian tersebut mencerminkan sifat keadilan. 9 Senada dengan hal tersebut, tokoh feminis Islam Indonesia, Munawir Syadzali, melakukan dekonstruksi pembagian warisan. Menurut Munawir, pembagian warisan 2:1 tidak mencerminkan semangat keadilan bagi masyarakat Indonesia saat ini. Hal ini terbukti dengan banyaknya penyimpangan dari ketentuan warisan tersebut, baik dilakukan oleh orang awam maupun ulama. Selain itu, pembagian warisan adalah ajaran Islam yang bersifat gradual. Artinya, 8 Asghar Ali Engineer, The Qur an Women and Modern Society. Terj. Agus Nuryanto, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKIS, 2003), Cet. ke-1, h Amina Wadud Muhsin, Qur an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terj. Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2001), h. 156.

136 119 ketika wanita pada masa jahiliyah mulai diberikan hak waris oleh Islam (meskipun hanya separuh bagian laki-laki), wanita diangkat derajatnya. Pengangkatan derajat wanita ini tidak dilakukan secara langsung, melainkan bertahap. Hal ini sesuai dengan sifat gradual ajaran Islam sebagaimana kasus pengharaman khamr. Alasan lain, adalah bahwa pada masa modern, wanita memiliki peran yang sama dengan laki-laki di masyarakat. Merupakan suatu yang logis bila kemudian wanita memiliki hak waris yang sama dengan laki-laki. 10 Berdasarkan uraian diatas, maka perkawinan poligami menurut sebagian feminis muslim dibolehkan dengan syarat dan ketentuan yang sulit. Sedangkan makna adil gender dalam pembagian warisan dalam konteks feminisme Islam adalah pembagian yang mencerminkan sifat keadilan dan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam perolehan porsi waris dengan beberapa alasan yang dikemukakan oleh feminis muslim seperti pernyataan tentang wanita memiliki peran yang sama dengan laki-laki di masyarakat sehingga dalam perolehan hak warisnya juga harus sama dan alasan-alasan lainnya sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka berdasarkan hasil penelitian- tidak semuanya diselesaikan sesuai dengan ketentuan farâid, banyak diantaranya diselesaikan dengan kesepakatan internal keluarga, kesepakatan yang dilakukan dipimpin oleh pihak isteri pertama dan anak-anak dari isteri pertama yang terkadang terkesan ingin menguasai seluruh harta tanpa memperhatikan hak isteri kedua dan anakanak dari isteri kedua secara adil. Pada umumnya masalah warisan dalam perkawinan poligami sirrî dilakukan sesuai dengan ketentuan pembagian warisan dalam kitab-kitab ulama Fikih atau farâid dengan dibantu oleh ulama setempat. Walaupun demikian terjadi sebuah praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî tanpa melibatkan ulama setempat dan dilakukan secara internal kekeluargaan, dalam hal ini pembagian dilakukan sesuai keputusan pemegang kekuasaan dalam kesepakatan keluarga yang biasanya diambil alih oleh ahli waris 10 Hasbullah Mursyid, Menelusuri Faktor Sosial yang Mungkin Berpengaruh dalam Muh. Wahyuni Nafis Kontekstualisasi Ajaran Islam (70 th Prof. Munawir Syadzali), (Jakarta: Paramadina dan IPHI, 1995), h. 205.

137 120 dari isteri pertama, namun penggunaan ketentuan farâid masih dilakukan walaupun tidak secara keseluruhan. 11 Ditinjau dari perspektif teori gender menurut feminisme Islam bahwa pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka tidak bisa dilakukan secara menyeluruh tetapi harus dilihat dari praktek-praktek yang berbeda-beda yang terjadi di masyarakat yang telah disebutkan secara rinci pada bab ketiga. Berdasarkan pembagian warisan yang terjadi di setiap keluarga poligami sirrî maka analisis teori gender menurut feminisme Islam dapat dirincikan sebagai berikut: 1. Pembagian warisan pada keluarga almarhum bapak H. Umar, penyelesaiannya hanya dilakukan terhadap anak-anak hasil dari dua perkawinan, karena kedua isteri almarhum sudah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum suaminya. Pembagian dilakukan dengan memperhatikan hukum Islam dan tanpa memperhatikan hukum positif di Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut; almarhum meninggalkan ahli waris dari isteri pertama dua anak laki-laki dan empat anak perempuan, dan satu anak laki-laki dua anak perempuan dari isteri kedua. Harta tirkah yang ditinggalkan Rp ,- (satu miliar lima ratus juta rupiah). Dengan pembagian untuk anak-anak dari isteri pertama 2:1. Sedangkan untuk pembagian anak-anak dari isteri kedua dibagi sama rata. Pembagian dilakukan dengan kesepakatan musyawarah keluarga yaitu ahli waris dari pihak isteri pertama. Namun pembagian ini tidak menggunakan hukum positif maupun hukum adat. Analisis teori gender menurut feminisme Islam menunjukkan bahwa pembagian warisan dalam keluarga almarhum bapak H. Umar yang menggunakan pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dari isteri pertama tidak mencerminkan keadilan. Mengingat penggunaan 2:1 adalah ketentuan yang ada dalam hukum farâid yang menurut feminis muslim perlu diadakan perubahan dalam penggunaanya melihat wanita pada zaman sekarang memiliki peran yang sama dengan laki-laki di masyarakat, maka 11 Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawir salah satu tokoh agama di desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya.

138 121 dalam hak warisan ia juga harus mendapatkan porsi yang sama dengan lakilaki. Sedangkan pembagian sama rata antara anak laki-laki dan perempuan dari isteri kedua sejalan dengan konsep keadilan gender menurut feminis Islam. Namun yang menjadi masalah adalah pembagian terhadap anak-anak dari isteri pertama berbeda dengan anak-anak dari isteri kedua. Berdasarkan kronologi yang terjadi, ternyata ahli waris dari pihak isteri pertama memegang kendali penuh dalam pelaksanaan pembagian warisan, sehingga anak-anak dari isteri kedua tidak punya kesempatan untuk menuntut hak-hak mereka agar porsi warisan sama dengan anak-anak dari isteri pertama. Hal ini menunjukkan adanya keegoisan ahli waris dari isteri pertama, pembagian semacam ini juga tidak mencerminkan keadilan, dan untuk ahli waris perempuan yang tidak memiliki kesempatan untuk bicara sepantasnya diberikan bagian yang sama dengan anak-anak perempuan dari isteri pertama, walaupun pada akhirnya penggunaan 2:1 yang tidak sejalan dengan konsep adil menurut feminis muslim masih tetap digunakan. 2. Pembagian warisan pada keluarga almarhum bapak H. Zainal, penyelesaiannya memiliki perbedaan dengan keluarga bapak H. Umar yaitu isteri pertama dan kedua masih hidup sampai sekarang, dan mempunyai 2 anak perempuan dari isteri pertama sedangkan dari isteri kedua mempunyai 1 orang anak laki-laki. Dalam pembagian warisan, isteri mendapat 1/8 baik isteri pertama maupun isteri kedua, sedangkan untuk anak-anaknya mendapatkan bagian yang sama rata dan bukan 2:1 setelah dibagikan harta bersama atau tumpang kaya untuk para isterinya. Akan tetapi ada perbedaan dengan keluarga bapak H. Umar yaitu ahli waris anak laki-laki mendapat harta tambahan benda tidak bergerak berupa rumah sesuai wasiat dari almarhum, dengan alasan bahwa anak laki-laki mempunyai tanggungan lebih terhadap isteri dan anak-anaknya. Pembagian ini tidak dilakukan di Pengadilan Agama disebabkan pernikahannya sirrî dan hanya menggunakan jasa tokoh agama atau ahli hukum Islam. Harta tirkah yang ditinggalkan oleh pewaris setelah dilakukan pembagian harta tumpang kaya kepada isteri-isterinya berjumlah

139 122 Rp ,- dan berupa benda tidak bergerak yaitu rumah yang tidak dinominalkan karena hanya akan diberikan kepada anak laki-laki saja. Analisis teori gender menurut feminisme Islam melihat praktek yang terjadi dalam keluarga ini dari beberapa sisi. Pertama, pembagian terhadap isteriisteri almarhum yang memperoleh masing-masing 1/8 menunjukkan sikap keadilan, sekalipun pembagian antara perempuan dengan perempuan bukanlah termasuk dalam kajian teori gender menurut feminisme Islam, karena masalah keadilan gender adalah antara laki-laki dengan perempuan. Namun isteri-isteri dari almarhum tetap mendapatkan porsi waris walaupun pernikahannya dilakukan secara sirrî. Konsep pembagian 1/8 adalah ketentuan hukum waris Islam, namun bagian 1/8 itu untuk semua isteri bukan masing-masing isteri mendapat 1/8. Pembagian harta tumpang kaya juga merupakan wujud perhatian keluarga terhadap isteri-isteri almarhum yang dipoligami secara sirrî, walaupun harta bersama atau tumpang kaya tersebut bukan termasuk ketentuan hukum waris Islam. Kedua, pembagian terhadap anak-anak dalam keluarga ini dilakukan dengan sama rata antara anak laki-laki dan anak perempuan baik anak-anak dari isteri pertama maupun dari isteri kedua dibagi secara merata, tentu saja hal ini sangat sejalan dengan keadilan yang dimaksud dalam pandangan feminis muslim, mengingat pembagian semacam ini menurut feminisme Islam- yang harusnya dilakukan pada masa sekarang dimana perempuan juga berperan di ruang-ruang sosial dan berkontribusi dalam mencari nafkah keluarga. Ketiga, pemberian harta tidak bergerak berupa rumah kepada anak laki-laki dengan alasan bahwa anak laki-laki mempunyai tanggungan lebih terhadap isteri dan anak-anaknya sesuai wasiat dari almarhum, feminis muslim melihat bahwa alasan tersebut seharusnya juga berlaku kepada anak perempuan, karena perempuan juga memiliki kontribusi dalam mencari nafkah keluarga dan kebutuhan yang diperlukannya juga banyak seperti mengurus kebutuhan rumah tangga dan anak-anaknya, maka harta berupa rumah itu seharusnya dinominalkan dan digabungkan dengan seluruh harta peninggalan almarhum.

140 Pembagian warisan keluarga almarhum bapak H. Deden Muttaqin yang berbeda dengan keluarga sebelumnya, letak perbedaanya adalah bapak H. Deden ini mempunyai 4 isteri dan 15 orang anak dari isteri-isterinya. Dari isteri pertama mempunyai 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Isteri kedua mempunyai 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Isteri ketiga mempunyai 4 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Sedangkan untuk isteri yang terakhir tidak mempunyai anak. Praktek pembagian warisan kepada isteri-isteri dan anak-anaknya sepenuhnya adalah hak anak pertama dari isteri pertama pewaris tanpa ada interpensi dari isteri-isteri dan anak-anaknya, sebagaimana wasiat almarhum sebelum meninggal. Dalam hal pembagiannya anak pertama yang bernama H. Endang tidak menyamakan pembagian kepada isteri-isteri pewaris, sedangkan pembagian untuk anak-anaknya dilakukan dengan ketentuan 2:1, dan harta peninggalan berupa sawah seluas M2. Sedangkan pembagian harta bersama tidak dilakukan karena keempat isteri almarhum tidak ingin dihitung atau dibagikan, kemudian juga mereka tidak memiliki hak untuk menuntut karena kekuasaan penuh dipegang oleh anak pertama dari isteri pertama. Analisis teori gender menurut feminisme Islam melihat praktek yang terjadi dalam keluarga ini dari beberapa sisi. Pertama, pembagian semacam ini menunjukkan adanya keegoisan ahli waris yaitu anak pertama dari isteri pertama, pembagian semacam ini juga tidak mencerminkan keadilan yang dimaksud dalam feminisme Islam kepada isteri-isteri dari almarhum dimana pembagian sawah dilakukan tidak secara merata. Kedua, pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dari isteri pertama tidak mencerminkan keadilan. Mengingat penggunaan 2:1 adalah ketentuan yang ada dalam hukum farâid yang menurut feminis muslim perlu diadakan perubahan dalam penggunaanya melihat wanita pada zaman sekarang memiliki peran yang sama dengan laki-laki di masyarakat, kemudian ia juga berperan dalam membantu mencari nafkah kelurga, maka dalam hak warisan ia juga harus mendapatkan porsi yang sama dengan laki-laki.

141 Pembagian warisan dalam keluarga bapak almarhum H. Abdullah yang hanya dilakukan kepada isteri pertama dan anak-anaknya dan sesuai dengan ketentuan hukum Islam, sedangkan untuk isteri kedua dan anak-anak dari isteri kedua hanya mendapatkan harta berupa hibah atau shodaqoh dari pihak ahli waris lainnya berdasarkan kesepakatan ahli waris dari pihak isteri pertama. Pembagian warisan pada awalnya dibantu oleh seorang ustad setempat, namun dalam pembagian hibah selanjutnya dilakukan pihak keluarga secara internal. Sedangkan pembagian harta bersama tidak dilakukan karena isteri pertama dari almarhum tidak ingin harta tumpang kaya dihitung atau dibagikan. Analisis teori gender menurut feminisme Islam menunjukkan bahwa keegoisan ahli waris dari isteri pertama dan ibunya mencerminkan sikap yang tidak manusiawi dan adil. Hak isteri kedua sebagai seorang isteri dari almarhum seharusnya diberikan kepadanya sebagaimana isteri pertama yaitu 1/8, karena bagaimanapun pernikahannya dilakukan secara sah menurut agama, maka pembagiannya pun harus sesuai dengan ketentuan agama Islam, dari sisi keadilan gender tentu saja masalah ini sangat bertentangan dengan konsep yang adil, perlakuan terhadap isteri kedua merupakan tindakan diskriminasi yang menyebabkan dirinya tidak memiliki akses kepada keadilan yang substantif, begitu juga hal yang sama terjadi kepada anak-anak dari isteri kedua. Sedangkan pembagian warisan terhadap anak-anak dari isteri pertama adalah 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan, dalam hal ini analisis teori feminisme Islam masih sama dengan praktek-prakek di keluarga sebelumnya, yaitu dengan alasan bahwa penggunaan 2:1 tidak sejalan dengan konsep adil menurut feminis muslim. 5. Pembagian warisan keluarga almarhum bapak H. Sopyan. Pembagian warisan dalam keluarga ini memiliki kesamaan dengan keluarga bapak H. Zainal yaitu isteri pertama dan kedua masih hidup sampai sekarang, dan mempunyai 3 anak perempuan dari isteri pertama sedangkan dari isteri kedua mempunyai 2 orang anak laki-laki. Dalam pembagian warisan, isteri mendapat 1/8 baik isteri pertama maupun isteri kedua, sedangkan untuk anak-anaknya mendapatkan

142 125 bagian 2:1. Pembagian dilakukan setelah dibagikan harta bersama atau tumpang kaya untuk para isteri. Ahli waris anak laki-laki mendapat harta tambahan benda tidak bergerak yaitu sawah sesuai wasiat dari almarhum, dengan alasan bahwa anak laki-laki mempunyai tanggungan lebih terhadap isteri dan anak-anaknya. Pembagian ini tidak dilakukan di Pengadilan Agama disebabkan pernikahannya sirrî dan hanya menggunakan jasa tokoh agama atau ahli hukum Islam. Harta tirkah setelah pembagian harta tumpang kaya kepada isteri-isteri berjumlah Rp ,- dan berupa benda tidak bergerak yaitu sawah 1000 meter. Analisis teori gender menurut feminisme Islam melihat praktek yang terjadi dalam keluarga ini dari beberapa sisi. Pertama, pembagian terhadap isteriisteri almarhum yang memperoleh masing-masing 1/8 menunjukkan sikap keadilan, sekalipun pembagian antara perempuan dengan perempuan bukanlah termasuk dalam kajian teori gender menurut feminisme Islam, karena masalah keadilan gender adalah antara laki-laki dengan perempuan. Namun isteri-isteri dari almarhum tetap mendapatkan porsi waris walaupun pernikahannya dilakukan secara sirrî. Konsep pembagian 1/8 adalah ketentuan hukum waris Islam, namun bagian 1/8 itu untuk semua isteri bukan masing-masing isteri mendapat 1/8. Pembagian harta tumpang kaya juga merupakan wujud perhatian keluarga terhadap isteri-isteri almarhum yang dipoligami secara sirrî, walaupun harta bersama atau tumpang kaya tersebut bukan termasuk ketentuan hukum waris Islam. Kedua, pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dari isteri pertama tidak mencerminkan keadilan. Mengingat penggunaan 2:1 adalah ketentuan yang ada dalam hukum farâid yang menurut feminis muslim perlu diadakan perubahan dalam penggunaanya melihat wanita pada zaman sekarang memiliki peran yang sama dengan laki-laki di masyarakat, kemudian ia juga berperan dalam membantu mencari nafkah kelurga, maka dalam hak warisan ia juga harus mendapatkan porsi yang sama dengan laki-laki. Ketiga, pemberian harta tidak bergerak berupa sawah kepada anak laki-laki dengan alasan bahwa anak laki-laki mempunyai tanggungan lebih terhadap isteri dan anak-anaknya sesuai wasiat dari almarhum, feminis

143 126 muslim melihat bahwa alasan tersebut seharusnya juga berlaku kepada anak perempuan, karena perempuan juga memiliki kontribusi dalam mencari nafkah keluarga dan kebutuhan yang diperlukannya juga banyak seperti mengurus kebutuhan rumah tangga dan anak-anaknya, maka harta berupa sawah itu seharusnya dinominalkan dan digabungkan dengan seluruh harta peninggalan almarhum. 6. Pembagian warisan keluarga almarhum bapak H. Nanang Suhendra. Dalam keluarga ini memiliki perbedaan dengan keluarga bapak H. Sopyan yaitu isteri sebanyak tiga orang, dan mempunyai anak sebanyak 10 orang dari ketiga isteri tersebut. Isteri pertama memiliki 1 anak perempuan dan 3 anak laki-laki, isteri kedua mempunyai 2 orang anak laki-laki dan 2 anak perempuan, isteri ketiga mempunyai 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Dalam pembagian warisan isteri mendapat 1/8 baik isteri pertama, isteri kedua maupun isteri ketiga, sedangkan untuk anak-anaknya mendapatkan bagian 2:1. Pembagian dilakukan setelah dibagikan harta bersama atau tumpang kaya untuk para isteri. Pembagian ini tidak dilakukan di Pengadilan Agama disebabkan pernikahannya sirrî dan hanya menggunakan jasa tokoh agama atau ahli hukum Islam. Harta tirkah yang ditinggalkan oleh pewaris sebesar Rp ,-. Analisis teori gender menurut feminisme Islam melihat praktek yang terjadi dalam keluarga ini dari beberapa sisi. Pertama, pembagian terhadap isteriisteri almarhum yang memperoleh masing-masing 1/8 menunjukkan sikap keadilan, sekalipun pembagian antara perempuan dengan perempuan bukanlah termasuk dalam kajian teori gender menurut feminisme Islam, karena masalah keadilan gender adalah antara laki-laki dengan perempuan. Namun isteri-isteri dari almarhum tetap mendapatkan porsi waris walaupun pernikahannya dilakukan secara sirrî. Konsep pembagian 1/8 adalah ketentuan hukum waris Islam, namun bagian 1/8 itu untuk semua isteri bukan masing-masing isteri mendapat 1/8. Pembagian harta tumpang kaya juga merupakan wujud perhatian keluarga terhadap isteri-isteri almarhum yang dipoligami secara sirrî, walaupun harta bersama atau tumpang kaya tersebut bukan termasuk

144 127 ketentuan hukum waris Islam. Kedua, pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dari isteri pertama tidak mencerminkan keadilan. Mengingat penggunaan 2:1 adalah ketentuan yang ada dalam hukum farâid yang menurut feminis muslim perlu diadakan perubahan dalam penggunaanya melihat wanita pada zaman sekarang memiliki peran yang sama dengan laki-laki di masyarakat, kemudian ia juga berperan dalam membantu mencari nafkah kelurga, maka dalam hak warisan ia juga harus mendapatkan porsi yang sama dengan laki-laki. 7. Pembagian warisan perkawinan poligami sirrî dalam kasus lain dilakukan dengan menggunakan jasa ulama setempat dan menggunakan hukum waris Islam yang sangat tekstual. Penyelesaian oleh kalangan ulama tersebut tidak sesuai dengan prinsip keadilan menurut kaum feminis muslim, karena mereka berpandangan sangat tekstual terhadap hukum waris Islam yang ada dalam ilmu farâid dan sangat ketat memegang prinsip tentang siapa yang boleh mewaris dan berapa banyak porsinya. Porsi pembagian warisan antara perempuan dan laki-laki tidak boleh sama, dengan alasan pembagian ruang produksi dan reproduksi antara laki-laki dan perempuan sudah jelas dalam hukum Allah Swt. Dalam hal ini mereka tidak memperhitungkan apa yang digaungkan kaum feminisme- bahwa perempuan juga berperan di ruang-ruang produksi dan berkontribusi dalam mencari nafkah bagi seluruh keluarga. 8. Dalam kasus lainnya yang diselesaikan oleh ulama setempat berbeda dengan ulama sebelumnya dimana keadilan bagi perempuan menurut feminisme Islam tetap diperhatikan, mereka adalah kalangan ulama kontekstual yang tidak konservatif terhadap teks-teks agama tentang warisan. Ulama tersebut dapat merespons pengalaman dan realitas kekinian seperti isu hak asasi, kesetaraan, dan keadilan bagi perempuan, mereka adalah kalangan yang mengakui adanya ruang-ruang sosial baru. Mereka juga menemukan cara bagaimana menyiasati agar syariat tetap dijalankan tetapi rasa keadilan perempuan juga didapat. Dalam hal ini porsi pembagian warisan ditetapkan antara perempuan dan lakilaki dua berbanding satu (2:1), tetapi dalam praktiknya kemudian, laki-laki

145 128 akan memberikan haknya kepada saudara perempuannya sehingga porsi dan posisinya menjadi setara. Berdasarkan uraian analisis di atas dan kajian teoretik tentang gender menurut feminisme Islam, maka penulis menyimpulkan bahwa praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka Cianjur tidak semuanya mencerminkan dan sejalan dengan konsep keadilan yang dimaksud oleh feminisme Islam. Pembagian yang dilakukan dengan menggunakan ketentuan farâid sangat bertolak belakang dengan konsep keadilan menurut kaum feminis muslim. Mengingat arti dari keadilan menurut feminisme Islam adalah sama rata pada perolehan hak warisan antara laki-laki dan perempuan dengan beberapa alasan yang sesuai dengan keadaan masa kini dimana keadilan harus bersifat distributif proporsional. Namun beberapa praktek yang dilakukan diluar ketentuan farâid sejalan dengan konsep keadilan feminisme Islam tersebut, diantaranya porsi sama rata terhadap anak-anak dari isteri kedua antara laki-laki dan perempuan, kemudian pembagian sama rata antara anak lakilaki dan perempuan baik dari isteri pertama maupun isteri kedua. Sedangkan kasus pembagian 1/8 yang dibagikan kepada isteri masing mendapatkan porsi yang sama merupakan sebuah tindakan mencerminkan keadilan bagi semua isteri, walaupun sebenarnya kasus itu tidak termasuk dalam kategori pembahasan keadilan gender karena bias gender yang dimaksud dalam feminisme Islam tentang warisan adalah pembagian terhadap laki-laki dan perempuan. B. Analisis Teori Maqâsid al-syarîʻah Menurut al-syâṯibî Terhadap Pembagian Warisan Poligami Sirrî di Desa Sindanglaka Al-Syâṯibî -sebagaimana kajian teoretik tentang teori maqâsid al-syarîʻah yang penulis uraikan pada bab kedua- berpendapat bahwa tujuan Allah Swt adalah tiada lain untuk memberikan kemaslahatan dan menghalangi kemadaratan (jalb al-masâlih wa dar al-mafâsid) dalam menetapkan syariat (aturan hukum). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang telah ditentukan Allah Swt hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri baik di dunia dan akhirat sekaligus. Kemaslahatan tersebut dapat terwujud apabila perlindungan

146 129 terhadap lima unsur pokok berikut terpenuhi, yakni; agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Kemaslahatan dalam maqâsid al-syarîʻah yang mencakup perlindungan terhadap lima hal pokok (al-usûl al-khamsah) diatas, masing-masing mempunyai peringkat darûriyyât (primer/pokok), hâjiyyât (sekunder/kebutuhan), dan tahsîniyyât (tersier/keindahan). 12 Sejauh penelusuran penulis dalam beberapa literatur, belum didapati sistematika pembahasan maqâsid al-syarî ah seperti al- Ghazâlî dan al-syâtibî, khususnya dalam mengklasifikasikan maslahah pada tiga ranah darûriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât. Tentang cara kerja ketiga maslahah tersebut, maslahah darûriyyah adalah pokok dan dasar dari kedua maslahah lainnya. Sedangkan maslahah hâjiyyah berfungsi sebagai pelengkap maslahah darûriyyah, dan maslahah tahsîniyyah sebagai pelengkap maslahah hâjiyyah. Dengan demikian, kedua maslahah tersebut melingkari maslahah darûriyyah untuk melengkapi dan menyempurnakannya. 13 Oleh karena itu hukum-hukum yang mengandung kemaslahatan darûriyyât menjadi lebih penting untuk didahulukan dan dijaga daripada hukum-hukum yang bersifat hâjiyyât apalagi yang bersifat tahsîniyyât. Dalam hal ini al-syâṯibî memberikan catatan, bahwa kedua maslahah yang berposisi sebagai pelengkap, tidak boleh dijaga, jika dalam penjagaannya dapat merusak yang dilengkapi. Penjelasan maqâsid al-syarî ah menurut al-syâtibî tentang pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî dapat dicarikan rujukan dalam ranah perlindungan lima hal pokok (al-usûl al-khamsah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, melalui hikmah dari pembagian waris Islam. Hikmah pembagian warisan berdasarkan hukum Islam adalah: 1. Menjalankan perintah Allah Swt dalam masalah pembagian warisan sebagai simbol ketundukkan kepada-nya. 12 Pembagian maslahah dengan tiga kategori: darûriyyât, hâjiyyât dan tahsîniyyât dalam lima hal pokok tersebut adalah perspektif al-ghazâlî dan al-syâtibî seperti yang penulis jelaskan dalam pembahasan sebelumnya pada bab kedua. 13 Abû Ishâq Ibrâhîm al-syâṯibî, al-muwâfaqât, h. 101.

147 Agama Islam mendudukkan anak bersamaan dengan orang tua pewaris serentak sebagai ahli waris. Dalam sistem waris Islam, orang tua dimungkinkan mendapat hak warisan ketika pewaris meninggal dengan tidak meninggalkan keturunan. Suami isteri mendapat hak saling mewarisi. Hal ini bertentangan dengan tradisi Arab jahiliyah yang menjadikan isteri sebagai warisan. 3. Memelihara keutuhan keluarga. Pembagian warisan berkaitan langsung dengan harta benda, apabila tidak diberikan berdasarkan ketentuanketentuan (rincian porsi) sangat mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris. Hal ini dikarenakan secara fitrah manusia itu sangat senang terhadap harta. 4. Sebagai sarana untuk mencegah kesengsaraan atau kemiskinan ahli waris. Hal ini terlihat bahwa dalam sistem waris Islam memberi bagian sebanyak mungkin kepada ahli waris dan kerabat. Warisan bukan saja terhadap anak-anak pewaris, tetapi orang tua, suami-isteri, saudara-saudara, cucu bahkan kakek dan nenek. 5. Sebagai sarana pencegahan dari kemungkinan penimbunan harta kekayaaan pada seseorang. Dengan dirincinya aturan tentang pembagian warisan, diharapkan tiap ahli waris mendapatkan hak yang semestinya secara proporsional. 6. Mewujudkan kemaslahatan anggota keluarga dalam hidup bermasyarakat. Hal ini dikarenakan pembagian warisan dalam Islam tidak hanya ditunjukkan kepada seseorang tertentu dari keluarga tanpa memberi kepada anggota keluarga lain dan tidak pula diserahkan kepada Negara. 14 Berdasarkan hikmah pembagian warisan diatas, maka maqâsid al-syarî ah pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî lebih didominasi perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) dari pada perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl), akan tetapi keduanya tidak ada yang menempati peringkat darûriyyât (primer), melainkan semua berada pada tingkatan hâjiyyât (sekunder) 14 Muhammad Syah Ismail, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1992), h. 235.

148 131 atau tahsîniyyât (tersier). Hal ini seperti yang digambarkan dalam tabel fungsi dan hikmah pembagian warisan kaitannya dengan maqâsid al-syarîʻah berikut ini: Tabel 1.1 Pembagian Warisan Islam dan Kaitannya Dengan Maqâsid al-syarîʻah No. a. Fungsi/hikmah pembagian warisan Simbol ketundukkan kepada Allah Swt Aspek Maslahah yang Dilindungi hifz al-dîn (perlindungan terhadap agama) dalam pelaksanaan hukum waris Peringkat Maslahah Hâjiyyât/ Tahsîniyyât b. Sebagai sarana menjaga keutuhan keluarga Perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) Hâjiyyât/ Tahsîniyyât c. Sebagai sarana pendistribusian harta secara adil Perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl) Hâjiyyât/ Tahsîniyyât Uraian dalam tabel tentang hikmah pembagian waris di atas, dapat kita pahami bahwa maslahah yang ingin dilindungi adalah perlindungan akan eksistensi agama (hifz al-dîn), perlindungan keturunan (hifz al-nasl) dan juga perlindungan harta (hifz al-mâl) yang semuanya berada pada peringkat sekunder (hâjiyyât) atau tersier (tahsîniyyât). Pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka -berdasarkan hasil penelitian- tidak semuanya diselesaikan sesuai dengan ketentuan farâid, banyak diantaranya diselesaikan dengan kesepakatan internal keluarga, kesepakatan yang dilakukan dipimpin oleh pihak isteri pertama dan anak-anak dari isteri pertama yang terkadang terkesan ingin menguasai seluruh harta tanpa memperhatikan hak isteri kedua dan anakanak dari isteri kedua secara adil. Pada umumnya masalah waris dalam perkawinan poligami sirrî dilakukan sesuai dengan ketentuan pembagian warisan dalam kitab-kitab ulama Fikih atau farâid dengan dibantu oleh ulama setempat. Walaupun demikian terjadi sebuah praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî tanpa melibatkan ulama setempat dan dilakukan secara internal

149 132 kekeluargaan, dalam hal ini pembagian dilakukan sesuai keputusan pemegang kekuasaan dalam kesepakatan keluarga yang biasanya diambil alih oleh ahli waris dari isteri pertama, namun penggunaan ketentuan farâid masih dilakukan walaupun tidak secara keseluruhan. 15 Berbicara tentang maqâsid al-syarîʻah dalam pembagian warisan berarti berbicara mengenai apakah pembagian warisan yang dilakukan menghasilkan kemaslahatan terhadap seluruh ahli waris atau tidak, kemudian apakah maslahat itu termasuk maslahat primer, sekunder, ataupun tersier. Ditinjau dari perspektif teori maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî bahwa pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka tidak bisa dilakukan secara menyeluruh tetapi harus dilihat dari praktek-praktek yang berbeda-beda yang terjadi di masyarakat yang telah disebutkan secara rinci pada bab ketiga. Berdasarkan praktek yang terjadi di setiap keluarga poligami sirrî di desa Sindanglaka, maka analisis teori maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî dapat dirincikan sebagai berikut: 1) Pembagian warisan pada keluarga almarhum bapak H. Umar, penyelesaiannya hanya dilakukan terhadap anak-anak hasil dari dua perkawinan, karena kedua isteri almarhum sudah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum suaminya. Pembagian dilakukan dengan memperhatikan hukum Islam dan tanpa memperhatikan hukum positif di Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut; almarhum meninggalkan ahli waris dari isteri pertama dua anak laki-laki dan empat anak perempuan, dan satu anak laki-laki dua anak perempuan dari isteri kedua. Harta tirkah yang ditinggalkan Rp ,- (satu miliar lima ratus juta rupiah). Dengan pembagian untuk anak-anak dari isteri pertama 2:1. Sedangkan untuk pembagian anak-anak dari isteri kedua dibagi sama rata. Pembagian dilakukan dengan kesepakatan musyawarah keluarga yaitu ahli waris dari pihak isteri pertama. Namun pembagian ini tidak menggunakan hukum positif maupun hukum adat. 15 Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawir salah satu tokoh agama di desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 3 Maret 2020 di kediamannya.

150 133 Analisis teori maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî menunjukkan bahwa perlindungan terhadap lima unsur pokok (al-usûl al-khamsah) yang tampak dalam pembagian warisan di keluarga ini dapat dilihat dari masing-masing pembagian; Pertama adalah dalam pembagian 2:1 terhadap anak-anak dari isteri pertama, yakni perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn), karena melaksanakan ketentuan Allah Swt dalam pembagian warisan merupakan simbol ketundukkan seorang hamba terhadap Tuhannya. Sehingga dengannya, eksistensi hukum agama dalam masalah warisan tetap terjaga. Maqâsid alsyarîʻah dalam ranah perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) ini masuk dalam tingkat hâjiyyât (sekunder). Kemudian perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl). Karena untuk memelihara keutuhan dan kerukunan keluarga maka harta warisan dibagikan kepada ahli waris sebagai jaminan kepada mereka agar dapat hidup berkecukupan setelah ditinggalkan oleh pewaris. Maqâsid al-syarî ah dalam ranah perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) dalam hal ini termasuk kedalam tingkat hâjiyyât (sekunder). Karena terciptanya keutuhan keluarga dan terjaminnya kehidupan ahli waris setelah pewaris meninggal adalah suatu kebutuhan agar dapat hidup sejahtera dan terhindar dari keributan dan kesengsaraan, akan tetapi jika hal ini tidak dilakukan maka tidak akan sampai kepada sesuatu yang mengancam eksistensi keturunan. Kemudian perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl), dengan pembagian 2:1 yang sesuai dengan sistem waris Islam diharapkan tidak ada penimbunan harta bagi seseorang. Harta dapat didistribusikan secara adil kepada seluruh ahli waris. Dalam ranah maqâsid al-syarî ah tentu saja hal ini masuk dalam tingkat hâjiyyât (sekunder) dan tahsîniyyât (tersier). Karena jika hal tersebut tidak terjaga maka akan terjadi kesengsaraan yang dirasakan oleh ahli waris, atau tidak sengsara tetapi hidupnya kurang sempurna. Kedua, dalam pembagian sama rata antara anak laki-laki dan perempuan dari isteri kedua, dalam hal ini jelas tidak menunjukkan perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) karena ketentuan hukum Allah tidak dilaksanakan, akan tetapi tampak adanya perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl) dan keturunan (hifz

151 134 al-nasl) saja yang mana keduanya berada dalam tingkatan hâjiyyât (sekunder) dan tahsîniyyât (tersier). 2) Pembagian warisan pada keluarga almarhum bapak H. Zainal, penyelesaiannya memiliki perbedaan dengan keluarga bapak H. Umar yaitu isteri pertama dan kedua masih hidup sampai sekarang, dan mempunyai 2 anak perempuan dari isteri pertama sedangkan dari isteri kedua mempunyai 1 orang anak laki-laki. Dalam pembagian warisan, isteri mendapat 1/8 baik isteri pertama maupun isteri kedua, sedangkan untuk anak-anaknya mendapatkan bagian yang sama rata dan bukan 2:1 setelah dibagikan harta bersama atau tumpang kaya untuk para isterinya. Akan tetapi ada perbedaan dengan keluarga bapak H. Umar yaitu ahli waris anak laki-laki mendapat harta tambahan benda tidak bergerak berupa rumah sesuai wasiat dari almarhum, dengan alasan bahwa anak laki-laki mempunyai tanggungan lebih terhadap isteri dan anak-anaknya. Pembagian ini tidak dilakukan di Pengadilan Agama disebabkan pernikahannya sirrî dan hanya menggunakan jasa tokoh agama atau ahli hukum Islam. Harta tirkah yang ditinggalkan oleh pewaris setelah dilakukan pembagian harta tumpang kaya kepada isteri-isterinya berjumlah Rp ,- dan berupa benda tidak bergerak yaitu rumah yang tidak dinominalkan karena hanya akan diberikan kepada anak laki-laki saja. Analisis teori maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî menunjukkan bahwa perlindungan terhadap lima unsur pokok (al-usûl al-khamsah) yang tampak dalam pembagian warisan di keluarga ini dapat dilihat dari masing-masing pembagian; Pertama adalah dalam pembagian 1/8 terhadap isteri-isteri masing-masing mendapatkan 1/8, dalam hal ini penggunaan ketentuan Allah Swt dalam pembagian warisan tetap digunakan namun hanya dalam porsinya saja, sedangkan penggunaannya tidak sesuai dengan ajaran Islam dimana isteri-isteri mendapatkan masing-masing 1/8, sedangkan Islam mengajarkan bahwa porsi 1/8 adalah untuk semua isteri dibagi secara merata. Perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) yang masuk dalam tingkatan hâjiyyât (sekunder) tentu saja tidak tampak dalam kasus ini karena merupakan tindakan merubah ketentuan Allah Swt dalam hukum warisan, maslahat yang ingin dicapai

152 135 keluarga ini pun tidak terlihat karena tentu saja mengambil bagian yang tidak ditentukan merupakan tindakan memakan hak orang lain. Ketika penggunaan hukum warisan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Allah Swt maka tidak ada kemaslahatan yang ingin dicapai, karena bagaimanapun yang menentukan suatu hukum dapat mengandung maslahat atau tidak hanyalah Allah Swt bukan manusia. Karena hukum warisan merupakan hukum yang sangat jelas dalil dan penjelasannya dalam Al-Qur an, bagaimana bisa manusia mencari celah untuk mencoba merubah ketentuan-ketentuan dalam hukum Allah Swt tersebut. Namun dalam ranah perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) dan perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl) bisa saja pembagian itu dilakukan untuk memelihara keutuhan dan kerukunan keluarga dan masuk kedalam tingkat hâjiyyât (sekunder) dan tahsîniyyât (tersier). Karena menjaga keutuhan keluarga dan menjamin kehidupan ahli waris setelah pewaris meninggal bukan termasuk perkara yang jika tidak dilakukan maka akan sampai kepada sesuatu yang mengancam eksistensi keturunan. Kedua, dalam pembagian sama rata antara anak laki-laki dan perempuan dan tidak melakukan pembagian 2:1, dalam hal ini jelas tidak menunjukkan perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) karena ketentuan hukum Allah tidak dilaksanakan, akan tetapi tampak adanya perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl) dan keturunan (hifz al-nasl) saja yang mana keduanya berada dalam tingkatan hâjiyyât (sekunder) dan tahsîniyyât (tersier). Ketiga, pembagian harta tumpang kaya yang tidak ada aturannya dalam ketentuan hukum waris Islam, maka sebenarnya pembahasan ini sama seperti pembahasan mengenai pembagian 1/8 yang dibagikan kepada masing-masing isteri diatas. Keempat, pemberian harta khusus kepada anak laki-laki berupa rumah dapat dikategorikan kedalam perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl) namun dalam tingkatan hâjiyyât (sekunder). Akan tetapi yang perlu digaris bawahi dalam kasus ini adalah harta berupa rumah tersebut bukanlah harta warisan melainkan wasiat dari almarhum yang dikhususkan kepada anak lakilaki, sekalipun sejatinya wasiat itu hukumnya haram dilakukan karena

153 136 bertentangan dengan syariat Islam yang mengatakan bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris. 3) Pembagian warisan keluarga almarhum bapak H. Deden Muttaqin yang berbeda dengan keluarga sebelumnya, letak perbedaanya adalah bapak H. Deden ini mempunyai 4 isteri dan 15 orang anak dari isteri-isterinya. Dari isteri pertama mempunyai 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Isteri kedua mempunyai 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Isteri ketiga mempunyai 4 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Sedangkan untuk isteri yang terakhir tidak mempunyai anak. Praktek pembagian warisan kepada isteri-isteri dan anak-anaknya sepenuhnya adalah hak anak pertama dari isteri pertama pewaris tanpa ada interpensi dari isteri-isteri dan anak-anaknya, sebagaimana wasiat almarhum sebelum meninggal. Dalam hal pembagiannya anak pertama yang bernama H. Endang tidak menyamakan pembagian kepada isteri-isteri pewaris, dalam pembagian tanah isteri pertama mendapatkah jatah yang paling luas, isteri kedua lebih luas dari isteri ketiga, isteri ketiga lebih luas dari isteri keempat, sedangkan pembagian untuk anak-anaknya dilakukan dengan ketentuan 2:1, dan harta peninggalan berupa sawah seluas M2. Sedangkan pembagian harta bersama tidak dilakukan karena keempat isteri almarhum tidak ingin dihitung atau dibagikan, kemudian juga mereka tidak memiliki hak untuk menuntut karena kekuasaan penuh dipegang oleh anak pertama dari isteri pertama. Analisis teori maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî menunjukkan bahwa perlindungan terhadap lima unsur pokok (al-usûl al-khamsah) yang tampak dalam pembagian warisan di keluarga ini dapat dilihat dari masing-masing pembagian; Pertama adalah dalam pembagian 2:1 terhadap anak-anak dari isteri pertama, yakni perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn), karena melaksanakan ketentuan Allah Swt dalam pembagian warisan merupakan simbol ketundukkan seorang hamba terhadap Tuhannya. Sehingga dengannya, eksistensi hukum agama dalam masalah warisan tetap terjaga. Maqâsid alsyarîʻah dalam ranah perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) ini masuk dalam tingkat hâjiyyât (sekunder). Kemudian perlindungan terhadap

154 137 keturunan (hifz al-nasl). Karena untuk memelihara keutuhan dan kerukunan keluarga maka harta warisan dibagikan kepada ahli waris sebagai jaminan kepada mereka agar dapat hidup berkecukupan setelah ditinggalkan oleh pewaris. Maqâsid al-syarî ah dalam ranah perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) dalam hal ini termasuk kedalam tingkat hâjiyyât (sekunder). Karena terciptanya keutuhan keluarga dan terjaminnya kehidupan ahli waris setelah pewaris meninggal adalah suatu kebutuhan agar dapat hidup sejahtera dan terhindar dari keributan dan kesengsaraan, akan tetapi jika hal ini tidak dilakukan maka tidak akan sampai kepada sesuatu yang mengancam eksistensi keturunan. Kemudian perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl), dengan pembagian 2:1 yang sesuai dengan sistem waris Islam diharapkan tidak ada penimbunan harta bagi seseorang. Harta dapat didistribusikan secara adil kepada seluruh ahli waris. Dalam ranah maqâsid al-syarî ah tentu saja hal ini masuk dalam tingkat hâjiyyât (sekunder) dan tahsîniyyât (tersier). Karena jika hal tersebut tidak terjaga maka akan terjadi kesengsaraan yang dirasakan oleh ahli waris, atau tidak sengsara tetapi hidupnya kurang sempurna. Kedua, dalam pembagian yang tidak sama rata antara isteri-isteri, dalam hal ini pembagian tersebut selain tidak mencerminkan keadilan yang merupakan tujuan daripada hukum Islam juga tidak sesuai dengan aturan yang ada dalam ketentuan hukum waris Islam. Perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) yang masuk dalam tingkatan hâjiyyât (sekunder) tentu saja tidak tampak dalam kasus ini karena merupakan tindakan merubah ketentuan Allah Swt dalam hukum warisan, maslahat yang ingin dicapai keluarga ini pun tidak terlihat karena tentu saja mengambil bagian yang tidak ditentukan merupakan tindakan memakan hak orang lain. Namun dalam ranah perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl) bisa saja pembagian itu dilakukan untuk jaminan kepada mereka agar dapat hidup berkecukupan setelah ditinggalkan oleh pewaris dan masuk kedalam tingkat tahsîniyyât (tersier). 4) Pembagian warisan dalam keluarga bapak almarhum H. Abdullah yang hanya dilakukan kepada isteri pertama dan anak-anaknya dan sesuai dengan ketentuan hukum Islam, sedangkan untuk isteri kedua dan anak-anak dari

155 138 isteri kedua hanya mendapatkan harta berupa hibah atau shodaqoh dari pihak ahli waris lainnya berdasarkan kesepakatan ahli waris dari pihak isteri pertama. Pembagian warisan pada awalnya dibantu oleh seorang ustad setempat, namun dalam pembagian hibah selanjutnya dilakukan pihak keluarga secara internal. Sedangkan pembagian harta bersama tidak dilakukan karena isteri pertama dari almarhum tidak ingin harta tumpang kaya dihitung atau dibagikan. Analisis teori maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî menunjukkan bahwa perlindungan terhadap lima unsur pokok (al-usûl al-khamsah) yang tampak dalam pembagian warisan di keluarga ini dapat dilihat dari masing-masing pembagian; Pertama adalah dalam pembagian 1/8 terhadap isteri pertama dan pembagian 2:1 terhadap anak-anak dari isteri pertama, yakni perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn), karena melaksanakan ketentuan Allah Swt dalam pembagian warisan merupakan simbol ketundukkan seorang hamba terhadap Tuhannya. Sehingga dengannya, eksistensi hukum agama dalam masalah warisan tetap terjaga. Maqâsid al-syarîʻah dalam ranah perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) ini masuk dalam tingkat hâjiyyât (sekunder). Kemudian perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl). Karena untuk memelihara keutuhan dan kerukunan keluarga maka harta warisan dibagikan kepada ahli waris sebagai jaminan kepada mereka agar dapat hidup berkecukupan setelah ditinggalkan oleh pewaris. Maqâsid al-syarî ah dalam ranah perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) dalam hal ini termasuk kedalam tingkat hâjiyyât (sekunder). Karena terciptanya keutuhan keluarga dan terjaminnya kehidupan ahli waris setelah pewaris meninggal adalah suatu kebutuhan agar dapat hidup sejahtera dan terhindar dari keributan dan kesengsaraan, akan tetapi jika hal ini tidak dilakukan maka tidak akan sampai kepada sesuatu yang mengancam eksistensi keturunan. Kemudian perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl), dengan pembagian 2:1 yang sesuai dengan sistem waris Islam diharapkan tidak ada penimbunan harta bagi seseorang. Harta dapat didistribusikan secara adil kepada seluruh ahli waris. Dalam ranah maqâsid alsyarî ah tentu saja hal ini masuk dalam tingkat hâjiyyât (sekunder) dan

156 139 tahsîniyyât (tersier). Karena jika hal tersebut tidak terjaga maka akan terjadi kesengsaraan yang dirasakan oleh ahli waris, atau tidak sengsara tetapi hidupnya kurang sempurna. Kedua, dalam pemberian hibah kepada isteri kedua dan anak-anaknya dalam hal ini pembagian tersebut selain tidak mencerminkan keadilan yang merupakan tujuan daripada hukum Islam juga tidak sesuai dengan aturan yang ada dalam ketentuan hukum waris Islam. Perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) yang masuk dalam tingkatan hâjiyyât (sekunder) tentu saja tidak tampak dalam kasus ini karena merupakan tindakan merubah ketentuan Allah Swt dalam hukum warisan, maslahat yang ingin dicapai keluarga ini pun tidak terlihat karena tentu saja mengambil bagian yang tidak ditentukan merupakan tindakan memakan hak orang lain. Namun dalam ranah perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl) bisa saja pembagian itu dilakukan untuk jaminan kepada mereka agar dapat hidup berkecukupan setelah ditinggalkan oleh pewaris dan masuk kedalam tingkat tahsîniyyât (tersier). 5) Pembagian warisan keluarga almarhum bapak H. Sopyan. Pembagian warisan dalam keluarga ini memiliki kesamaan dengan keluarga bapak H. Zainal yaitu isteri pertama dan kedua masih hidup sampai sekarang, dan mempunyai 3 anak perempuan dari isteri pertama sedangkan dari isteri kedua mempunyai 2 orang anak laki-laki. Dalam pembagian warisan, isteri mendapat 1/8 baik isteri pertama maupun isteri kedua, sedangkan untuk anak-anaknya mendapatkan bagian 2:1. Pembagian dilakukan setelah dibagikan harta bersama atau tumpang kaya untuk para isteri. Ahli waris anak laki-laki mendapat harta tambahan benda tidak bergerak yaitu sawah sesuai wasiat dari almarhum, dengan alasan bahwa anak laki-laki mempunyai tanggungan lebih terhadap isteri dan anak-anaknya. Pembagian ini tidak dilakukan di Pengadilan Agama disebabkan pernikahannya sirrî dan hanya menggunakan jasa tokoh agama atau ahli hukum Islam. Harta tirkah setelah pembagian harta tumpang kaya kepada isteri-isteri berjumlah Rp ,- dan berupa benda tidak bergerak yaitu sawah 1000 meter.

157 140 Analisis teori maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî menunjukkan bahwa perlindungan terhadap lima unsur pokok (al-usûl al-khamsah) yang tampak dalam pembagian warisan di keluarga ini dapat dilihat dari masing-masing pembagian; Pertama adalah dalam pembagian 1/8 terhadap isteri-isteri masing-masing mendapatkan 1/8, dalam hal ini penggunaan ketentuan Allah Swt dalam pembagian warisan tetap digunakan namun hanya dalam porsinya saja, sedangkan penggunaannya tidak sesuai dengan ajaran Islam dimana isteri-isteri mendapatkan masing-masing 1/8, sedangkan Islam mengajarkan bahwa porsi 1/8 adalah untuk semua isteri dibagi secara merata. Perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) yang masuk dalam tingkatan hâjiyyât (sekunder) tentu saja tidak tampak dalam kasus ini karena merupakan tindakan merubah ketentuan Allah Swt dalam hukum warisan, maslahat yang ingin dicapai keluarga ini pun tidak terlihat karena tentu saja mengambil bagian yang tidak ditentukan merupakan tindakan memakan hak orang lain. Ketika penggunaan hukum warisan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Allah Swt maka tidak ada kemaslahatan yang ingin dicapai, karena bagaimanapun yang menentukan suatu hukum dapat mengandung maslahat atau tidak hanyalah Allah Swt bukan manusia. Karena hukum warisan merupakan hukum yang sangat jelas dalil dan penjelasannya dalam Al-Qur an, bagaimana bisa manusia mencari celah untuk mencoba merubah ketentuan-ketentuan dalam hukum Allah Swt tersebut. Namun dalam ranah perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) dan perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl) bisa saja pembagian itu dilakukan untuk memelihara keutuhan dan kerukunan keluarga dan masuk kedalam tingkat hâjiyyât (sekunder) dan tahsîniyyât (tersier). Karena menjaga keutuhan keluarga dan menjamin kehidupan ahli waris setelah pewaris meninggal bukan termasuk perkara yang jika tidak dilakukan maka akan sampai kepada sesuatu yang mengancam eksistensi keturunan. Kedua, pembagian 2:1 terhadap anak-anak dari isteri pertama, yakni perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn), karena melaksanakan ketentuan Allah Swt dalam pembagian warisan merupakan simbol ketundukkan seorang hamba terhadap Tuhannya. Sehingga dengannya, eksistensi hukum agama dalam masalah

158 141 warisan tetap terjaga. Maqâsid al-syarîʻah dalam ranah perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) ini masuk dalam tingkat hâjiyyât (sekunder). Kemudian perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl). Karena untuk memelihara keutuhan dan kerukunan keluarga maka harta warisan dibagikan kepada ahli waris sebagai jaminan kepada mereka agar dapat hidup berkecukupan setelah ditinggalkan oleh pewaris. Maqâsid al-syarî ah dalam ranah perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) dalam hal ini termasuk kedalam tingkat hâjiyyât (sekunder). Karena terciptanya keutuhan keluarga dan terjaminnya kehidupan ahli waris setelah pewaris meninggal adalah suatu kebutuhan agar dapat hidup sejahtera dan terhindar dari keributan dan kesengsaraan, akan tetapi jika hal ini tidak dilakukan maka tidak akan sampai kepada sesuatu yang mengancam eksistensi keturunan. Kemudian perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl), dengan pembagian 2:1 yang sesuai dengan sistem waris Islam diharapkan tidak ada penimbunan harta bagi seseorang. Harta dapat didistribusikan secara adil kepada seluruh ahli waris. Dalam ranah maqâsid alsyarî ah tentu saja hal ini masuk dalam tingkat hâjiyyât (sekunder) dan tahsîniyyât (tersier). Karena jika hal tersebut tidak terjaga maka akan terjadi kesengsaraan yang dirasakan oleh ahli waris, atau tidak sengsara tetapi hidupnya kurang sempurna. Ketiga, pembagian harta tumpang kaya yang tidak ada aturannya dalam ketentuan hukum waris Islam, maka sebenarnya pembahasan ini sama seperti pembahasan mengenai pembagian 1/8 yang dibagikan kepada masing-masing isteri diatas. Keempat, pemberian harta khusus kepada anak laki-laki berupa sawah dapat dikategorikan kedalam perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl) namun dalam tingkatan hâjiyyât (sekunder). Akan tetapi yang perlu digaris bawahi dalam kasus ini adalah harta berupa sawah tersebut bukanlah harta warisan melainkan wasiat dari almarhum yang dikhususkan kepada anak laki-laki, sekalipun sejatinya wasiat itu hukumnya haram dilakukan karena bertentangan dengan syariat Islam yang mengatakan bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris. 6) Pembagian warisan keluarga almarhum bapak H. Nanang Suhendra. Dalam keluarga ini memiliki perbedaan dengan keluarga bapak H. Sopyan yaitu isteri

159 142 sebanyak tiga orang, dan mempunyai anak sebanyak 10 orang dari ketiga isteri tersebut. Isteri pertama memiliki 1 anak perempuan dan 3 anak laki-laki, isteri kedua mempunyai 2 orang anak laki-laki dan 2 anak perempuan, isteri ketiga mempunyai 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Dalam pembagian warisan isteri mendapat 1/8 baik isteri pertama, isteri kedua maupun isteri ketiga, sedangkan untuk anak-anaknya mendapatkan bagian 2:1. Pembagian dilakukan setelah dibagikan harta bersama atau tumpang kaya untuk para isteri. Pembagian ini tidak dilakukan di Pengadilan Agama disebabkan pernikahannya sirrî dan hanya menggunakan jasa tokoh agama atau ahli hukum Islam. Harta tirkah yang ditinggalkan oleh pewaris sebesar Rp ,-. Analisis teori maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî menunjukkan bahwa perlindungan terhadap lima unsur pokok (al-usûl al-khamsah) yang tampak dalam pembagian warisan di keluarga ini dapat dilihat dari masing-masing pembagian; Pertama adalah dalam pembagian 1/8 terhadap isteri-isteri masing-masing mendapatkan 1/8, dalam hal ini penggunaan ketentuan Allah Swt dalam pembagian warisan tetap digunakan namun hanya dalam porsinya saja, sedangkan penggunaannya tidak sesuai dengan ajaran Islam dimana isteri-isteri mendapatkan masing-masing 1/8, sedangkan Islam mengajarkan bahwa porsi 1/8 adalah untuk semua isteri dibagi secara merata. Perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) yang masuk dalam tingkatan hâjiyyât (sekunder) tentu saja tidak tampak dalam kasus ini karena merupakan tindakan merubah ketentuan Allah Swt dalam hukum warisan, maslahat yang ingin dicapai keluarga ini pun tidak terlihat karena tentu saja mengambil bagian yang tidak ditentukan merupakan tindakan memakan hak orang lain. Ketika penggunaan hukum warisan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Allah Swt maka tidak ada kemaslahatan yang ingin dicapai, karena bagaimanapun yang menentukan suatu hukum dapat mengandung maslahat atau tidak hanyalah Allah Swt bukan manusia. Karena hukum warisan merupakan hukum yang sangat jelas dalil dan penjelasannya dalam Al-Qur an, bagaimana bisa manusia mencari celah untuk mencoba merubah ketentuan-ketentuan dalam hukum Allah Swt

160 143 tersebut. Namun dalam ranah perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) dan perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl) bisa saja pembagian itu dilakukan untuk memelihara keutuhan dan kerukunan keluarga dan masuk kedalam tingkat hâjiyyât (sekunder) dan tahsîniyyât (tersier). Karena menjaga keutuhan keluarga dan menjamin kehidupan ahli waris setelah pewaris meninggal bukan termasuk perkara yang jika tidak dilakukan maka akan sampai kepada sesuatu yang mengancam eksistensi keturunan. Kedua, pembagian 2:1 terhadap anak-anak dari isteri pertama, yakni perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn), karena melaksanakan ketentuan Allah Swt dalam pembagian warisan merupakan simbol ketundukkan seorang hamba terhadap Tuhannya. Sehingga dengannya, eksistensi hukum agama dalam masalah warisan tetap terjaga. Maqâsid al-syarîʻah dalam ranah perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) ini masuk dalam tingkat hâjiyyât (sekunder). Kemudian perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl). Karena untuk memelihara keutuhan dan kerukunan keluarga maka harta warisan dibagikan kepada ahli waris sebagai jaminan kepada mereka agar dapat hidup berkecukupan setelah ditinggalkan oleh pewaris. Maqâsid al-syarî ah dalam ranah perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) dalam hal ini termasuk kedalam tingkat hâjiyyât (sekunder). Karena terciptanya keutuhan keluarga dan terjaminnya kehidupan ahli waris setelah pewaris meninggal adalah suatu kebutuhan agar dapat hidup sejahtera dan terhindar dari keributan dan kesengsaraan, akan tetapi jika hal ini tidak dilakukan maka tidak akan sampai kepada sesuatu yang mengancam eksistensi keturunan. Kemudian perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl), dengan pembagian 2:1 yang sesuai dengan sistem waris Islam diharapkan tidak ada penimbunan harta bagi seseorang. Harta dapat didistribusikan secara adil kepada seluruh ahli waris. Dalam ranah maqâsid alsyarî ah tentu saja hal ini masuk dalam tingkat hâjiyyât (sekunder) dan tahsîniyyât (tersier). Karena jika hal tersebut tidak terjaga maka akan terjadi kesengsaraan yang dirasakan oleh ahli waris, atau tidak sengsara tetapi hidupnya kurang sempurna. Ketiga, pembagian harta tumpang kaya yang tidak ada aturannya dalam ketentuan hukum waris Islam, maka sebenarnya

161 144 pembahasan ini sama seperti pembahasan mengenai pembagian 1/8 yang dibagikan kepada masing-masing isteri diatas. 7) Pembagian warisan perkawinan poligami sirrî dalam kasus lain dilakukan dengan menggunakan jasa ulama setempat dan menggunakan hukum waris Islam yang sangat tekstual. terdapat kesimpulan bahwa maqâsid al-syarîʻah yang tampak ingin dilindungi oleh para ulama di Sindanglaka -setelah dicermati lebih dalam- adalah perlindungan akan eksistensi agama (hifz aldîn), yakni dengan melaksanakan ketentuan Allah Swt tentang pembagian harta waris merupakan simbol ketundukan seorang hamba terhadap Tuhannya, kemudian perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) dengan memberi jaminan terhadap ahli waris agar dapat hidup berkecukupan setelah ditinggalkan oleh si pewaris, dan juga perlindungan terhadap harta (hifz almâl) dengan sistem waris Islam diharapkan tidak ada penimbunan harta bagi sesorang dan harta dapat didistribusikan secara adil kepada seluruh ahli waris. Perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) dan dua perlindungan lainnya menempati tingkatan tersier (tahsîniyyât) atau sekunder (hâjiyyât). Berdasarkan uraian analisis di atas dan kajian teoretik pada bab kedua tentang pengertian dan ruang lingkup maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî, maka penulis menyimpulkan bahwa praktek pembagian warisan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka tidak semuanya menghasilkan kemaslahatan dan tidak semuanya sesuai dengan ketentuan hukum farâid. Praktek-praktek yang tidak sesuai dengan ketentuan farâid tentu saja tidak tampak di dalamnya perlindungan terhadap lima unsur pokok dalam maqâsid al-syarî ah karena merupakan tindakan merubah ketentuan Allah Swt dalam hukum warisan, maslahat yang ingin dicapai pun tidak terlihat karena tentu saja mengambil bagian yang tidak ditentukan merupakan tindakan memakan hak orang lain. Sedangkan pembagian warisan yang sejalan dengan maqâsid al-syarî ah lebih didominasi perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) dari pada perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl), akan tetapi keduanya tidak ada yang menempati peringkat darûriyyât (primer), melainkan semua berada pada tingkatan hâjiyyât (sekunder) atau tahsîniyyât (tersier) karena pada dasarnya penggunaan ketentuan farâid jelas

162 145 memiliki kemaslahatan karena sesuai dengan ketentuan hukum Allah Swt dalam masalah warisan yang tidak mungkin meleset dari prinsip keadilan dan kemaslahatan. Kemudian tampak juga adanya perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn), karena melaksanakan ketentuan Allah Swt dalam pembagian warisan merupakan simbol ketundukkan seorang hamba terhadap Tuhannya. Sehingga dengannya, eksistensi hukum agama dalam masalah warisan tetap terjaga. Maqâsid al-syarîʻah dalam ranah perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) ini masuk dalam tingkat hâjiyyât (sekunder). C. Refleksi Filosofis dan Interpretasi Berdasarkan seluruh uraian dalam penelitian ini, maka penulis berpendapat bahwa hukum perkawinan poligami secara sirrî adalah sah, maka tidak ada dampak negatif dalam melakukannya berkaitan dengan masalah pembagian warisan. Seluruh ahli waris baik dari pihak isteri pertama maupun isteri kedua dan seterusnya seluruhnya mendapatkan haknya masing-masing sebagaimana terdapat dalam pembagian warisan menurut hukum waris Islam. Adapun masalah pencatatan pernikahan, sesungguhnya agama Islam tidak membebani seseorang untuk mencatatkan perkawinannya, maka jika tidak melakukannya ia tidak dianggap melanggar hukum Islam. Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa kewajiban mencatatkan perkawinan adalah suatu hukum dalam sebuah Negara yang dihasilkan melalui peraturan pemerintah, kemudian mentaati segala peraturan pemerintah hukumnya adalah wajib dalam pandangan syariat, dalam hal ini pencatatan pernikahan menjadi sebuah kewajiban berdasarkan peraturan pemerintah, jika tidak melakukannya maka seseorang dianggap melanggar pemerintah. Akan tetapi pelanggaran tersebut tidak menghalangi ahli waris untuk mendapatkan haknya jika terjadi kematian, dan juga anak hasil dari perkawinan yang tidak dicatatkan tidak dapat dikatakan anak diluar nikah atau bahkan disebut anak zina. Karena sesungguhnya pencatatan pernikahan bukanlah rukun daripada sahnya pernikahan, yang berarti jika tidak melakukan pencatatan maka pernikahannya dianggap sah. Namun masyarakat harus tetap patuh dan taat dengan peraturan pemerintah, karena hal demikian itu adalah sesuai dengan hukum syariat, dimana disebutkan dalam sebuah kaidah

163 146 Ushul Fiqih bahwa Ketentuan Pemerintah Bersifat Wajib. Namun perlu digarisbawahi bahwa kaidah tersebut berlaku selama ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat. Berdasarkan hal tersebut maka pembagian warisan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka sah-sah saja selama tidak berbenturan dengan hukum syariat Islam. Berkenaan dengan pembahasan mengenai sikap feminis muslim terhadap pembagian warisan 2:1, maka menurut hemat penulis sebenarnya sikap para aktivis feminis muslim dilatarbelakangi oleh ketidakpahaman mereka terhadap hakikat kandungan ayat 11 surat al-nisa. Oleh karena itu perlu kiranya dikaji ulang kandungan ayat tersebut. Ada beberapa poin yang akan dikaji tentang ayat ini, diantaranya: a. Kekeliruan dalam Memahami Ayat Para aktivis feminis beranggapan bahwa kandungan hukum ayat di atas berlaku untuk ahli waris lai-laki dan perempuan dalam semua kasus waris yang di dalamnya terdapat ahli waris laki-laki dan perempuan. Padahal jika kita cermati, hukum 1:2 ini hanya berlaku saat kasus ahli waris adalah anak kandung dari orang yang meninggal. 16 Perhatikan kasus-kasus waris berikut: 1) Seseorang meninggal dengan ahli waris sebagai berikut: Satu orang anak laki-laki, ayah dan ibu. Dalam kasus ini ayah dan ibu mendapat bagian 1/6 sama rata. Perbedaan kelamin tidak mempengaruhi hak waris keduanya. Jelas tidak benar jika hukum 2:1 adalah hukum yang berlaku menyeluruh pada ahli waris. Ketentuan pembagian ini telah disebutkan dalam surat al- Nisa ayat 11, Allah Swt berfirman: 17 و ل ب وي ه ل ك ل وا ح د م ن ه ما ال سد س )النساء: 11 ( Artinya: Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan. (al-nisa : 11). 2) Seseorang meninggal dengan ahli waris sebagai berikut: Satu orang saudara seibu dan satu orang saudari seibu tanpa ada ahli waris yang bisa 16 Muhammad Saʻid Ramadan Al-Bûtî, Al-Mar ah Bayna,... h Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h. 78.

164 147 menjadi penghalang (hijab). Dalam kasus ini mereka berdua mendapat 1/6 dari warisan tanpa ada pembedaan antara jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Ketentuan pembagian ini disebutkan dalam ayat ke-12 surat al-nisa, Allah Swt berfirman: و إ ن ك ان ر جل ي و رث ك ل ل ة أ و ام ر ه أ أ ة و ل خ أ و أ خ ت ف ل ك ل و اح د م ن ه ما الس د س )النساء: 18 )11 Artinya: Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. (al-nisa : 12). Dua kasus di atas adalah bagian dari kasus yang memberi perempuan bagian yang sama dengan bagian laki-laki. 19 Dalam kasus lain perempuan bisa mendapat bagian lebih banyak. Berikut contohnya: 3) Seorang perempuan meninggal dengan ahli waris berikut: suami dan anak perempuan. Dalam kasus ini anak perempuan mendapatkan ½ warisan dan suami mendapat ¼. Bagian perempuan dua kali lipat bagian laki-laki. 20 Dari contoh-contoh kasus di atas sudah sangat jelas bahwa pembagian 2:1 antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan ketentuan hukum waris secara menyeluruh. Pembagian ini hanya terjadi saat kasus beberapa orang anak (lakilaki dan perempuan) sama-sama mewarisi dari salah satu orang tuanya. Pengkhususan hukum ini dapat di pahami dari potongan ayat sebelumnya yakni; ي و ص ي ك م اهلل ف أ و ل د ك م Artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu. Ketika anak laki-laki dan perempuan berkumpul dalam satu kasus waris, anak laki-laki secara otomatis menjadikan anak perempuan asabah. Mereka baru berhak mendapatkan bagian waris setelah para ashâb al-furûd menerima bagian 18 Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h Muhammad Abduh Yazid, Al-Manâhij Al-Hadîtsah fî Al-Mabâhits Al-Mîrâtsiyah, (Cianjur: al-markaz al-dauly lil Ulûm Al-Islâmiyah bi Ma had al-barakah, 2010), h Muhammad Abduh Yazid, Al-Manâhij Al-Hadîtsah fî Al-Mabâhits Al-Mîrâtsiyah, h. 47.

165 148 mereka, dengan ketentuan anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat lebih besar dari bagian anak perempuan. Latar belakang di balik pembagian 2:1 ini adalah syariat memperhatikan dua aspek penting yang melekat pada ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan. Dua aspek tersebut adalah aspek hak dan kewajiban. 21 Seorang anak laki-laki dewasa yang orang tuanya sudah tidak mampu mencari nafkah dibebani kewajiban untuk menafkahi kedua orang tuanya, disamping dia juga dibebani dengan kewajiban menafkahi istrinya. Berbeda halnya dengan anak perempuan. Anak perempuan tidak memiliki beban kewajiban apa pun dari kewajiban yang dibebankan kepada anak laki-laki. Oleh karena perbedaan hak dan kewajiban yang ada pada masing-masing ahli waris (anak laki-laki dan anak perempuan) Islam memberikan sebuah ketentuan yang adil, yakni anak laki-laki terlebih dahulu menjadikan anak perempuan asabah sehingga kemudian mereka sama-sama menerima warisan sisa yang telah dibagikan kepada ashâb al-furûd dengan ketentuan anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan. Saat kasus waris terbalik, yakni anak yang meninggal dan kedua orang tuanya masih hidup. Kedua orang tua memiliki potensi untuk menerima hak nafkah dari anak yang sama. Penerimaan nafkah ini tentunya dengan ketentuan yang telah Islam gariskan, yakni anak dalam keadaan berkecukupan dan orang tuanya tidak lagi mampu mencari nafkah. Atas dasar kesamaan potensi hak penerimaan nafkah inilah, kita tahu bahwa putusan hukum waris Islam yang memberi kedua orang tua bagian yang sama saat anak meninggal adalah putusan yang sangat adil. Seorang meninggal degan ahli waris sebagai berikut: satu saudara seibu dan satu saudari seibu. Dalam kasus ini mereka berdua mendapat bagian yang sama tanpa ada pembedaan jenis kelamin. Jika kita cermati lagi, maka dapat kita ketahui bahwa pembagian sama rata ini sudah sangat sesuai pada sasarannya. Sebab ditinjau dari hak dan kewajiaban saudara seibu (laki-laki dan perempuan) 21 Muhammad Saʻid Ramadan Al-Bûtî, Al-Mar ah Bayna,... h

166 149 tidak memiliki hak dan kewajiban sama sekali dari dan terhadap saudara seibunya yang meninggal. Syariat Islam sama sekali tidak menjadikan perbedaan jenis kelamin sebagai acuan pembeda hak waris. Perbedaan yang ada semata-mata mengacu pada hak dan kewajiban dan dasar ini adalah dasar yang paling proporsional dalam membagi warisan. 22 b. Kemusykilan Baru (beban nafkah juga harus ditanggung perempuan) Setelah penjelasan di atas ternyata para aktivis feminis masih membuat bantahan baru. Bantahan baru mereka adalah bahwa keadilan menurut pembagian 2:1 dalam ayat-ayat waris disebabkan karena perempuan tidak dibebankan mencari nafkah seperti laki-laki. Jika kita amati, saat ini banyak perempuan yang terjun untuk bekerja dan otomatis dia juga ikut memikul beban dalam mencari nafkah. Lantas mengapa beban mencari nafkah hanya diwajibkan kepada laki-laki dan perempuan tidak dibebani kewajiban yang sama?. Begitu juga dalam masalah mahar, nafkah keluarga dan kewajiban memberi tempat tinggal yang layak. Selama perempuan memiliki kemampuan untuk bekerja mengapa semua beban ini dipikulkan kepada laki-laki saja?, jika laki-laki dan perempuan bisa menanggung bersama kewajiban-kewajiban di atas, maka ketentuan 2:1 yang ditetapkan Al-Qur an tidak lagi relevan untuk digunakan pada saat ini. 23 Kemusykilan para aktivis feminis ini nampaknya muncul lantaran mereka tidak mencermati pandangan syariat kepada wanita secara universal. Dalam kasus mencari nafkah, syariat memiliki pandangan bahwa ada dua motivasi yang mendorong perempuan untuk mencari nafkah; 1) Motivasi akhlak Dari segi akhlak, syariat memandang bahwa perempuan dianjurkan untuk ikut serta dalam meringankan beban keluarga dari sisi nafkah, dan perbuatan ini merupakan perbuatan terpuji. Bahkan syariat membuka ruang yang sangat luas bagi wanita, agar ia meringankan beban nafkah keluarga, entah hal itu berupa 22 Muhammad Saʻid Ramadan Al-Bûtî, Al-Mar ah Bayna,... h Muhammad Saʻid Ramadan Al-Bûtî, Al-Mar ah Bayna,... h. 110.

167 150 mahar atau nafkah keseharian. Dari segi akhlak wanita juga dianjurkan untuk mengambil peranan dalam menafkahi kedua orang tua sesuai kemampuannya. Akan tetapi tanpa ada kebebasan mutlak motivasi akhlak tidak akan terwujud, inilah yang perlu diperhatikan; wanita mau tidak mau harus bekerja jika beban mencari nafkah diwajibkan kepadanya, namun terjunnya ke dalam pekerjaan bukan atas dasar motivasi akhlak. Oleh Karena itu, motivasi ini hanya bisa terwujud jika mencari nafkah tidak diwajibkan kepada wanita. Motivasi akhlak ini juga tidak dapat menduduki motivasi kewajiban, karena tidak semua istri memiliki motivasi ini sehingga dia kemudian harus dipaksa. 2) Motivasi kewajiban Syariat sama sekali tidak membebankan kewajiban mencari nafkah kepada perempuan. Akan tetapi jika seandainya syariat mewajibkan wanita untuk mencari nafkah apakah konsekuensi yang akan timbul di belakangnya? Andai tanggung jawab mencari nafkah diwajibkan kepada wanita yang dalam tatanan sosial masyarakat mencakup ibu, anak perempuan dan isteri, maka hal ini akan memotivasi (memaksa) mereka untuk keluar mencari pekerjaan. Keluarnya seluruh wanita untuk mencari pekerjaan akan menimbulkan konsekuensi yang sangat fatal seperti yang terjadi pada wanita di Eropa. Dengan tidak adanya kewajiban mencari nafkah bukan berarti Islam menutup ruang bagi wanita untuk berkontribusi dalam keluarga atau bahkan untuk sekedar menambah penghasilan. Islam memberikan wanita hak untuk hal-hal tersebut tentunya dalam batasan sewajarnya. Mengingat wanita memiliki tugas yang lebih penting dalam mendidik anak Muhammad Saʻid Ramadan Al-Bûtî, Al-Mar ah Bayna,... h. 112.

168 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya mengenai Pembagian Warisan Poligami Sirrî Ditinjau dari Perspektif Gender dan Maqâsid al-syarîʻah, melalui hasil penelitian di Desa Sindanglaka Kec. Karang Tengah Kab. Cianjur Jawa Barat, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan untuk menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî di desa Sindanglaka tidak semuanya diselesaikan sesuai dengan ketentuan farâid, banyak di antaranya diselesaikan dengan kesepakatan internal keluarga yang biasanya dilakukan dengan dipimpin oleh pihak isteri pertama dan anakanaknya yang terkadang terkesan ingin menguasai seluruh harta tanpa memperhatikan hak isteri kedua dan anak-anaknya secara adil. Hal itu menunjukkan bahwa ahli waris dari pihak isteri kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak untuk menuntut bagiannya dalam porsi warisan, dan tidak memiliki kesempatan untuk ikut serta dalam musyawarah pembagian hak masing-masing ahli waris, mereka hanya menerima dan pasrah terhadap apa yang telah ditetapkan oleh pihak ahli waris dari isteri pertama. Dalam prakteknya, masalah warisan pada perkawinan poligami sirrî dilakukan sesuai dengan ketentuan pembagian warisan dalam kitab-kitab ulama Fikih atau farâid dengan dibantu oleh ulama setempat. Namun terjadi juga sebuah praktek pembagian warisan dalam perkawinan poligami sirrî tanpa melibatkan ulama setempat dan dilakukan secara internal kekeluargaan, dalam hal ini pembagian dilakukan sesuai keputusan pemegang kekuasaan dalam kesepakatan keluarga yang biasanya diambil alih oleh ahli waris dari isteri pertama, namun penggunaan ketentuan farâid masih dilakukan walaupun tidak secara keseluruhan. 2. Ditinjau dari teori gender menurut feminisme Islam menunjukkan bahwa praktik pembagian warisan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka 151

169 152 tidak semuanya mencerminkan dan sejalan dengan konsep keadilan yang dimaksud oleh feminisme Islam. Pembagian yang dilakukan dengan menggunakan ketentuan farâid sangat bertolak belakang dengan konsep keadilan menurut kaum feminis muslim. Mengingat arti dari keadilan menurut feminisme Islam adalah sama rata pada perolehan hak warisan antara laki-laki dan perempuan dengan beberapa alasan yang sesuai dengan keadaan masa kini dimana keadilan harus bersifat distributif proporsional. Namun beberapa praktek yang dilakukan diluar ketentuan farâid sejalan dengan konsep keadilan feminisme Islam tersebut, diantaranya porsi sama rata terhadap anak-anak dari isteri kedua antara laki-laki dan perempuan, kemudian pembagian sama rata antara anak laki-laki dan perempuan baik dari isteri pertama maupun isteri kedua. Sedangkan kasus pembagian 1/8 yang dibagikan kepada isteri masing mendapatkan porsi yang sama merupakan sebuah tindakan mencerminkan keadilan bagi semua isteri, walaupun sebenarnya kasus itu tidak termasuk dalam kategori pembahasan keadilan gender karena bias gender yang dimaksud dalam feminisme Islam tentang warisan adalah pembagian terhadap anak lakilaki dan perempuan. 3. Perspektif teori maqâsid al-syarîʻah menurut al-syâṯibî menunjukkan bahwa praktik pembagian warisan poligami sirrî yang terjadi di desa Sindanglaka tidak semuanya menghasilkan kemaslahatan dan tidak semuanya sesuai dengan ketentuan hukum farâid. Praktek-praktek yang tidak sesuai dengan ketentuan farâid tentu saja tidak tampak di dalamnya perlindungan terhadap lima unsur pokok dalam maqâsid al-syarî ah karena merupakan tindakan merubah ketentuan Allah Swt dalam hukum warisan, maslahat yang ingin dicapai pun tidak terlihat karena tentu saja mengambil bagian yang tidak ditentukan merupakan tindakan memakan hak orang lain. Sedangkan pembagian warisan yang sejalan dengan maqâsid al-syarî ah lebih didominasi perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl) dari pada perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl), akan tetapi keduanya tidak ada yang menempati peringkat darûriyyât (primer), melainkan semua berada pada tingkatan hâjiyyât (sekunder) atau tahsîniyyât (tersier) karena pada dasarnya penggunaan ketentuan farâid jelas

170 153 memiliki kemaslahatan karena sesuai dengan ketentuan hukum Allah Swt dalam masalah warisan yang tidak mungkin meleset dari prinsip keadilan dan kemaslahatan. Kemudian tampak juga adanya perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn), karena melaksanakan ketentuan Allah Swt dalam pembagian warisan merupakan simbol ketundukkan seorang hamba terhadap Tuhannya. Sehingga dengannya, eksistensi hukum agama dalam masalah warisan tetap terjaga. Maqâsid al-syarîʻah dalam ranah perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn) ini masuk dalam tingkat hâjiyyât (sekunder). B. Saran Beberapa saran yang ingin penulis sampaikan berkaitan dengan seluruh pembahasan dalam penelitian ini antara lain adalah: 1. Saran Teoretis: Kepada calon peneliti berikutnya untuk mengkaji lebih luas lagi seputar pembahasan mengenai pembagian warisan pada perkawinan poligami sirrî di beberapa daerah lain di Indonesia, baik ditinjau dari perspektif gender dan maqâsid al-syarî ah maupun dari perspektif lainnya yang berkaitan dengan permasalahan warisan di Indonesia. Fenomena yang terjadi di tempat penelitian dalam pembahasan disini bisa saja memiliki kemiripan dengan tempat dan daerah lainnya yang ada di Indonesia. Sehingga dapat dipelajari tentang hukum dan pelaksanaan pembagian warisan yang hidup di tengah warga masyarakat Indonesia. 2. Saran Praktis: Pemerintah harus mengupayakan adanya sosialisasi secara berkala kepada masyarakat tentang pentingnya mengacu kepada Undang-Undang dalam segala hal khususnya di bidang waris dan pencatatan perkawinan. Sehingga harapan tentang adanya hukum Nasional sebagai lex specialis dalam masalah warisan di Indonesia dapat terwujud dan masyarakat sadar untuk patuh dan tunduk terhadap Undang-Undang tersebut. Kemudian Undang-Undang yang akan dirancang pun agar tetap mempertimbangkan beberapa acuan hukum waris yang hidup di masyarakat Indonesia seperti hukum waris Islam/farâid dan hukum waris adat yang sesuai dengan maqâsid al-syarîʻah dan tetap

171 154 memperhatikan sisi keadilan. Sehingga keberagaman acaun hukum waris yang ada akan mengacu kepada Undang-Undang tersebut dan sengketa-sengketa yang terjadi dapat terselesaikan melalui jalur hukum yang kuat dan mengikat. Kemudian perlu adanya sosialisasi yang lebih penting lagi kepada masyarakat khususnya di daerah pedesaan yaitu tentang pentingnya mencatatkan perkawinan agar mendapatkan kekuatan hukum dan mempermudah dalam segala urusan administrasi juga dalam masalah pembagian harta warisan yang sah secara hukum baik menurut agama maupun Negara.

172 DAFTAR PUSTAKA Al-Qur an: Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Sygma Axamedia Arkanleema, t.t. Buku: Abd. al-hâdî Fâʻûr, Muhammad, al-maqâsid inda al-syâṯibî, Seeda-Lebanon: Bisyuni, 2006 Adiprasetio, Justito, Sejarah Poligami (Analisis Wacana Foucauldian Atas Poligami di Jawa), Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015 Ahnan, M. & Ummu Khoiroh, Poligami di Mata Islam, Surabaya: Putra Pelajar, 2001 Alam, Syaiful, Sejarah Penindasan Perempuan; Menggugat Islam Laki-laki, Menggugat Perempuan Baru, Yogyakarta: IRCiSod, Cet. Ke-1, 2003 Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005 Âmidî (al), al-ihkâm fi Usûl al-ahkâm IV, Beirut: Muassasah al-halaby, 1991 Amin, Qasim, A Document in the Early debate of Egyption feminist, Egypt: Kairo Pers, 1995 Anshari, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2005 Audah, Jaser, Al-Maqâsid Untuk Pemula, terj. Ali Abdelmon im, Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga Azis, Asmaeny, Feminisme Profetik, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007 Bashin, Kamla, Memahami Gender, alih bahasa Hendra Teguh dan Rony A. Rusli, Jakarta: Teplok Press, 2003 Baidhawi, Ahmad, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam Al-Qur an dan tafsir kontempoer), Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia,

173 156 Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqâsid Syariʻah Menurut al-syâtibî, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. Ke 1, 1996 Bannâ (al), Jamâl, Nahwa Fiqih Jadîd, Kairo: Dar al-fikr al-islamiy, 1997 Basa, Mansur Dt. Nagari, Hukum Adat Waris Tanah dan Peradilan Agama (Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau), Padang: Sri Dharma, 1968 Bryson, Valerie, Feminist Political Theory: an Introduction, London: Mcmilan, t.th Bûtî (al), Muhammad Sa id Ramadan, Al-Mar ah Bayna Tugyân al-garbî Wa Latâif al-tasyrîʻi al-islâmî, Beirut: Dâr Al-Fikr, t.th, Dawâbit al-maslahah fî al-syarîʻah al-islâmiyyah, Damaskus: Mu assasah al-risalah, 1973 Cammack, Mark, Marital Property in California and Indonesia: Community Property and Harta Bersama, 64 WASH. LEE L. REV, 2007 Dahlan, Abdul Aziz et. al (ed), Ensiklopedi Hukum Islam 4, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001 Darajat, Zakiah, Islam dan Peranan Wanita, Jakarta: Bulan Bintang, 1996 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2007 Dhofier, Zamaksyari, Tradisi Pesantren: Study Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1985 Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Bag. I, Jakarta: Logos, 1999 Dzuhayatin, Siti Ruhaini, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002 Engineer, Asghar Ali, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Cet. I, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994

174 157, The Qur an Women and Modern Society. Terj. Agus Nuryanto, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta: LKIS, 2003, Cet. ke-1 Faiqoh, Nyai Agen Perubahan di Pesantren, Jakarta: Pen. Kucica, 2003 Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Trasformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013 F. Mas udi, Masdar, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan, 1997 Gandhi, Mahatma, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Gazâlî (al), Abu Hâmid Muhammad, al-mustasfâ min Ilm al-usûl, Beirut: Dâr al- Kutub al- Ilmiyyah, 1980 Gusmian, Islah, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, Jogjakarta: Pustaka Marwa, 2007 Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1980 Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996 Haq, Hamka, al-syâṯibî, Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al- Muwâfaqât, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007 Hum, Maggie, Ensiklopedia Feminisme, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002 Husain Jauhar, Ahmad al-mursi, Maqâsid Syariʻah, Jakarta: Amzah, 2009 Husaini, Adian, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. Ke-1, 2009, Wajah Peradaban Barat, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. Ke-4, 2016, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004 Ibn Âsyûr, Muhammad Tâhir, Maqâsid al-syarîʻah al-islâmiyyah, Yordania: Dâr al-nafais, 2001

175 158 Irianto, Sulistyowati, Pluralisme Hukum Waris dan Keadilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016, Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum Yang Berperspektif Keadilan dan Kesetaraan, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2006 Ismail, Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1992 Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013 Kusumaatmaja, Mochtar, Fungsi dan Pekembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Jakarta: Bina Cipta, 2010 L Berger, Peter, The Social Contruction of Reality, NY: Doubleday, 1996 Lev S, Daniel, Judicial Unification in Post Colonial Indonesia dalam Daniel Lev S, Legal Evolution and Polotical Authrotiy in Indonesia. Selected Essay, The Hague: Kluwer Law International, 2000 Lowy, Michael, Teologi Pembebasan; Kritik Marxisme dan Marxisme Kritis, Yogyakarta: Insist Press, Cet. Ke-2, 2013 Lubis, Akhyar Yusuf, Pemikiran Kritis Kontemporer: dari Teori Kritis Hingga Multikulturalisme, Jakarta: Rajawali Press, 2015 Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994 Mahmashani, Shubhi, Falsafah al-tasyrîʻ fî al-islâm, De-hi: Internasional Islamic Publisherrs, 1989 Mahmud Marzuki, Peter, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada Media Grub, 2008 Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008 Manzûr, Ibn, Lisân al-ʻarab, Mesir: Dâr al-maʽârif, t.th Marînî (al), al-jîlânî, al-qawâʻid al-usûliyyah inda al-syâṯibî, Kairo: Dar ibn affân, 2002

176 159 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994 Maudûdiî (al), Abu al-a la, Al-Hijâb, Damaskus: Dar al-fikr, 1964 Moeloleng, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Ramaja Rosdakarya, 1993 Muhammad bin Muhammad Makhlûf, Syajarât al-nûr al-zakiyyah, Beirut: Dâr al-kutub al- Arabiyyah, t.th Muhammad, Bushar, Asas-Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Jakarta: Pradya Paramita, 2003 Muhammad, Husein, Islam Agama Ramah Perempuan (Pembelaan Kiai Pesantren), Yogyakarta: LKIS, 2004 Muhsin, Amina Wadud, Qur an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terj. Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, 2001 Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008 Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 Mursyid, Hasbullah, Menelusuri Faktor Sosial yang Mungkin Berpengaruh dalam Muh. Wahyuni Nafis Kontekstualisasi Ajaran Islam (70 th Prof. Munawir Syadzali), Jakarta: Paramadina dan IPHI, 1995 Muslikhati, Siti, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004 Nasâ î (al), Ahmad bin Syu aib, Sunan al-nasâ î, Beirut: Dar al-kutub al- Ilmiyyah, Jilid 4, 1971 Nasution, Syukri Albani, dkk, Hukum dalam Pendekatan Filsafat, Jakarta: Prenada Media, 2017 Nasution, Khoiruddin, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

177 160 Noor, Juliansyah, Metodologi Penelitian, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011 Nugroho, Riant, Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2008 Putnam, Tong, Rosemarie, Feminist Thought: Pengantar paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Yogyakarta : Jalasutra, 1998 Qarâfî (al), Syarh Tanqîh al-fusûl, Mesir: Maktabah al-kulliyyah al-azhariyyah, t.th Qazwînî (al), Muhammad bin Yazîd, Sunan Ibnu Mâjah, Beirut: Dar al-kutub al- Ilmiyyah, Jilid 3, 1971 Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996 Raisûnî (al), Ahmad, Nazariyyât al-maqâsid inda al-syâṯibî, Herndon-Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1995 Raisûnî (al), Ahmad dan Muhammad Jamal Bârût, al-ijtihâd: al-nas, al-wâqiʻ, al-maslahah, Beirut: Dar al-fikr al-mu âsir, 2000 Ramazanoglu, Caroline, Feminism and Contradiction, London: Routledge, 1989 Sabûniî (al), Muhammad Ali, Ilmu Hukum Waris, Jakarta: Gema Insani, 1995, Muhammad Alî, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, terjemah. Addys Aldizar, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 S. Anshari, Dadang, ed. Dkk, Membincangkan Feminis (refleksi muslimah atas peran sosial seorang wanita), Bandung: Pustaka Hidayah, 1997 Shihab, M. Quraish, Perempuan, dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut ah, Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru, Jakarta: Lentera Hati, 2007, Wawasan Al-qurʻan, Bandung: Mizan, 1997

178 161 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990 Subhan, Arief dkk, Citra Perempuan dalam Islam Pandangan Ormas Keagamaan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003 Sugangga, I.G.N., Hukum Waris Adat, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995 Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, &BW, Bandung: PT Refika Aditama, 2007 Syahrur, Muhamad, Nahwu Usûl Jadîdah li al-fiqh al-islâmî: Fiqh al-mar ah, Damaskus: al-ahlî li al-tibâʻah wa al-nasyr wa al-tauzîʻ, 2000 Syalabî, Muhammad Mustafâ, Taʻlîl al-ahkâm, Beirut: Dar al-nahdah al- Arabiyyah, 1981 Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, Cet. Ke. 5, 2008, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004 Syâṯibî (al), Ibrâhîm ibn Mûsâ, al-muwâfaqât fî Usûl al-syarîʻah, Jild II, Mesir: Al-Maktabah al-tijariyah al-kubra: 1975, Al-ʻItisâm, Beirut: Dar al-ma rifah, 1975 Juz 2, Fatawâ al-syâṯibî, ed. Abû al-ajfân, Tunisia: al-wardiyyah, 1985 Tabarânî (al), Sulaiman bin Ahmad, al-muʻjam al-kabîr, Beirut: Dar al-kutub al Ilmiyyah, Jilid 5, 1971 Tabarî (al), Jâmiʻ al-bayân fî Ahkâm al-qur ân, Beirut: Muassasah Al-Risâlah, Jilid 19, 2000

179 162 Tanbakatî (al), Ahmad Bâbâ, Nail al-ibtihâj bi Tatrîz al-dîbâj, Tripoly: Kulliyat al-da wah al-islamiyyah, 1989 Thalib, Muhammad, Gerakan Kesetaraan Gender Menghancurkan Peradaban, Yogyakarta: Kafilah Media, Cet. Ke-1, 2005 Ubaidî (al), Hammâdi, al-syâṯibî wa Maqâsid al-syarîʻah, Beirut: Dâr Qutaibah, 1992 Umar, Nassaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspekif Al-Qur an, Jakarta: Paramadina, 2001 Uwaidah, Kâmil Muhammad, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2007 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta: Gema Insani Press, 1997 Wahyudi, Yudian, Maqasyid Syariʻah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Nawesea Press: Center for the Study of Islam in Nort America, Western Europe and Southeast Asia Press, 2014 Yanggo, Huzaemah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010 Yasin Asyʻari, Ahmad, Anis Tyas Kuncoro, Fiqh Maqashid, Semarang: Sultan Agung Press, 2014 Yayasan Jurnal Perempuan, Menggalang Perubahan. Perlunya Perspektif Gender dalam Otonomi Daerah, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004 Yazid, Muhammad Abduh, Al-Manâhij Al-Hadîtsah fî Al-Mabâhits Al- Mîrâtsiyyah, Cianjur: al-markaz al-dauly lil Ulûm Al-Islâmiyah bi Ma had al-barakah, 2010 Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009

180 163 Jurnal dan Karya Ilmiah: Akass, Nadia, Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaa Pembagian Harta Warisan dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224/K/AG/2011), Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012 Asuan, Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Harta Waris Pada Perkawinan Poligami Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Palembang: E-Jurnal Hukum Unpal Vol. 7, No. 1 Januari, 2015 Azizah, Siti, Pembagian Waris Masyarakat Betawi Ditinjau dari Hukum Islam (Studi Pada Masyarakat Kelurahan Lebak Bulus Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan), Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2009 Ghofur, Abd., Pendekatan Feminis dalam Kajian Islam, Samarinda: Jurnal al- Tatwir, Vol. 2, No. 1, Oktober 2015 Harun, Pemikiran Najmuddin Tufi Tentang Konsep Maslahah Sebagai Teori Istinbat Hukum Islam, Semarang: Jurnal ISYROQI, Vol. 5, No. 1, 2009 Helmi, Muhammad, Konsep Keadilan dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum Islam, Samarinda: Jurnal Mazahib, Vol. XIV, No. 2, Desember 2015 Hidayatullah, Muhib, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pendekatan Gender dalam Pembagian Warisan (Studi Atas Pemikiran Siti Musdah Mulia), Yogyakarta: Fakultas Syari ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2011 Lum atus Sa adah, Sri, Maqashid al-syariʻah dalam Hukum Kewarisan Islam, Jember: Jurnal Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 Megawangi, Ratna, Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang serta Kaitannya dengan Pemikiran Keislaman, Yogyakarta: Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Edisi ke-1, 1996

181 164 Mukhtar, Zamzami, Kajian Hukum Terhadap Kedudukan dan Hak Perempuan Sebagai Ahli Waris dalam Sistem Kewarisan Indonesia, dikaitkan dengan Azas Keadilan dalam Rangka Menuju Pembangunan Hukum Kewarisan Nasional, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Padjajaran Bandung, 2012 Rijkova, Dandia Magna, Agung Basuki Prasetyo, Sukirno, Perkembangan Praktik Pembagian Warisan Menurut Hukum Waris Adat Betawi, Semarang: Diponegoro Law Jurnal: Vol. 5, No. 3, 2016 Dewani Romli, Poligami dalam Persfektif Gender, Lampung: Jurnal Al-Adyan, Vol. V, No. 1, 2010 Sugianto, Bambang, Kedudukan Ahli Waris Pada Perkawinan Poligami, Palembang: Jurnal Al Adl, Volume IX Nomor 2, Agustus 2017 Sundalangi, Yofriko, Hak Waris Istri Kedua dari Perkawinan Poligami Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Nomor 253/Pdt.g/2012/Pn.Mks), Makassar: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2014 Zuliantika, Ananda, Pembagian Hak Waris Pada Perkawinan Poligami dalam Masyarakat Adat Minangkabau Kecamatan Matur Kabupaten Agam, Riau: Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau, Volume V, No. 1, April 2018 Undang-Undang: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2010 Republik Indonesia, Undang-Undang R.I. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1990, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbra, 2007

182 165 R, Subekti dan R, Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan tambahan Undang-Undang pokok agrarian dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. Ke-31, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001 Sumber Wawancara: Wawancara dengan bapak Ust. Jamil Munawwir salah satu tokoh agama di Desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 3 Maret 2020 Wawancara dengan bapak Ust. Asep salah satu tokoh agama di Desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal 4 Maret 2020 Wawancara dengan bapak Asep, S.Ag, M.H selaku Pembina Tingkat I/ Hakim Madya Muda pada tanggal 27 Februari 2020 di Pengadilan Agama Kelas 1B Cianjur Jawa Barat Wawancara dengan bapak Ust. Fery Nur El Firdaus, S.Ag. salah satu tokoh agama di desa Bayubud Cianjur pada tanggal 28 Februari 2020 Wawancara dengan bapak Hendra, Sekretaris Desa Sindanglaka di Kantor Desa Sindanglaka pada tanggal 2 Maret 2020 Wawancara dengan bapak Iwan Sihabudin Sofwani, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Karang Tengah pada tanggal 2 Maret 2020 Wawancara dengan beberapa amil desa di Kecamatan Karang Tengah Cianjur pada tanggal 6 Maret 2020 Wawancara dengan beberapa responden dari masyarakat di Desa Sindanglaka Cianjur pada tanggal Maret 2020 Sumber Online dan Lainnya: Pemerintah Kabupaten Cianjur, Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daftar Isian Potensi Desa, Cianjur: 2017 Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cianjur dalam Angka (Cianjur Regency in Figur),

183 166 dan-rt-setiap-kecamtan-2015.html

184 LAMPIRAN

185

186

187

188

189

190

191

192

193

194 LAMPIRAN

195 PEDOMAN WAWANCARA 1. Tuliskan biodata informan/responden (nama, jabatan, tempat, waktu, pukul). 2. Apakah keluarga Bapak/Ibu melakukan Poligami secara sirri? 3. Apa tujuan keluarga Bapak/Ibu melakukan poligami? 4. Apa alasan keluarga Bapak/Ibu melakukan perkawinan poligami secara sirri? 5. Apa dampak yang keluarga Bapak/Ibu rasakan atas perkawinan sirri yang dilakukan? 6. Apakah keluarga Bapak/ibu mempertimbangkan perihal warisan setelah melakukan poligami secara sirri? 7. Apa yang Bapak/Ibu ketahui mengenai hukum waris? 8. Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut Agama? 9. Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut hukum positif? 10. Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut adat? 11. Dari ketiga jenis hukum waris, apa yang keluarga Bapak gunakan? 12. Kenapa keluarga bapak menggunakan hukum waris tersebut? Apakah atas hasil musyawarah seluruh ahli waris atau pemilik harta waris? 13. Kapan pembagian warisan diberikan kepada ahli waris? 14. Bagaimana cara pembagian waris terhadap ahli waris? 15. Apa alasan keluarga Bapak mengikutsertakan ahli hukum atau ahli agama dalam pembagian waris? 16. Kesulitan dan kemudahan yang keluarga bapak rasakan ketika melakukan hukum waris tersebut? 17. Adakah perbedaan antara pembagian waris pada masing-masing ahli waris? 18. Jika ada perbedaan, apakah ahli waris merasa adil dan menerima bagian dari pembagian warisan? 19. Bagaimana pendapat keluarga Bapak atas praktek pembagian waris yang dilakukan tanpa mengikuti hukum agama dan hukum positif yang berlaku?

196 HASIL WAWANCARA Nama : Hendra Jabatan : Sekretaris Desa Sindanglaka Kecamatan Karang Tengah Tempat : Kantor Desa Sindanglaka Kecamatan Karang Tengah Waktu : 2 Maret 2020 Pukul : WIB 1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan poligami secara sirri? Poligami tersebut adalah dimana sepasang suami isteri ketika si suami menikah lagi dan memiliki isteri lebih dari satu oarang dan tidak dicatatkan oleh Kantor Urusan Agama karena dilakukan dibawah tangan. 2. Menurut bapak bagaimana perkawinan poligami tersebut, sah atau tidak? Perkawinan poligami seperti itu sah apabila dilakukan dengan syarat dan ketentuan aturan yang benar misalnya adanya wali dan saksi sesuai peraturan yang ada di kitab-kitab fikih, terlebih sudah ada dalam al-qur an surat al- Nisa : Nikahilah olehmu wanita yang kamu senangi satu, dua, tiga, empat apabila kamu bisa berlaku adil, dan apabila kamu tidak dapat berlaku adil maka nikahilah satu saja itu jauh lebih baik. Namun tentu saja tidak sah dalam kacamat pemerintah karena tidak tercatat dan belum tentu mendapatkan persetujuan dari isteri pertama. 3. Bagaimana kedudukan perkawinan poligami jika dilakukan secara sirri dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Menurut hukum Islam perkawinan poligami itu sah apabila dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan sesuai dengan persyaratan yang lainnya, sedangkan menurut hukum positif tidak sah apabila tidak mendapatkan izin dari isteri, terutama bagi para PNS yang harus memenuhi berbagai macam persyaratan dari Pengadilan Agama.

197 4. Mengapa masih ada sebagian orang yang melakukan perkawinan poligami secara sirri, faktor apa yang melatarbelakangi mereka sehingga melakukan perkawinan poligami tersebut? Kebanyakan dari mereka para suami merasa bahwa isteri sudah tidak lagi memperhatikan suami, merasa kurang puas dalam urusan sahwat, dan mereka ingin tidak hanya banyak anak tetapi banyak isteri sehingga rezeki dari manapun datang, sehingga beranggapan banyak anak dan isteri banyak rezeki pula. 5. Apakah masyarakat mempertimbangkan perihal warisan setelah melakukan poligami secara sirri? Kebanyakan dari masyarakat yang berada di desa Sindanglaka yang melakukan poligami secara sirri pasti mempertimbangkan masalah waris ketika nanti ia meninggal, namun sebagian tidak ada yang mengetahui kalau poligami secara sirri berdampak pada masalah waris di kemudian hari jika perkawinannya tidak dicatat. 6. Pernahkah dari pihak desa mensosialisasikan tentang pentingnnya perkawinan yang sesuai dengan Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang mengharuskan untuk dicatat kemudian tentang KHI untuk permasalahan waris dalam poligami tersebut? Belum pernah, tetapi jika kasus tersebut justru menimbulkan banyak sengketa maka kami sangat perlu dalam mengadakan pemahaman dalam urusan perkawinan dan kewarisan yang sesuai dalam peraturan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 7. Hukum apakah yang digunakan masyarakat dalam pembagian waris pada perkawinan poligami? Kebanyakan masyarakat desa menyerahkan sepenuhnya kepada ulama setempat dalam masalah pembagian waris. 8. Bagaimana pandangan bapak tentang keluarga yang melakukan perkawinan poligami secara sirri dan pembagian harta warisnya?

198 Perkawinan poligami bisa dibilang perkawinan yang membuat diri si suami itu susah sendiri bahkan pusing sendiri yaitu dengan mengurus isteri lebih dari satu dan membagi waktunya secara adil tetapi itu semua balik lagi dari kesiapan si suami agar dapat belaku adil dan yang terpenting seorang isteri memberikan perhatiannya kepada suami tidak berkurang. Kemudian soal harta waris, jika menurut hukum Negara maka poligami yang sirri itu jelas akan menjadi penghalang bagi ahli waris karena perkawinannya tidak tercatat, namun untuk di desa Sindanglaka karena urusan waris tidak diserahkan ke Pengadilan Agama tetapi kepada Ulama, maka semua ahli waris akan mendapatkan haknya dalam porsi waris. 9. Apakah bapak tahu Undang-Undang yang mengatur tentang waris dalam perkawinan poligami? iya tahu, hanya sepintas sekedar tahu mengenai perkawinan poligami yang sudah diatur dengan berbagai syarat yang ada didalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, dan mengenai harta waris dalam poligami dalam Kompilasi Hukum Islam. 10. Apakah masyarakat tahu tentang peraturan tersebut? Masyarakat yang berada di Desa Sindanglaka Kec. Karang Tengah bervariasi ada yang mengetahui peraturan tersebut dan ada juga yang tidak mengetahui sama sekali. Cianjur, 2 Maret 2020 (.)

199 HASIL WAWANCARA Nama : Hidayat Jabatan : Amil Desa Sindanglaka Tempat : Kantor Desa Sindanglaka Kecamatan Karang Tengah Waktu : 6 Maret 2020 Pukul : WIB 1. Apakah bapak tahu tentang Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang mengatur tentang poligami? Menurut saya mengenai peraturan didalam Undang-undang Perkawinan poligami yang saya ketaui sedikit yaitu apabila isteri tidak bisa mempunyai anak atau keturunan dikarenakan sakit maka dibolehkan suami untuk menikah lagi atau berpoligami. 2. Apakah bapak tahu dampak dari perkawinan poligami secara sirri? Dampaknya akan dirasakan oleh isteri keduanya dikarenakan harus mengalah dalam pembagian jatah waktu atau bisa dibilang mengutamakan isteri pertamanya terlebih dahulu, kalaupun dari masing-masing pasangan yang melakukan poligami tersebut tidak benar-benar ikhlas tergantung para pelaku ini mengatasinya. 3. Menurut bapak apakah masyarakat mempertimbangkan perihal warisan setelah melakukan poligami secara sirri? Kebanyakan dari masyarakat yang berada di desa Sindanglaka tidak mengetahui kalau poligami secara sirri berdampak pada masalah waris di kemudian hari jika perkawinannya tidak dicatat. Karena yang mereka ketahui bahwa pembagian waris sangat mudah prosesnya jika dilakukan oleh kalangan ulama setempat. 4. Bagaimana bapak selaku amil desa menerjemahkan konsep waris dalam perkawinan poligami dan cara penyelesaiannya?

200 Sepengetahuan saya, masalah pembagian waris di Sindanglaka pada umumnya dilaksanakan oleh ulama lokal setempat, tetapi ada juga sebagian yang dilaksanakan di Pengadilan Agama. 5. Bagaimana masyarakat menyelesaikan perkara waris dalam perkawinan poligami yang dilakukan secara sirri? Kebanyakan dari warga kami ada yang minta pertolongan kepada para kyai, dan kemudian para kyai menjelaskan masalah waris dengan ilmu Faraidh. Tetapi ada juga yang membagi berdasarkan kesepakatan antara para ahli waris sendiri tanpa meminta bantuan kepada kyai. Seandainya terjadi perselisihan maka tentu ada yang membawa perkara ke Pengadilan Agama. 6. Apakah masyarakat tahu Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tentang waris dalam perkawinan poligami? Kebanyakan dari masyarakat tidak mengetahui Undang undang tersebut, walaupun sebagian dari meraka ada yang mengetahui Undang-undang tersebut. 7. Apakah ada cara lain yang dilakukan masyarakat yang melakukan pembagian waris poligami itu? Sejak saya bertugas, kebiasaan masyarakat disini adalah berkoordinasi dengan ulama setempat. Bila permasalahannya cukup mudah, tidak ada sengketa, bisa dianggap selesai dihadapan para alim ulama, cara yang kedua, mengenai cara pembagian waris, ada yang mungkin mengikuti fatwa MUI sedemikian rupa sesuai aturan agama, namun ada sebagian keluarga yang membagi waris dengan cara dibagi rata, disamakan antara laki-laki dan perempuan dan tudak susai Faraidh. Cianjur, 6 Maret 2020 (.)

201 HASIL WAWANCARA Nama : Iwan Sihabudin Sofwani Jabatan : Kepala KUA Kecamatan Karang Tengah Tempat : Kantor Urusan Agama Kec. Karang Tengah Waktu : 2 Maret 2020 Pukul : WIB 1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan pembagian waris dalam poligami yang dilakukan secara sirri? Poligami adalah dimana sepasang suami isteri ketika si suami menikah lagi dan memiliki isteri lebih dari satu oarang dan dilakukan tanpa dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan. Kalau untuk pembagian warisnya itu tentu saja memiliki kendala yang sangat sulit karena berhubungan dengan administrasi yang tidak dilakukan dengan sempurna pada awal menikah, berbeda jika perkawinan tersebut dicatat. 2. Menurut bapak bagaimana perkawinan poligami model seperti itu, sah atau tidak? Jika kita merujuk kepada kitab-kitab kuning tentu saja perkawinan poligami semacam itu sah, karena tidak ada di dalam kitab-kitab tersebut syarat perkawinan harus dicatat. 3. Bagaimana kedudukan perkawinan poligami sirri dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Menurut hukum Islam perkawinan poligami itu sah apabila dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan sesuai dengan persyaratan yang lainnya, sedangkan menurut hukum positif tidak sah apabila tidak mendapatkan izin dari isteri, terutama bagi para PNS yang harus memenuhi berbagai macam persyaratan dari Pengadian Agama. 4. Menurut bapak apakah masyarakat mempertimbangkan perihal warisan setelah melakukan poligami secara sirri?

202 Masyarakat ada yang tidak mengetahui kalau poligami secara sirri berdampak pada masalah waris di kemudian hari jika perkawinannya tidak dicatat. Karena yang mereka ketahui bahwa pembagian waris sangat mudah prosesnya jika dilakukan oleh kalangan ulama setempat. Ada juga yang mengetahui bahwa hal itu berdampak pada masalah pembagian waris. 5. Bagaimana masyarakat menyelesaikan perkara waris dalam perkawinan poligami yang dilakukan secara sirri? Saya melihat kenyataan yang saya alami, baik di kecamatan Karang Tengah atau daerah lainnya di kabupaten Cianjur. Pertama rujukan utamanya tetap para ulama. Hal kedua, referensinya adalah tetap kitab kuning. Adapun harta waris, kebanyakan adalah berupa tanah. 6. Mengapa masyarakat tidak pergi ke pengadilan untuk penyelesaian masalah waris dalam hal ini? Karena alasan biaya yang tinggi dan juga pengetahuan orang yang terbatas. Mereka hanya ingin penyelesaian perkara yang cepat, mudah dan murah. Terbukti selama ini tidak ada masalah dengan pembagian waris melalui jalur informal di kantor PPAT. 7. Apakah ada alasan atau sebab lain mengapa jumlah penyelesaian waris poligami di Pengadilan Agama sangat sedikit? Saya pikir hal tersebut disebabkan karena kurangnya sosialisasi dari Pengadilan Agama. Kalau ada sosialisasi yang cukup kepada masyarakat tentang pentingnya peran mereka dalam waris, pasti masyarakat juga paham. Tapi kadang masyarakat terlalu percaya kepada gosip. Bila ada yang bilang harus bayar mahal, belum dicek ke pengadilan, mereka udah langsung percaya saja. Padahal bila ada sosialisasi yang cukup, walaupun ada biaya yang harus dibayar mereka akan lakukan juga., sama seperti nikah dan cerai. 8. Apakah alasan masyarakat lebih suka pergi ke Ulama dalam penyelesaian perkara waris? Warga masyarakat lebih suka pergi ke ulama bila berhadapan dengan kasus waris, karena para Ulama itu bersedia membantu karena Allah dan sifatnya

203 sukarela. Akan tetapi bila ke Pengadilan Agama diminta biaya administrasi dan lain-lain, juga ada biaya udzur 10%. Itu yang jadi kendala utamanya. 9. Bagaimana jika berkaitan dengan praktik jual beli lahan/sawah yang membutuhkan surat penetapan ahli waris dari pengadilan sebagai salah satu persyaratan yang diminta oleh pembeli? Dalam hal ini tentu penyelesaian di ulama itu tidak diakui keberadaannya, ibarat kawin sirri, karena jika terjadi sengketa atau masalah jual beli, biasanya yang diminta adalah akta penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama. Biasanya pembeli pada umumnya orang Jakarta, dan akan bertanya: mana surat penetapan ahli waris dari pengadilan?. Jadi tidak cukup kalau dengan surat kesepakatan ahli waris yang dibuat di hadapan ulama. 10. Menurut bapak apakah ada solusi untuk masalah seperti ini? Solusi yang tepat menurut saya, agar sistem penyelesaian informal bisa diakui untuk kemudian digabungkan dengan penyelesaian formal. Konkretnya, fatwa waris yang sudah dikeluarkan oleh MUI bisa dilegalisasi di Pengadilan Agama sehingga bisa menjadi dokumen yang sah dan nantinya bisa digunakan sebagai kelengkapan sah dalam proses jual beli. Cianjur, 2 Maret 2020 (.)

204 HASIL WAWANCARA Nama : Ustadz Jamil Munawwir Jabatan : Tokoh Ulama Desa Sindanglaka, Pimpinan Pon-Pes Tanwiriyyah Tempat : Kediaman Ustadz Jamil Waktu : 3 Maret 2020 Pukul : WIB 1. Bagaimana pendapat bapak mengenai pembagian waris dalam perkawinan poligami secara sirri? Hal demikian tentu tergantung hukum apa yang digunakan dalam pembagian waris tersebut, jika menggunakan Hukum Positif maka para janda tentu akan mendapatkan hak gono-gini, jika menggunakan Hukum Faraidh, maka tidak ada yang namanya harta gono-gini. 2. Menurut bapak bagaimana perkawinan poligami sirri, sah atau tidak? Ya kalau ditanya mengenai sah atau tidaknya jelas sah menurut hukum fikih jika syarat-syarat sudah terpenuhi, namun menurut hukum positif tidak sah karena tidak tercatat, maka hal itu sesungguhnya melanggar hukum atau aturan yang ada dan tentu akan berdampak terhadap pembagian waris dikemudian hari. 3. Menurut bapak ada berapa hukum waris dalam poligami yang berlaku di kalangan umat Islam di desa Sindanglaka dan Cianjur pada umunya? Hukum waris yang berlaku di kalangan umat Islam di Cianjur pada umumnya dan di desa Sindanglaka pada khususnya ada empat (4) yaitu; pertama berdasarkan syari'at Islam yaitu farâid, kedua Qânûn al-wârits wa al- Wâritsah al-misriyyah atau disebut Qânûn sebagai pelengkap dari hukum syari'at Islam, ketiga hukum perdata Barat BW, dan keempat hukum adat dalam hal ini adat Sunda. 4. Jika ada hukum adat, maka apakah pengaruh adat dalam pembagian waris dalam poligami?

205 Salah satu contoh pengaruh adat dalam hal pembagian waris adalah adanya kecenderungan untuk membagikan harta secara sama rata antara anak laki-laki dan perempuan. Begitu juga hal yang sama terjadi dalam pembagian waris pada perkawinan poligami. Pengaruh adat Sunda lainnya dalam hal pembagian waris adalah diperhitungkannya harta tumpang kaya, harta seharkat atau gono gini (marital property) antara suami dan istri sebelum waris dibagikan. Sementara dalam pengaturan waris menurut hukum Islam tidak dikenal pembagian gono gini atas harta warisan. 5. Apakah yang dimaksud dengan Qânûn al-wârits wa al-wâritsah al- Misriyyah atau disebut Qânûn sebagai pelengkap dari hukum syari'at Islam? Waris merupakan masalah yang kompleks karena terkait dengan hibah dan wasiat, sehingga pemecahan permasalahan nya tidak cukup hanya dengan satu aturan hukum saja, Oleh karena itu diperlukan gabungan dari tiga aturan hukum yaitu syari'at Islam, adat dan Qânûn. Itulah terakhir yang saya praktikkan. Pembagian waris didasarkan pada gabungan antara hukum Islam, adat dan Qânûn al-wârits wa al-wâritsah al-misriyyah. Itu sebabnya saya agak berkontroversi dengan para kyai setempat. Saya lakukan itu, karena pertimbangan prinsip keadilan, kebersamaan dan pengalihan hak milik, untuk masyarakat Cianjur dan khususnya masyarakat desa Sindanglaka. 6. Mengenai hukum adat yang berlaku, apakah hal tersebut digunakan masyarakat dan diakui keberadaanya? Sesungguhnya adat juga merupakan bagian dari hukum, yaitu hukum yang tidak tertulis namun pengaruhnya dirasakan oleh masyarakat. Tentu yang namanya hukum adat itu tidak tertulis, atau seperti lembaran daun lontar. Itu turun temurun dari orang tua. Itu memang ada. Kan saya berpikir agak moderat. 7. Apakah keberadaan hukum adat diakui oleh ulama-ulama lokal? Kebanyakan kyai jebolan dari pesantren, yang kadang-kadang konservatif. Memegang teguh tanpa ada pertimbangan lagi, padahal fungsi hukum adat

206 sangat dihormati dalam hukum Islam, Islam tidak menolak hukum adat selama hukum adat itu sesuai dengan hukum Islam. Ini masalah pemahaman, tentu diperlukan pemahaman darı wawasan keilmuan yang bersangkutan. Kebetulan saya selain belajar di pondok pesantren masalah waris ini, juga belajar di STH (Sekolah Tinggi Hukum) jadi sedikit tidak konservatif. 8. Bagaimana menyiasati perkara waris jika ahli waris ingin mendapatkan bagian sama rata dan janda mendapatkan harta gono-gini? Untuk menyiasati hal itu maka masyarakat akan melakukan kompromi yang dilakukan diantara ahli waris yang menginkan agar anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan harta waris sama besarmya. Ketentuan syari'at kadang-kadang ditolak oleh sebagian keluarga. Kalau terang-terangan kembali pada adat takut tidak dapat pahala dan dikutuk Allah Swt. Tetapi, kalau melaksanakan hukum syari'at juga kurang pas. Jadi ada kompromi, yaitu aturan farâid tetap berlaku, anak laki-laki mendapatkan dua kali bagian dari perempuan. Setelah serah terima, saudara laki-laki akan memberi kepada saudara perempuannya, sehingga mereka mendapat sama besar. 9. Mengapa masyarakat enggan untuk pergi ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikan masalah waris? Ya jadi ada semacam sanksi moral begitu bila ke Pengadilan Agama mereka akan dianggap kurang memiliki pemahaman agama. Tapi bukan berarti kami ingin melecehkan Pengadilan Agama loh.. Cianjur, 3 Maret 2020 (.)

207 HASIL WAWANCARA Nama : Ustadz Asep Jabatan : Tokoh Ulama Desa Sindanglaka, Pimpinan salah satu Pon-Pes Tempat : Kediaman Ustadz Asep Waktu : 4 Maret 2020 Pukul : WIB 1. Bagaimana pendapat bapak mengenai pembagian waris dalam perkawinan poligami secara sirri? Tidak ada masalah, selama pernikahannya sah menurut agama, maka harta waris pun tidak ada masalah, karena acaun kita hanya faraidh saja. 2. Menurut bapak bagaimana perkawinan poligami sirri, sah atau tidak? Ya kalau ditanya mengenai sah atau tidaknya jelas sah menurut hukum fikih jika syarat-syarat sudah terpenuhi. 3. Bagaimana penjelasan bapak mengenai konsep waris dala perkawinan poligami yang berlaku di masyarakat? Konsep waris yang dianut oleh masyarakat umum Cianjur dan desa Sindanglaka khususnya adalah yang didasarkan ketentuan hukum Islam, yaitu harta dibagikan jika pewaris sudah meninggal dunia. Jika pembagian harta dilaksanakan sebelum orang tersebut meninggal dunia maka disebut juga hibah, hadiah, atau shadaqoh. Konsep waris yang hidup di masyarakat dengan tata cara pembagian waris Islam merupakan acuan tunggal bagi warga masyarakat umum di Cianjur dan desa Sindanglaka. 4. Jika ada hukum adat, maka apakah pengaruh adat dalam pembagian waris dalam poligami? Adat waris tidak ada pada kita, kalaupun ada, itu cuma keinginan. Adat Sunda atau Jawa Barat tidak mengatur mengenai waris. Adat di Sunda itu tidak mengatur hukum atau undang-undang. Yang mengatur kita itu ada dua, yaitu hukum Allah Swt dan keinginan sendiri. Jadi kalau ada warga yang bilang

208 bahwa ia telah melakukan pembagian waris menurut tata cara adat Sunda, sudah pasti dia itu bohong. Itu pasti keinginan dia sendiri. Kalau adat Sunda itu bagaimana saya kurang tahu. Dan memang belum pernah ada. 5. Apakah masyarakat pergi ke pengadilan untuk penyelesaian masalah waris poligami dan masalah waris lainnya? Kalau lewat pengadilan jarang, kalau di daerah Sindanglaka Cianjur, baik orang-orang desa atau bukan, datang ke sini meminta penjelasan. 6. Bagaimana pendapat bapak mengenai porsi waris antara laki-laki dan perempuan? Perempuan dan laki-laki berhak mendapatkan harta waris, tetapi tentu saja besarannya tidak sama. Perempuan itu lebih lemah dan seharusnya yang lemah itu tidak mendapat lebih banyak dari yang kuat. Namun dasar hukum Islam bukan itu, melainkan siapa yang bertanggung jawab terhadap perempuan, yaitu laki-laki. Beginilah logikanya: Perempuan kan ditakdirkan punya orang tua. Terus ia punya suami. Bila orang tuanya lapar, tidak punya makanan, ia bertanggung jawab tidak terhadap orang tua? Tidak, yang bertanggung jawab adalah suami. 7. Apakah alasan mengapa laki-laki berhak mendapatkan bagian yang lebih besar daripada perempuan? Pertama, kewajiban lelaki dalam keluarga sangat berat, dimulai dengan bertanggung jawab memberi nafkah kepada istri, kemajuan putra dan putri untuk menyongsong masa depan yang lebih baik itu tanggung jawab ayahnya. Selain itu mungkin juga menanggung orang lain yang bertalian dengan keluarga secara mutlak, seperti orang tua, saudara, dan yang lain menjadi kewajiban lelaki. Sedangkan perempuan tidak dituntut untuk hal itu. Kedua, perempuan tidak dituntut atau tidak punya kewajiban untuk membiayai siapapun. Malah orang tua dan saudara wajib menanggung segalanya bila seorang perempuan tidak punya suami atau belum dewasa. Ketiga, kewajiban mengeluarkan nafkah bagi lelaki itu lebih banyak daripada perempuan, masalah materi itu sangat vital, sehingga kebutuhan terhadap harta bagi lelaki

209 lebih besar daripada perempuan. Singkatnya semua pembelanjaan itu tanggung jawab lelaki, terutama bagi lelaki yang sudah dewasa apalagi yang sudah berumah tangga. Keempat, bila lelaki itu akan menikah, maka pembiayaan pelaksanaan pernikahan termasuk mahar itu tanggungjawab lelaki, sedangkan perempuan tidak dituntut untuk itu. 8. Apakah bapak tahu tentang Undang-undang NO.1 Tahun 1974 yang mengatur tentang poligami dan KHI yang mengatur tentang pembagian waris dalam poligami? Iya saya tahu, hanya sepintas sekedar tahu mengenai perkawinan poligami yang sudah diatur dengan berbagai syarat yang ada didalam Undang undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, dan pembagian waris dalam poligami yang diatur Kompilasi Hukum Islam. 9. Apakah masyarakat tahu tentang peraturan tersebut? Ya mungkin ada yang tahu, mungkin juga ada yang tidak tahu sama sekali tentang Undang-undang. Cianjur, 4 Maret 2020 (.)

210 HASIL WAWANCARA Nama : Tibi Jabatan : Warga, Kepala Rumah Tangga Tempat : Teras Rumah Waktu : 10 Maret 2020 Pukul : WIB 1. Apakah keluarga Bapak melakukan Poligami secara sirri? Iya benar, keluarga/bapak saya memang melakukan poligami dan menikah sebanyak dua kali, dulu waktu umur saya sekitar 20 tahun bapak menikah lagi dengan wanita lain. 2. Apa tujuan orang tua Bapak melakukan poligami? Ya mungkin seperti kebanyakan orang yang melakukan poligami, bapak saya melakukannya atas dasar keinginannya sendiri karena ketika itu merasa mampu untuk menafkahi dua istri dan anak-anaknya. Mungki juga karena hal itu adalah sunnah. 3. Apa alasan keluarga Bapak melakukan perkawinan poligami secara sirri? Ketika itu belum ramai seperti sekarang tentang permasalah pencatatan pernikahan. Mungkin jika bapak masih ada dan menikah lagi pasti dia akan mencatat pernikahannya. 4. Apa dampak yang keluarga Bapak rasakan atas perkawinan sirri yang dilakukan? Tentu sangat terasa ya, apalagi jika berbicara mengenai perkara waris. Apabila salah satu keluarga ingin menuntut keadilan ke Pengadilan Agama maka prosesnya akan panjang bahkan bisa jadi tidak bisa. 5. Apakah keluarga Bapak mempertimbangkan perihal warisan setelah melakukan poligami secara sirri?

211 Kalau urusan waris tentu saja dipertimbangkan karena harta bapak lumayan banyak, namun beliau yakin pasti semua ahli warisnya akan kebagian karena diselesaikan oleh para ajengan. 6. Apa yang Bapak/Ibu ketahui mengenai hukum waris? Saya hanya tahu kalau ada hukum waris di ilmu faraidh saja. 7. Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut Agama? Ya tahu, tadi tidak paham cara menyelesaikannya. 8. Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut hukum positif? Saya pernah mendengar bahwa ada Undang-undang dari pemerintah yang mengatur masalah waris juga. Tapi saya belum faham betul karena tidak ada sosialisasi dari pemerintah di sini. 9. Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut adat? Kalau adat di Sunda tergantung bagaimana kebiasaan setiap keluarga saja, tidak ada adat khusus seperti di daerah-daerah lain di Indonesia. 10. Dari ketiga jenis hukum waris, apa yang keluarga Bapak gunakan? Hukum waris menurut agama atau Faraidh, karena itu yang kami ketahui dan praktekkan selama ini. 11. Kenapa keluarga bapak menggunakan hukum waris tersebut? Apakah atas hasil musyawarah seluruh ahli waris atau pemilik harta waris? Tentu karena kebiasaan masyarakat di daerah sini, semua urusan waris dikembalikan ke pada para ajengan atau ulama di sini. 12. Kapan pembagian warisan diberikan kepada ahli waris? Jelas setelah pewaris meninggal dunia atuh, dan setelah semua urusannya telah selesai diurus oleh ahli waris. 13. Bagaimana cara pembagian waris terhadap ahli waris? Sesuai Ilmu Faraidh. 14. Apa alasan keluarga Bapak mengikutsertakan ahli hukum atau ahli agama dalam pembagian waris?

212 Itu karena kita percaya dengan para ahli agama dalam masalah waris, dan tidak akan terkena biaya mahal kemudian cepat selesai tidak ribet seperti di Pengadilan. 15. Kesulitan dan kemudahan yang keluarga bapak rasakan ketika melakukan hukum waris tersebut? Kesulitan mungkin tidak ada ya, karena Alhamdulillah tidak ada sengketa, klo kemudahan ya jelas sangat mudah dan cepat juga murah. 16. Adakah perbedaan antara pembagian waris pada masing-masing ahli waris? Kalau menurut Faraidh dan ustad jelas ada perbedaan dalam masalah bagian harta waris. 17. Jika ada perbedaan, apakah ahli waris merasa adil dan menerima bagian dari pembagian warisan? Ya itu kembali kepada diri masing-masing ahli waris, kalau sudah diselesaikan oleh kyai maka puas enggak puas, harus puas karena kita percaya keberkahan jika diselesaikan melalui jalur kyai. 18. Bagaimana pendapat keluarga Bapak atas praktek pembagian waris yang dilakukan tanpa mengikuti hukum agama dan hukum positif yang berlaku? Pasti akan menimbulkan sengketa karena tidak memiliki acuan hukum tertentu. Cianjur, 10 Maret 2020 (.)

213 HASIL WAWANCARA Nama : Yusuf Jabatan : Warga, Kepala Rumah Tangga Tempat : Ruang tamu rumah Waktu : 10 Maret 2020 Pukul : WIB 1. Apakah keluarga Bapak melakukan Poligami secara sirri? Iya benar, bapak melakukannya dan pernah menikah sebanyak 3 kali. 2. Apa tujuan keluarga Bapak melakukan poligami? Setahu saya, bapak melakukannya agar mendapat banyak keturuan dan rezeki. 3. Apa alasan keluarga Bapak melakukan perkawinan poligami secara sirri? Waktu itu pengurusan percatatan pernikahan tidak semudah seperti sekarang. Jadi sangat jarang para orang tua dulu mencatatkan pernikahannya. 4. Apa dampak yang keluarga Bapak rasakan atas perkawinan sirri yang dilakukan? Tidak ada dampak yang negative karena hal itu tidak melanggar atura agama jika dilakukan secara adil. 5. Apakah keluarga Bapak mempertimbangkan perihal warisan setelah melakukan poligami secara sirri? Tentunya mempertimbangkan, walaupun hartanya tidak seberapa namun cukup untuk para ahli waris, dan semuanya pasti kebagian sesuai aturan yang ada di agama. 6. Apa yang Bapak ketahui mengenai hukum waris? Yang saya tahu hanya hukum Faraidh. 7. Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut Agama? Tentu tahu, namun tidak faham secara terperinci. 8. Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut hukum positif?

214 Saya termasuk orang yang tidak percaya dengan orang lain selain para kyai dan ustad. 9. Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut adat? Ya adat di sini bagaimana kebiasaan masyarakat di sini saja. 10. Dari ketiga jenis hukum waris, apa yang keluarga Bapak gunakan? Hukum Faraidh. 11. Kenapa keluarga bapak menggunakan hukum waris tersebut? Apakah atas hasil musyawarah seluruh ahli waris atau pemilik harta waris? Sudah dimusyawarahkan dengan seluruh ahli waris. 12. Kapan pembagian warisan diberikan kepada ahli waris? Setelah bapak meninggal dunia. 13. Bagaimana cara pembagian waris terhadap ahli waris? kami mendatangi kyai atau ustad di sini kenudian beliau yang membagikannya. 14. Apa alasan keluarga Bapak mengikutsertakan ahli hukum atau ahli agama dalam pembagian waris? Alesan kami hanya keberkahan, apalagi masalah waris adalah ibadah maka harus diselesaikan dengan cara agama oleh kyai. 15. Kesulitan dan kemudahan yang keluarga bapak rasakan ketika melakukan hukum waris tersebut? Semua keluarag hanya patuh dan tunduk dengan keputusan yang disampaikan oleh kyai, Alhamdulillah tidak ada kesulitan dalam hal ini, justru lebih mudah dan cepat, tidak seperti di Pengadilan Agama yang katanya harus bayar ini itu. 16. Jika ada perbedaan, apakah ahli waris merasa adil dan menerima bagian dari pembagian warisan? Semua menerima bagiannya dengan lapang dada. 17. Bagaimana pendapat keluarga Bapak atas praktek pembagian waris yang dilakukan tanpa mengikuti hukum agama dan hukum positif yang berlaku?

215 Kalau tidak mengikuti hukum agama maka ia dosa atau harta warisannya tidak berkah dan akan cepet habis, saya tidak tahu ya kalau menurut hukum positif. Cianjur, 10 Maret 2020 (.)

216 HASIL WAWANCARA Nama : Syaiful Jabatan : Warga, Kepala Rumah Tangga Tempat : Teras Rumah Waktu : 11 Maret 2020 Pukul : WIB 1. Apakah keluarga Bapak melakukan Poligami secara sirri? Iya benar, bapak saya melakukannya ketika saya berumur 15 tahun 2. Apa tujuan orang tua Bapak melakukan poligami? Menjalankan ibadah, kan katanya banyak anak dan istri banyak rezeki juga. 3. Apa alasan keluarga Bapak melakukan perkawinan poligami secara sirri? Mengurusnya agak ribet. 4. Apa dampak yang keluarga Bapak rasakan atas perkawinan sirri yang dilakukan? Memang dampak negatif nya mengurus apapun agak riweuh, seperti bikin akte kelahiran dan dokumen-dokumen lainnya. 5. Apakah keluarga Bapak mempertimbangkan perihal warisan setelah melakukan poligami secara sirri? Jelas mempertimbangkan, namun bapak ketika itu tidak merasa takut hartanya tidak tersampaikan kepada ahli waris, karena ada para ulama yang kami jadikan panutan dalam hal ini. 6. Apa yang Bapak ketahui mengenai hukum waris? Saya hanya tahu ilmu Faraidh, pernah belajar sedikit dulu waktu masih di pesantren. 7. Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut Agama? Ya tentu tahu. 8. Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut hukum positif?

217 Iya saya tahu, namun saya tidak menggunakannya, karan menurut saya Faraidh sudah cukup. 9. Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut adat? Saya tahu, seperti adat-adat khusus yang ada di beberapa daerah di Indonesia, seperti Minangkabau dan lainnya, tapi di sini kita tidak mengenal hal tersebut. Adat menurut kami adalah kebiasaan yang kita gunakan sehari-hari. 10. Dari ketiga jenis hukum waris, apa yang keluarga Bapak gunakan? Hukum Faraidh 11. Kenapa keluarga bapak menggunakan hukum waris tersebut? Apakah atas hasil musyawarah seluruh ahli waris atau pemilik harta waris? Semua sudah sepakat untuk menggunakan Hukum Faraidh dalam pembagian harta waris. 12. Kapan pembagian warisan diberikan kepada ahli waris? Setelah bapak saya meninggal. 13. Apa alasan keluarga Bapak mengikutsertakan ahli hukum atau ahli agama dalam pembagian waris? Agar harta kita berkah karena kembali kepada hukum agama yang dipraktekkan oleh para kyai disini. 14. Jika ada perbedaan, apakah ahli waris merasa adil dan menerima bagian dari pembagian warisan? Semua ahli waris merasa adil Alhamdillah. 15. Bagaimana pendapat keluarga Bapak atas praktek pembagian waris yang dilakukan tanpa mengikuti hukum agama dan hukum positif yang berlaku? Mungkin hartanya tidak akan bertahan lama. Cianjur, 11 Maret 2020 (.)

218 HASIL WAWANCARA Nama : Anah Jabatan : Warga, Anak Istri Pertama Tempat : Teras Rumah Waktu : 12 Maret 2020 Pukul : WIB 1. Apakah keluarga Ibu melakukan Poligami secara sirri? Ya dulu bapak menikah lagi dengan wanita lain saat saya berumur empat tahun. 2. Apa tujuan orang tua Ibu melakukan poligami? Ketika itu bapak menolong seorang wanita miskin yang hampir tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini. 3. Apa alasan orang tua Ibu melakukan perkawinan poligami secara sirri? Agar tidak banyak yang tahu. 4. Apa dampak yang keluarga Ibu rasakan atas perkawinan sirri yang dilakukan? Dampak negatifnya ternyata kita dikagetkan dengan seorang wanita yang mengaku sebagai istri bapak ketika sedang dilaksanakan pembagian waris yang kemudian menimbulkan sengketa. 5. Apakah keluarga Ibu mempertimbangkan perihal warisan setelah melakukan poligami secara sirri? Ya tentunya mempertimbangkan hal itu, buktinya anak dari istri kedua bapak mengaku pernah dijanjikan oleh bapak akan mendapatkan hibah dan bagian waris yang adil. 6. Apa yang Ibu ketahui mengenai hukum waris? Ada hukum waris Islam, hukum waris positif, dan hukum waris adat. 7. Apakah Ibu mengetahui hukum waris menurut Agama? Iya saya tahu, namun tidak faham betul caranya.

219 8. Apakah Ibu mengetahui hukum waris menurut hukum positif? Saya tahu undang-undang yang mengatur harta gono-gini. 9. Apakah Ibu mengetahui hukum waris menurut adat? Adat di sini atau di Sunda itu adalah kebiasaan yang dilakukan masyarakat sini, tidak ada peraturan khusus yang tertulis. 10. Dari ketiga jenis hukum waris, apa yang keluarga Ibu gunakan? Hukum waris Faraidh yang diselesaikan oleh ulama 11. Kenapa keluarga ibu menggunakan hukum waris tersebut? Apakah atas hasil musyawarah seluruh ahli waris atau pemilik harta waris? Kan kalo di ulama murah. Lagian, hartanya tidak seberapa, kalo hartanya banyak mungkin ke Pengadilan. di Pengadilan Agama lebih mahal, banyak ini-itu nya. Kedua kalo ke ustad atau kyai juga lebih afdol. 12. Kapan pembagian warisan diberikan kepada ahli waris? Setelah bapak saya meninggal dunia 13. Bagaimana cara pembagian waris terhadap ahli waris? Kita mendatangi kyai atau ustad, kemudian beliau yang menyelesaikannya. 14. Apa alasan keluarga Ibu mengikutsertakan ahli hukum atau ahli agama dalam pembagian waris? Agar harta kita menjadi berkah dan manfaat. 15. Kesulitan dan kemudahan yang keluarga ibu rasakan ketika melakukan hukum waris tersebut? Saya juga kurang faham, kami menurut saja apa kata ustad, karena pembagiannya dilakukan dengan hukum agama, jadi kami tidak menemukan kesulitan dalam hal ini, justru malah mudah dan lancar. 16. Adakah perbedaan antara pembagian waris pada masing-masing ahli waris? Iya kalo dengan Faraidh memang ada perbedaan, jatah laki-laki dua, perempuan satu. Dan janda tidak mendapatkan harta gono-gini. 17. Jika ada perbedaan, apakah ahli waris merasa adil dan menerima bagian dari pembagian warisan?

220 Maunya sih adil dan sama rata, tapi kita tetap pasrah dengan keputusan ustad dan semua ahli waris merasa adil, kami juga nggak mau sama rata, takut mudharat, kami takut akibatnya yah, jadi ikut ustad saja, aturan Faraidh. Saya takut mudharatnya, bisa-bisa habis harta saya. 18. Bagaimana pendapat keluarga ibu atas praktek pembagian waris yang dilakukan tanpa mengikuti hukum agama dan hukum positif yang berlaku? Ya mungkin lebih cenderung menimbulkan konflik. Cianjur, 12 Maret 2020 (.)

221 HASIL WAWANCARA Nama : Nurjanah Jabatan : Warga, Anak Kedua Istri Pertama Tempat : Teras Rumah Waktu : 12 Maret 2020 Pukul : WIB 1. Apakah keluarga Ibu melakukan Poligami secara sirri? Saya adalah anak kedua dari 6 bersaudara sebapak dan seibu, saya mempunyai saudara tiri satu bapak sebanyak 2 orang, karena bapak saya pernah berpoligami ketika saya masih berumur 16 tahun. 2. Apa tujuan bapak Ibu melakukan poligami? Saya kurang tahu ya, yang jelas bapak waktu itu menikah tanpa sepengetahuan kami, tiba-tiba kita sudah punya saudara baru sebanyak dua orang. 3. Apa alasan keluarga Ibu melakukan perkawinan poligami secara sirri? Tujuan ataupun alasan nya saya kurang mengerti mas. 4. Apa dampak yang keluarga Ibu rasakan atas perkawinan sirri yang dilakukan? Ada, pertama hubungan kami dengan saudara tiri kami kurang akur, karena kami merasa bahwa mereka telah merebut ayah kami, kemudian kami kasihan sama ibu, tapi lambat laun hubungan kita semakin membaik. Kemudian dampak yang lain adalah setelah bapak meninggalkan kita, yaitu ketika pembagian waris. Hubungan yang selama ini mulai membaik kembali rusak akibat pembagian waris. 5. Apakah keluarga Ibu mempertimbangkan perihal warisan setelah melakukan poligami secara sirri? Hal itu tentu sudah dipikirkan dengan matang oleh bapak saya, karena bapak sendiri Alhamdulillah memiliki harta peninggalan yang cukup banyak untuk ahli warisnya.

222 6. Apa yang Ibu ketahui mengenai hukum waris? Hukum waris adalah perihal pembagian harta pewaris setelah ia meninggal, saya tahu ada beberapa hukum waris di Indonesia ini. 7. Apakah Ibu mengetahui hukum waris menurut Agama? Iya saya tahu, biasa disebut hukum Faraidh. Dan juga hukum yang sering digunakan oleh masyarakat dan kyai di desa saya ini. 8. Apakah Ibu mengetahui hukum waris menurut hukum positif? Pernah mendengar dan membaca saja. 9. Apakah Ibu mengetahui hukum waris menurut adat? Yang saya tahu, hukum adat baik itu dalam hal waris atau bukan kembali kepada kebiasaan masyarakat dalam melakukan hal tertentu. 10. Dari ketiga jenis hukum waris, apa yang keluarga Ibu gunakan? Saya ikut kebanyakan warga di sini mas, yaitu mengundang kyai atau ustad untuk menyelesaikan perkara waris di keluarga kami. 11. Kenapa keluarga ibu menggunakan hukum waris tersebut? Apakah atas hasil musyawarah seluruh ahli waris atau pemilik harta waris? Tentunya atas hasil musyawarah keluarga. 12. Apa alasan keluarga Ibu mengikutsertakan ahli hukum atau ahli agama dalam pembagian waris? Pembagian harta waris adalah ibadah dan merupakan anjuran agama, maka harus dilaksanakan oleh pemuka agama atau ulama. Agar lebih berkah. 13. Adakah perbedaan antara pembagian waris pada masing-masing ahli waris? Karena kami melakukannya dengan faraidh maka tentu ada perbedaan di setiap porsi waris ahli waris. 14. Jika ada perbedaan, apakah ahli waris merasa adil dan menerima bagian dari pembagian warisan? Semua Ahli waris ridho dan ikhlas dengan ketentuan yang ditetapkan oleh kyai. Dan seluruhnya merasa bahwa pembagian seperti itu sudah adil.

223 15. Bagaimana pendapat keluarga Ibu atas praktek pembagian waris yang dilakukan tanpa mengikuti hukum agama dan hukum positif yang berlaku? Tidak sah, justru akan menimbulkan konflik. Cianjur, 12 Maret 2020 (.)

224 HASIL WAWANCARA Nama : Ibu Titin Jabatan : Warga, Istri Kedua Tempat : Teras Rumah Waktu : 12 Maret 2020 Pukul : WIB 1. Apakah keluarga Ibu melakukan Poligami secara sirri? Iya mas, saya adalah istri kedua suami saya yang meninggal beberapa tahun lalu. Waktu itu kami menikah tanpa sepengetahuan istri pertama suami saya. 2. Apa tujuan suami Ibu melakukan poligami? Mencari cinta baru mungkin mas. 3. Apa alasan suami Ibu melakukan perkawinan poligami secara sirri? Yang suami saya bilang ke saya itu kalo dia sudah enggak cinta dengan istri pertamanya, tapi suami saya enggak mau menceraikannya. 4. Apa dampak yang Ibu rasakan atas perkawinan sirri yang dilakukan? Awalnya saya merasa bingung dan ketakutan, takut dibilang ngerebut suami orang, tetapi akhirnya saya biasa saja. Kalo dampak nya ya banyak mas, salah satunya anak-anak saya dengan anak-anak dari istri pertama tidak pernakh akur. 5. Apakah suami ibu mempertimbangkan perihal warisan setelah melakukan poligami secara sirri? Iya mas, karena suami saya tidak merasa takut hartanya habis, makanya dia berani melakukan poligami. 6. Apa yang Ibu ketahui mengenai hukum waris? Pembagian harta setelah pewaris meninggal. 7. Apakah ibu mengetahui hukum waris menurut Agama? Tahu mas, saya dulu pernah pesantren di ponpes Tanwiriyyah 8. Apakah ibu mengetahui hukum waris menurut hukum positif?

225 Tidak terlalu faham. 9. Apakah Ibu mengetahui hukum waris menurut adat? Disini tidak ada hukum adat, saya cuma ikut hukum waris Islam yang dilakukan oleh Engkang (Ust. Jamil) 10. Dari ketiga jenis hukum waris, apa yang keluarga Ibu gunakan? Hukum Islam atau Faraidh 11. Kenapa keluarga ibu menggunakan hukum waris tersebut? Apakah atas hasil musyawarah seluruh ahli waris atau pemilik harta waris? Ya karena keluarga saya orang-orang pesantren dan memiliki kedeketan dengan kyai dan ustad-ustad di desa ini. 12. Apa alasan keluarga ibu mengikutsertakan ahli hukum atau ahli agama dalam pembagian waris? Iya, biasanya kami minta tolong Engkang untuk menyelesaikan masalahmasalah agama di keluarga kami, begitu juga masalah waris. 13. Kesulitan dan kemudahan yang keluarga ibu rasakan ketika melakukan hukum waris tersebut? Hukum Faraidh mudah dan cepat, juga tidak memerlukan biaya banyak, tidak seperti di Pengadilan Agama. 14. Apakah ahli waris merasa adil dalam menerima bagian dari pembagian warisan? Hukum Islam sudah sangat adil Alhamdulillah. 15. Bagaimana pendapat keluarga ibu atas praktek pembagian waris yang dilakukan tanpa mengikuti hukum agama dan hukum positif yang berlaku? Uangnya tidak akan berkah kalo tidak ikut aturan agama, kalo tidak ikut hukum positif saya tidak tahu. Cianjur, 12 Maret 2020 (.)

226 BIODATA Zaki Saiful Alam lahir di Jakarta, tanggal 27 Juni 1990 dari pasangan suami istri yang berprofesi sebagai guru dan ibu rumah tangga yakni Bapak Ahmad Yahya (almarhum) dan Ibu Aminah. Riwayat pendidikan formal dimulai dari TK Miftahul Amal Pondok Gede Kota Bekasi Jawa Barat ( ), kemudian dilanjutkan ke jenjang pendidikan SDN 22 Pagi Pejaten Timur Pasar Minggu Jakarta Selatan ( ), dan MI Hidayatul Islamiyah Sore Pejaten Timur Pasar Minggu Jakarta Selatan ( ). Selepas lulus, penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama dan menengah atas di SMP-SMA Islam Al-Kholidin Kebayoran Baru Jakarta Selatan ( ) dan ( ), sambil menetap di Pondok Pesantren Al-Kholidin selama 6 (enam) tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan selama 12 tahun, penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti seleksi beasiswa masuk perguruan tinggi pada awal tahun 2011 di STAI Imam Syafi i Cianjur Jawa Barat dan berhasil lulus. Dan tercatat sejak tahun 2011, penulis resmi menjadi mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhsiyyah) STAI Imam Syafi i Cianjur hingga selesai pada tahun Setelah lulus dari STAI Imam Syafi i Cianjur, penulis mendapat kehormatan untuk mengabdikan diri dengan menjadi asisten dosen di STAI Imam Syafi i Cianjur dari tahun 2016 sampai sekarang. Sambil mengajar dan bekerja penulis menikah pada bulan Desember tahun 2016, kemudian pertengahan tahun 2017 penulis meneruskan pendidikan ke jenjang berikutnya di Program Studi Magister Hukum Keluarga FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai tahun Saat ini penulis berdomisili di wilayah Pacet Cianjur Jawa Barat.

75 - ا آن ا mohamma و و را ر ا ء n - og a.ac.i إن ا آن ا ة ل و. ا ل ا ا أ ا و و ن أ وأ و إ ذ. ا م ا آن و ا ن ا ى ا أن د ا و ا ا اء ا ء. و ف ا ا

75 - ا آن ا mohamma و و را ر ا ء n - og a.ac.i إن ا آن ا ة ل و. ا ل ا ا أ ا و و ن أ وأ و إ ذ. ا م ا آن و ا ن ا ى ا أن د ا و ا ا اء ا ء. و ف ا ا 75 - ا آن ا mohamma و و را ر ا ء ofiqi@ n - og a.ac.i إن ا آن ا ة ل و. ا ل ا ا أ ا و و ن أ وأ و إ ذ. ا م ا آن و ا ن ا ى ا أن د ا و ا ا اء ا ء. و ف ا ا ف أ اع ا و و و ا ا ا آن ا أ ا. م ا ا ا م أ ا ا ا ا

المزيد من المعلومات

55 رة ا و ا ج ا ر ز ا ا ج ا إ و ا ب وا ادات ا ا ا ل رة ع أول رة ا ن ا ر ع ا م. أ ا. و ا ا ا ع ا ا إ و. ا ا ج ا ت أ ا آ و ا ا

55 رة ا و ا ج ا ر ز ا ا ج ا إ و ا ب وا ادات ا ا ا ل رة ع أول رة ا ن ا ر ع ا م. أ ا. و ا ا ا ع ا ا إ و. ا ا ج ا ت أ ا آ و ا ا 55 رة و ج ر ز ج إ و ammar_zainuddin@ymail.com ب و دت ل رة ع أول رة ن ر ع م. أ. و ع إ و. ج ت أ آ و رس أن م ف ع. و دة در د و ر ى ع ت إ ت و ر ب أ ن م و رس. و. أ إ و د ع و و أن ت ل ة دت ع و رة د د رس رس ك

المزيد من المعلومات

MUDAH BELAJAR BAHASA ARAB

MUDAH BELAJAR BAHASA ARAB الفصحى Untuk Kelas 4 Sekolah Dasar Islam Terpadu Penulis : Muhammad mamun Salman بسم اهلل الرمحن الرحيم Kata Pengantar Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-qur an dengan bahasa Arab yang nyata.

المزيد من المعلومات

LI.05 BIRU Markah / Marks درجات / BORANG PENILAIAN PENYELIA UNIVERSITI (20%) UNIVERSITY SUPERVISOR EVALUATION FORM (20%) استمارة تقييم المشرف بالجامعة

LI.05 BIRU Markah / Marks درجات / BORANG PENILAIAN PENYELIA UNIVERSITI (20%) UNIVERSITY SUPERVISOR EVALUATION FORM (20%) استمارة تقييم المشرف بالجامعة LI.05 BIRU Markah / Marks درجات / BORANG PENILAIAN PENYELIA UNIVERSITI (20) UNIVERSITY SUPERVISOR EVALUATION FORM (20) استمارة تقييم المشرف بالجامعة )20( Nama Pelajar / Student s Name / اسم الطالب /ة No.

المزيد من المعلومات

حتليل عالمات الوقف املمنوع والوقف الالزم يف املصحف اإلدنوودنيي وعالقتهن اليودى واملصحف )يف سورة البقرة( مبعىن اآلية الر سالة العلمية مقوم لكلية الرتبي

حتليل عالمات الوقف املمنوع والوقف الالزم يف املصحف اإلدنوودنيي وعالقتهن اليودى واملصحف )يف سورة البقرة( مبعىن اآلية الر سالة العلمية مقوم لكلية الرتبي حتليل عالمات الوقف املمنوع والوقف الالزم يف املصحف اإلدنوودنيي وعالقتهن اليودى واملصحف )يف سورة القرة( معىن اآلية الر سالة العلمية مقوم لكلية الرتية و التعليم ال ستيفاء عض الشروط لنيل درجة اليرجادنا يف

المزيد من المعلومات

IMPLEMENTASI PENDEKATAN HUMANISTIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB KELAS X MIPA MAN 4 BANTUL TAHUN AJARAN 2017/2018 SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Il

IMPLEMENTASI PENDEKATAN HUMANISTIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB KELAS X MIPA MAN 4 BANTUL TAHUN AJARAN 2017/2018 SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Il IMPLEMENTASI PENDEKATAN HUMANISTIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB KELAS X MIPA MAN 4 BANTUL TAHUN AJARAN 2017/2018 SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan

المزيد من المعلومات

INTUISI SEBAGAI SUMBER PENGETAHUAN DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT `ABD AL-WAHHĂB AL-SYA`RĂNĪ DISERTASI Oleh: ZULFAHMI LUBIS NIM :

INTUISI SEBAGAI SUMBER PENGETAHUAN DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT `ABD AL-WAHHĂB AL-SYA`RĂNĪ DISERTASI Oleh: ZULFAHMI LUBIS NIM : INTUISI SEBAGAI SUMBER PENGETAHUAN DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT `ABD AL-WAHHĂB AL-SYA`RĂNĪ DISERTASI Oleh: ZULFAHMI LUBIS NIM : 94315020563 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM PASCASARJANA

المزيد من المعلومات

RLC ~ TKI : YAYAT BT JUDI TAHRI (AS784667) Spsr : MAHRA HASAN DHAFAR HAMAD ALQAHTANI (A ) Agen : abu faisal services est PPTKIS : PT.

RLC ~ TKI : YAYAT BT JUDI TAHRI (AS784667) Spsr : MAHRA HASAN DHAFAR HAMAD ALQAHTANI (A ) Agen : abu faisal services est PPTKIS : PT. PERJANJIAN KONTRAK KERJA ANTARA PENGGUNA JASA TENAGA KERJA DENGAN TENAGA KERJA INDONESIA SEKTOR : PERORANGAN, NEGARA TUJUAN : UNITED ARAB EMIRATES (UAE) عقدالعمل بين صاحب العمل ىوالعمالة الاندونيسية القطاع

المزيد من المعلومات

1 Kelahiran Nabi Mengangkat Derajat Wanita: Komparasi Hak-Hak Wanita versi Jahiliyah, Islam, dan Gender 1 Dr. Hj. Nur Aisah Simamora, Lc. MA. A. Penda

1 Kelahiran Nabi Mengangkat Derajat Wanita: Komparasi Hak-Hak Wanita versi Jahiliyah, Islam, dan Gender 1 Dr. Hj. Nur Aisah Simamora, Lc. MA. A. Penda 1 Kelahiran Nabi Mengangkat Derajat Wanita: Komparasi Hak-Hak Wanita versi Jahiliyah, Islam, dan Gender 1 Dr. Hj. Nur Aisah Simamora, Lc. MA. A. Pendahuluan Diskursus tentang gender memiliki sisi yang

المزيد من المعلومات

LI.04 HIJAU Markah / Marks درجات / BORANG PENILAIAN PENYELIA ORGANISASI (60%) ORGANISATION SUPERVISOR EVALUATION FORM (60%) استمارة تقييم مشرف المؤسسة

LI.04 HIJAU Markah / Marks درجات / BORANG PENILAIAN PENYELIA ORGANISASI (60%) ORGANISATION SUPERVISOR EVALUATION FORM (60%) استمارة تقييم مشرف المؤسسة LI.04 HIJAU Markah / Marks درجات / BORANG PENILAIAN PENYELIA ORGANISASI (60) ORGANISATION SUPERVISOR EVALUATION FORM (60) استمارة تقييم مشرف المؤسسة )60( Nama Pelajar / Student s Name / اسم الطالب /ة No.

المزيد من المعلومات

Risalah Sholat Jum'at bag 3

Risalah Sholat Jum'at bag 3 MAJLIS TAFSIR AL-QUR AN (MTA) PUSAT http://www.mta.or.id e-mail : humas@mta.or.id Jl. Ronggowarsito No. 111A, Timuran, Banjarsari, Surakarta 57131, Telp (0271) 663299 Ahad, 15 September 2019/15 Muharram

المزيد من المعلومات

Puasa Sunnah 2

Puasa Sunnah 2 MAJLIS TAFSIR AL-QUR AN (MTA) PUSAT http://www.mta.or.id e-mail : humas@mta.or.id Jl. Ronggowarsito No. 111A, Timuran, Banjarsari, Surakarta 57131, Telp (0271) 663299 Ahad, 16 Juni 2019/12 Syawwal 1440

المزيد من المعلومات

SULTAN ABDUL HALIM MU ADZAM SHAH INTERNATIONAL ISLAMIC UNIVERSITY (UniSHAMS) PPS23 POSTGRADUATE AND RESEARCH MANAGEMENT CENTRE BORANG LAPORAN PENILAI

SULTAN ABDUL HALIM MU ADZAM SHAH INTERNATIONAL ISLAMIC UNIVERSITY (UniSHAMS) PPS23 POSTGRADUATE AND RESEARCH MANAGEMENT CENTRE BORANG LAPORAN PENILAI SULTAN ABDUL HALIM MU ADZAM SHAH INTERNATIONAL ISLAMIC UNIVERSITY (UniSHAMS) PPS23 POSTGRADUATE AND RESEARCH MANAGEMENT CENTRE BORANG LAPORAN PENILAI VIVA-VOCE SARJANA/PHD EVALUATION REPORT VIVA-VOCE OF

المزيد من المعلومات

تحليل األخطاء الصوتية لمادة مهارة القراءة فى تالميذ الفصل السابع المدرسة المتوسطة مسلمات نهضة العلماء بالنكارايا في البحث العلمي إلكمال بعض شروط للحصو

تحليل األخطاء الصوتية لمادة مهارة القراءة فى تالميذ الفصل السابع المدرسة المتوسطة مسلمات نهضة العلماء بالنكارايا في البحث العلمي إلكمال بعض شروط للحصو تحليل األخطاء الصوتية لمادة مهارة القراءة فى تالميذ الفصل السابع المدرسة المتوسطة مسلمات نهضة العلماء بالنكارايا في البحث العلمي إلكمال بعض شروط للحصول على درجة سرجانا لكلية التربية والعلوم التعلمية قسم

المزيد من المعلومات

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 12 Tahun 2019 Tentang TRANSPLANTASI ORGAN DAN/ATAU JARINGAN TUBUH DARI PENDONOR MATI UNTUK ORANG LAIN Komisi Fat

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 12 Tahun 2019 Tentang TRANSPLANTASI ORGAN DAN/ATAU JARINGAN TUBUH DARI PENDONOR MATI UNTUK ORANG LAIN Komisi Fat FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 12 Tahun 2019 Tentang TRANSPLANTASI ORGAN DAN/ATAU JARINGAN TUBUH DARI PENDONOR MATI UNTUK ORANG LAIN (MUI) setelah: Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi dan

المزيد من المعلومات

الباب األو ل المقد مة أ. تمهيد المشكلة كانت اللغات متنو عة منها اللغة اإلند ونسي ة تفيد لغة وطنية وكذلك اللغة العربي ػة تفيد لغة وطنية لبالد العرب. ين

الباب األو ل المقد مة أ. تمهيد المشكلة كانت اللغات متنو عة منها اللغة اإلند ونسي ة تفيد لغة وطنية وكذلك اللغة العربي ػة تفيد لغة وطنية لبالد العرب. ين الباب األو ل المقد مة أ. تمهيد المشكلة كانت اللغات متنو عة منها اللغة اإلند ونسي ة تفيد لغة وطنية وكذلك اللغة العربي ػة تفيد لغة وطنية لبالد العرب. ينبغي لنا أف نتعل م اللغة العربي ػة ألف ادلسلم ت يستعملوهنا

المزيد من المعلومات

khalifah Umar bin Khatab

khalifah Umar bin Khatab MAJLIS TAFSIR AL-QUR AN (MTA) PUSAT http://www.mta.or.id e-mail : humas@mta.or.id Fax : 0271 663977 Sekretariat : Jl. Ronggowarsito No. 111A Surakarta 57131, Telp (0271)663299 Ahad, 14 Desember 2014/21

المزيد من المعلومات

AL-KALIMAT AL-MUTA LLIQAH BI AL- MUSAWAH AL-JENDERIYAH FI AL-LUGAH AL-ARABIYYAH WA AL-INDONESIYYAH Akmaliyah Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Dja

AL-KALIMAT AL-MUTA LLIQAH BI AL- MUSAWAH AL-JENDERIYAH FI AL-LUGAH AL-ARABIYYAH WA AL-INDONESIYYAH Akmaliyah Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Dja AL-KALIMAT AL-MUTA LLIQAH BI AL- MUSAWAH AL-JENDERIYAH FI AL-LUGAH AL-ARABIYYAH WA AL-INDONESIYYAH Akmaliyah Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung akmaliyahyusuf@gmail.com Abstract The definition

المزيد من المعلومات

أ

أ أ ب الشعار من لم يذق ذل التعل م ساعة تجر ع ذل الجهل طول حياته )امام الشافعي( ج اإلهداء إلى أبي وأمي الكريمين أنتما روح حياتي وأختي الصغيرة وجدت ي المحبوبتان وأصدقائي وأصحابي وإلىكل من يحب اللغة العربية

المزيد من المعلومات

ح ا ا Rustina N Institut Agama Islam Negeri Ambon, Indonesia Abstract: This hadith through two chain lines; Anas and M

ح ا ا Rustina N Institut Agama Islam Negeri Ambon, Indonesia   Abstract: This hadith through two chain lines; Anas and M Rustina N Institut Agama Islam Negeri Ambon, Indonesia E-mail: rustinanurdin@gmail.com Abstract: This hadith through two chain lines; Anas and Mughaffal. For the history of Anas, there is no diversity

المزيد من المعلومات

حتليل تطبيق القيم اإلسالمية يف الثقافة التنظيمية على أساس فتوى جملس العلماء اإلندونيسي. 107 /دسن/ 10/2016 / حول مستشفى الشريعة )دراسة حالية يف املستشف

حتليل تطبيق القيم اإلسالمية يف الثقافة التنظيمية على أساس فتوى جملس العلماء اإلندونيسي. 107 /دسن/ 10/2016 / حول مستشفى الشريعة )دراسة حالية يف املستشف حتليل تطبيق القيم اإلسالمية يف الثقافة التنظيمية على أساس فتوى جملس العلماء اإلندونيسي. 107 /دسن/ 10/2016 / حول مستشفى الشريعة )دراسة حالية يف املستشفى اإلسالم سيىت عائشة ماديون( رمحت وجيكسونو ايلي وندريت

المزيد من المعلومات

تطبيق منهج تعليم اللغة العربية K13 االبتدائية هاشم بني مدرسة في اإلسمامية في ضوء المنهج حاالت( )دراسة رسالة الماجستير اإلعداد رقم التسجيل : نور هريانط

تطبيق منهج تعليم اللغة العربية K13 االبتدائية هاشم بني مدرسة في اإلسمامية في ضوء المنهج حاالت( )دراسة رسالة الماجستير اإلعداد رقم التسجيل : نور هريانط تطبيق منهج تعليم اللغة العربية K13 االبتدائية هاشم بني مدرسة في اإلسمامية في ضوء المنهج حاالت( )دراسة رسالة الماجستير اإلعداد رقم التسجيل : نور هريانطا 41114741 : مشرف الدكتور مفتاح الهدى الماجستير الدكتور

المزيد من المعلومات

اإلسرتاتيجية التسويقية مبراكز الدورة اللغوية )دراسة حاالت ىف الدورات العربية املكثفة بباري, كاديري( رسالة املاجستري : أخريالدين : اإلعداد رقم

اإلسرتاتيجية التسويقية مبراكز الدورة اللغوية )دراسة حاالت ىف الدورات العربية املكثفة بباري, كاديري( رسالة املاجستري : أخريالدين : اإلعداد رقم اإلسرتاتيجية التسويقية مبراكز الدورة اللغوية )دراسة حاالت ىف الدورات العربية املكثفة بباري, كاديري( رسالة املاجستري : أخريالدين 14720078 : اإلعداد رقم التسجيل قسم تعليم اللغة العربية كلية الدرسات العليا

المزيد من المعلومات

Hasil Keputusan Bahtsul Masail Waqi iyyah Konferwil PWNU Jawa Timur 2018 Di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Dzulqo dah 1439 H / Juli 2018

Hasil Keputusan Bahtsul Masail Waqi iyyah Konferwil PWNU Jawa Timur 2018 Di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Dzulqo dah 1439 H / Juli 2018 Hasil Keputusan Bahtsul Masail Waqi iyyah Konferwil PWNU Jawa Timur 2018 Di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri 15 16 Dzulqo dah 1439 H / 28 29 Juli 2018 Mushahih: KH. Yasin Asmuni KH. Mahrus Maryani KH. MB

المزيد من المعلومات

املراجع املراجع من البحوث السابقة أرداين ريزا زوليفتا : الرافعة عز ة "أتثري منوذج التعليم التعاوين بنوع التعاون التكاملي يف القراءة والتع

املراجع املراجع من البحوث السابقة أرداين ريزا زوليفتا : الرافعة عز ة أتثري منوذج التعليم التعاوين بنوع التعاون التكاملي يف القراءة والتع املراجع 1. املراجع من البحوث السابقة أرداين ريزا زوليفتا : الرافعة عز ة 5102. "أتثري منوذج التعليم التعاوين بنوع التعاون التكاملي يف القراءة والتعبري ومكافأة )Reward( على قدرة قراءة الن صوص يف اللغة العربية

المزيد من المعلومات

مجانية شهرية مستقلة متنوعة السنة األولى نوفمبر م صفر - ربيع األول 1440 ه العدد 09 نجاح باهر للمعرض اإلندونيسي الدولي Trade Expo Indonesia 2018.

مجانية شهرية مستقلة متنوعة السنة األولى نوفمبر م صفر - ربيع األول 1440 ه العدد 09 نجاح باهر للمعرض اإلندونيسي الدولي Trade Expo Indonesia 2018. مجانية شهرية مستقلة متنوعة السنة األولى نوفمبر - 2018 م صفر - ربيع األول 1440 ه العدد 09 نجاح باهر للمعرض اإلندونيسي الدولي Trade Expo Indonesia 2018. "".. 9.29. 122 11 16.2017 Trade Expo Indonesia TEI

المزيد من المعلومات

MergedFile

MergedFile فوائد صيغة الأمر والنهي في الجزء الثامن والعشرين من القرآن الكريم )دراسة تحليلية بلاغية في علم المعانى( هذا البحث مقدم إلى كلية الآداب والعلوم الثقافية بجامعة سونن كاليجاكا الإسلامية الحكومية لإتمام بعض

المزيد من المعلومات

اضطهاد المرأة في رواية "حكاية زهرة" لحنان الشيخ ( دراسة النسوية الرادكالية( رسالة قدمتها: روسى نوفريتى رقم القيد : طالبة بكلية اآلداب والعلوم

اضطهاد المرأة في رواية حكاية زهرة لحنان الشيخ ( دراسة النسوية الرادكالية( رسالة قدمتها: روسى نوفريتى رقم القيد : طالبة بكلية اآلداب والعلوم اضطهاد المرأة في رواية "حكاية زهرة" لحنان الشيخ ( دراسة النسوية الرادكالية( رسالة قدمتها: روسى نوفريتى رقم القيد :135212519 طالبة بكلية اآلداب والعلوم اإلنسانية قسم اللغة العربية وادابها جامعة الرانيري

المزيد من المعلومات

الأستاذة : آمال فرفار

الأستاذة : آمال فرفار اجتاهات الطلبة حنو تعلم اللغة العربية يف املدارس الدينية احلكومية املاليزية: املرحلة الثانوية بوالية سالجنور أمنوذجا Students' Attitudes toward Learning Arabic Language in Malaysian Government Religious

المزيد من المعلومات

الكناية في سورة البقرة )دراسة تحليلية بالغية( هذا البحث مقدم إلىكلية اآلداب والعلوم الثقافية جامعة سونانكاليجاكا اإلسالمية إلتمام بعض الشروط للحصول عل

الكناية في سورة البقرة )دراسة تحليلية بالغية( هذا البحث مقدم إلىكلية اآلداب والعلوم الثقافية جامعة سونانكاليجاكا اإلسالمية إلتمام بعض الشروط للحصول عل الكناية في سورة البقرة )دراسة تحليلية بالغية( هذا البحث مقدم إلىكلية اآلداب والعلوم الثقافية جامعة سونانكاليجاكا اإلسالمية إلتمام بعض الشروط للحصول على اللقب العالمي في علم اللغة العربية وأدبها الحكومية

المزيد من المعلومات

اكتساب مهارة الكالم يف تعلم اللغة العربية على ضوء علم اللغة النفسي يف مدرسة ثنائية اللغة الثانوية اإلسالمية بباتو ودورة اللغة العربية الفارسي بباري (د

اكتساب مهارة الكالم يف تعلم اللغة العربية على ضوء علم اللغة النفسي يف مدرسة ثنائية اللغة الثانوية اإلسالمية بباتو ودورة اللغة العربية الفارسي بباري (د اكتساب مهارة الكالم يف تعلم اللغة العربية على ضوء علم اللغة النفسي يف مدرسة ثنائية اللغة الثانوية اإلسالمية بباتو ودورة اللغة العربية الفارسي بباري (دراسة وصفية حتليلية واملقارنة) رسالة املاجستري إعداد

المزيد من المعلومات

الباب الأول

الباب الأول الباب األول المقدمة أ- خلفية المشكالت وتقرير الموضوع اإلنسان ىو ادلخلوق ا إلجتماعي يعيش ب ت اجملتمع وكانت أنشطتو يف احلياة اليومية لن خترج من ناحية اإلجتماع واإلقتصاد والسياسة واحلضارة واألعمال الدينية

المزيد من المعلومات

جدول جلسات املؤمتر / Pembentangan Jadual يوم األربعاء / Rabu Hari 3 فبراير 6102 م / 2016M 24 Rabi ulakhir / 3 Februari قاعة احملاضرات الكربى / Auditor

جدول جلسات املؤمتر / Pembentangan Jadual يوم األربعاء / Rabu Hari 3 فبراير 6102 م / 2016M 24 Rabi ulakhir / 3 Februari قاعة احملاضرات الكربى / Auditor جدول جلسات املؤمتر / Pembentangan Jadual يوم األربعاء / Rabu Hari 3 فبراير 6102 م / 2016M 24 Rabi ulakhir / 3 Februari قاعة احملاضرات الكربى / Auditorium Dewan (الفترة (Sesi 1 / 1 7.30am-10.00am 7.30am

المزيد من المعلومات

عدم عدالة الجنس حكاية رواية في زهرة لحنان الشيخ نسائية( أدبها )دراسة )S1( حبث جامعي مقدم الستيفاء شروط االختبار النهائي للحصول على درجة سرجانا يف قسم

عدم عدالة الجنس حكاية رواية في زهرة لحنان الشيخ نسائية( أدبها )دراسة )S1( حبث جامعي مقدم الستيفاء شروط االختبار النهائي للحصول على درجة سرجانا يف قسم عدم عدالة الجنس حكاية رواية في زهرة لحنان الشيخ نسائية( أدبها )دراسة )S1( حبث جامعي مقدم الستيفاء شروط االختبار النهائي للحصول على درجة سرجانا يف قسم اللغة العربية وأدهباكلية العلوم اإلنسانية جامعة موالنا

المزيد من المعلومات

Nidhomul Haq Vol 3 No: 1 Maret 2018 ISSN تطويراملواد التعليمية لترقية مهارة الكتابة )بحث تطويري مع التطبيق في مدرسة أمانة ألامة إلاعدادية

Nidhomul Haq Vol 3 No: 1 Maret 2018 ISSN تطويراملواد التعليمية لترقية مهارة الكتابة )بحث تطويري مع التطبيق في مدرسة أمانة ألامة إلاعدادية 1 تطويراملواد التعليمية لترقية مهارة الكتابة )بحث تطويري مع التطبيق في مدرسة أمانة ألامة إلاعدادية فاجت موجوكرطا( Muhammad Hafidz Dosen Institut Pesantren KH Abdul Chalim Mojokerto hafidz@ikhacacid Abstrak

المزيد من المعلومات

DAFTAR PUSTAKA أمحد الطيب أمهية اللغة العربية الوصول إليها يف التاريخ اللغة مواد ميكن أمحد مرادي "

DAFTAR PUSTAKA أمحد الطيب أمهية اللغة العربية الوصول إليها يف التاريخ اللغة مواد ميكن أمحد مرادي DAFTAR PUSTAKA أمحد الطيب أمهية اللغة العربية الوصول إليها يف التاريخ اللغة مواد https://www.linkedin.com/in/ahmedeltayef 5702-70-58 ميكن أمحد مرادي "إعداد مواد اللغة العربية لغري الناطقني بالعربية وتأليفها

المزيد من المعلومات

الباب منهج الثالث البحث وعي نته البحث ومجتمع البحث موقع أ. 1. البحث موقع يقوم يعين للبحث. الباحث فيو يعمل مكان ىو البحث موقع 1 العالية ادلدرسة يف البا

الباب منهج الثالث البحث وعي نته البحث ومجتمع البحث موقع أ. 1. البحث موقع يقوم يعين للبحث. الباحث فيو يعمل مكان ىو البحث موقع 1 العالية ادلدرسة يف البا الباب منهج الثالث البحث وعي نته البحث ومجتمع البحث موقع أ. 1. البحث موقع يقوم يعين للبحث. الباحث فيو يعمل مكان ىو البحث موقع 1 العالية ادلدرسة يف الباحث PGII رقم فناتايودا شارع يف ادلتوقعة باندونج فيها.

المزيد من المعلومات

RUMUSAN HASIL BAHTSUL MASAIL PUTRI SE-JAWA TIMUR DALAM RANGKA MEMPERINGATI HAUL MAJEMMUK PARA MASYAIKH 1440 H/2019 M Pondok Pesantren Salafiyah Syafi

RUMUSAN HASIL BAHTSUL MASAIL PUTRI SE-JAWA TIMUR DALAM RANGKA MEMPERINGATI HAUL MAJEMMUK PARA MASYAIKH 1440 H/2019 M Pondok Pesantren Salafiyah Syafi RUMUSAN HASIL BAHTSUL MASAIL PUTRI SE-JAWA TIMUR DALAM RANGKA MEMPERINGATI HAUL MAJEMMUK PARA MASYAIKH 1440 H/2019 M Pondok Pesantren Salafiyah Syafi iyah Sukorejo Situbondo Sumberejo Situbondo Jawa Timur

المزيد من المعلومات

تخليط الشفرة عند ناطق اللغة العربية في تعليم اللغة العربية الدوري الفارسي بفاري كاديري )دراسة لغوية اجتماعية( مقدم إلكمال بعض شروط اإلختبار للحصول على

تخليط الشفرة عند ناطق اللغة العربية في تعليم اللغة العربية الدوري الفارسي بفاري كاديري )دراسة لغوية اجتماعية( مقدم إلكمال بعض شروط اإلختبار للحصول على تخليط الشفرة عند ناطق اللغة العربية في تعليم اللغة العربية الدوري الفارسي بفاري كاديري )دراسة لغوية اجتماعية( مقدم إلكمال بعض شروط اإلختبار للحصول على درجة سرجانا )1-S( فيكلي ة العلوم اإلنساني ة في قسم

المزيد من المعلومات

Available at: الحكمة في تشريع الزواج: الحوار مع

Available at:     الحكمة في تشريع الزواج: الحوار مع Available at: http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah https://dx.doi.org/10.21111/tsaqafah.v13i2.1130 الحكمة في تشريع الزواج: الحوار مع أنصار اللبرالية في تحريم زواج المسلمة بغير المسلم International

المزيد من المعلومات

Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam Available at: DOI:

Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam Available at:   DOI: Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam Available at: http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/kalimah DOI: http://dx.doi.org/10.21111/klm.v15i2.1491 الشهادة في الا سلام والنصارى (الجواب

المزيد من المعلومات

افتتاحية العدد

افتتاحية العدد أطر املعاجلة االعالمية لسياسات الرئيس االمريكى باراك اوباما دراسة مقارنة بني قناتني اجلزيرة واحلرة 7 framing analysis حوليات آداب عني مشس - اجمللد )ابريل يونيو ( فاطمة الزهراء Framing analysis for policies

المزيد من المعلومات

24 الباب الثالث تقديم البيانات وتحليلها أ- نبذة عن القراءة الرشيدة ألف كتاب القراءة الرشيدة بالكاتب عبد الفتاح كعلي عمر يف السنة فيو احلكاية كالقصيدة

24 الباب الثالث تقديم البيانات وتحليلها أ- نبذة عن القراءة الرشيدة ألف كتاب القراءة الرشيدة بالكاتب عبد الفتاح كعلي عمر يف السنة فيو احلكاية كالقصيدة 24 الباب الثالث تقديم البيانات وتحليلها أ- نبذة عن القراءة الرشيدة ألف كتاب القراءة الرشيدة بالكاتب عبد الفتاح كعلي عمر يف السنة فيو احلكاية كالقصيدة كالعلو باللغة العربية. يشتمل الكتب علي رللد حيث فيو

المزيد من المعلومات

افتتاحية العدد

افتتاحية العدد موقف جامعة الدولة العربية من عملية السالم املصرية اإلسرائيلية - 791 حوليات آداب عني مشس - اجمللد 97 )يناير مارس 77( ثريا حامد الدمنهوري The Reaction of the League of Arab States towards the Egyptian-Israeli

المزيد من المعلومات

أشعار المدح والتهنئة البن سناء الملك في ديوانه (دراسة تحليلي ة عروضي ة وقافوي ة) هذا البحث مقدم اىلكلي ة اآلداب والعلوم الثقافي ة جبامعة سوننكاليج اكا

أشعار المدح والتهنئة البن سناء الملك في ديوانه (دراسة تحليلي ة عروضي ة وقافوي ة) هذا البحث مقدم اىلكلي ة اآلداب والعلوم الثقافي ة جبامعة سوننكاليج اكا أشعار المدح والتهنئة البن سناء الملك في ديوانه (دراسة تحليلي ة عروضي ة وقافوي ة) هذا البحث مقدم اىلكلي ة اآلداب والعلوم الثقافي ة جبامعة سوننكاليج اكا اإلسالمي ة احلكومي ة إلمتام بعض الشروط للحصول على

المزيد من المعلومات

اسلوب الالتفات في سورة النساء ) دراسة تحليلية بلاغية ( هذا البحث مقد م إلىكلية الا داب والعلوم الثقافية جامعة سو ن كاليجاكا الا سلامية الحكومية جوكجاك

اسلوب الالتفات في سورة النساء ) دراسة تحليلية بلاغية ( هذا البحث مقد م إلىكلية الا داب والعلوم الثقافية جامعة سو ن كاليجاكا الا سلامية الحكومية جوكجاك اسلوب الالتفات في سورة النساء ) دراسة تحليلية بلاغية ( هذا البحث مقد م إلىكلية الا داب والعلوم الثقافية جامعة سو ن كاليجاكا الا سلامية الحكومية جوكجاكر لا تمام بعض الشروط للحصول على اللقب العالمي فى علم

المزيد من المعلومات

تطبيق المدخل البنائي فى تعليم العقيدة و االخالق الحكومية ماالنج 2 باتو بمدرسة الثانوية البحث اجلامعي اعداد: فحرجال نور رزقى رقم القيد : قسم ا

تطبيق المدخل البنائي فى تعليم العقيدة و االخالق الحكومية ماالنج 2 باتو بمدرسة الثانوية البحث اجلامعي اعداد: فحرجال نور رزقى رقم القيد : قسم ا تطبيق المدخل البنائي فى تعليم العقيدة و االخالق الحكومية ماالنج 2 باتو بمدرسة الثانوية البحث اجلامعي اعداد: فحرجال نور رزقى رقم القيد : 11111215 قسم التربية اإلسالمية كلية علوم التربية و التعليم جامعة

المزيد من المعلومات

۱ الحمد الله الباب الا ول مقدمة الذي جعل القرآن هداية للمتقين وجعل تلاوته بخضوع هتل دمع الخاشعين وأنزل فيه من الوعيد ما يهز به أركان الظالمين و أخبر ف

۱ الحمد الله الباب الا ول مقدمة الذي جعل القرآن هداية للمتقين وجعل تلاوته بخضوع هتل دمع الخاشعين وأنزل فيه من الوعيد ما يهز به أركان الظالمين و أخبر ف ۱ الحمد الله الباب الا ول مقدمة الذي جعل القرآن هداية للمتقين وجعل تلاوته بخضوع هتل دمع الخاشعين وأنزل فيه من الوعيد ما يهز به أركان الظالمين و أخبر فيه أن الموت اية للعالمين وأننا بعد الموت للحساب بين

المزيد من المعلومات

الزواج بين األديان وأهمية تقنينه في أندونيسيا احمد ملطوف سراج كلية الشريعة بالجامعة النور الجديد األسالمية بيطان بربالنجا جوى الشرقية إندونيسا الخالصة

الزواج بين األديان وأهمية تقنينه في أندونيسيا احمد ملطوف سراج كلية الشريعة بالجامعة النور الجديد األسالمية بيطان بربالنجا جوى الشرقية إندونيسا الخالصة الزواج بين األديان وأهمية تقنينه في أندونيسيا احمد ملطوف سراج كلية الشريعة بالجامعة النور الجديد األسالمية بيطان بربالنجا جوى الشرقية إندونيسا الخالصة إن قانون الزواج الموضوع سنة 1974 لم ينظم أمور الزواج

المزيد من المعلومات

البحث اجلامعي تحليلكتاب "دروس اللغة العربية" من حيث اختيار الماد ة عند وليام فرانجيس ماك ي( (William Francis Mackey إعداد: نوفيا أكرم الص الحة رقم الق

البحث اجلامعي تحليلكتاب دروس اللغة العربية من حيث اختيار الماد ة عند وليام فرانجيس ماك ي( (William Francis Mackey إعداد: نوفيا أكرم الص الحة رقم الق البحث اجلامعي تحليلكتاب "دروس اللغة العربية" من حيث اختيار الماد ة عند وليام فرانجيس ماك ي( (William Francis Mackey إعداد: نوفيا أكرم الص الحة رقم القيد: إشراف: الحاج بشري مصطفى الماجستير رقم التوظيف:

المزيد من المعلومات

افتتاحية العدد

افتتاحية العدد اخلصائص الفنية لكتاب الرسائل يف القرن العشرين 412 حوليات آداب عني مشس - اجمللد 34 )يوليو سبتمرب )5102 Technical Characteristics of Letter Writers in the Twentieth Century Mohame d Gouda Abstract This research

المزيد من المعلومات

اسرتاتيجية الرتمجة الداللية يف ترمجةكتاب "بداية اهلداية" ملرتجم حممد علي مغفور شاذيل إسكندار )دراسة حتليلية نقدية ) جامعي حبث مقدم الستيفاء شروط االخت

اسرتاتيجية الرتمجة الداللية يف ترمجةكتاب بداية اهلداية ملرتجم حممد علي مغفور شاذيل إسكندار )دراسة حتليلية نقدية ) جامعي حبث مقدم الستيفاء شروط االخت اسرتاتيجية الرتمجة الداللية يف ترمجةكتاب "بداية اهلداية" ملرتجم حممد علي مغفور شاذيل إسكندار )دراسة حتليلية نقدية ) جامعي حبث مقدم الستيفاء شروط االختبار النهائي للحصول على درجة سرجاان يف قسم اللغة العربية

المزيد من المعلومات

محتوى المنهج الدراسي في قسم تعليم اللغة العربية مرحلة الماجستير بكلية الدراسات العليا بجامعة مولانا مالك إبراهيم الإسلامية الحكومية مالانق - إندونيسي

محتوى المنهج الدراسي في قسم تعليم اللغة العربية مرحلة الماجستير  بكلية الدراسات العليا بجامعة مولانا مالك إبراهيم الإسلامية الحكومية مالانق - إندونيسي مجهورية إندونيسيا وزارة شؤون دينية جامعة مونا مك إبراهيم اإلسمية احلكومية مبانق كلية دراسات عليا قسم تعليم لغة عربية )املاجستري( حمتوى املنهج دراسي يف قسم تعليم لغة عربية مرحلة املاجستري بكلية دراسات عليا

المزيد من المعلومات

تطوير املواد التعليمية املوضوعية ملادة اللغة العربية ابستخدام موقع الويب للمدرسة الثانوية العامة إبندونيسيا رسالة املاجستري إعداد إيرما أننداييت رقم ا

تطوير املواد التعليمية املوضوعية ملادة اللغة العربية ابستخدام موقع الويب للمدرسة الثانوية العامة إبندونيسيا رسالة املاجستري إعداد إيرما أننداييت رقم ا تطوير املواد التعليمية املوضوعية ملادة اللغة العربية ابستخدام موقع الويب للمدرسة الثانوية العامة إبندونيسيا رسالة املاجستري إعداد إيرما أننداييت رقم التسجيل: 13720025 قسم تعليم اللغة العربية كلية الدراسات

المزيد من المعلومات

الواقع اإلجتماعي فى رواية " بنات الرياض" لرجاء عبد اهلل الصانع )دراسة تحليلية تركيبية جينيتكية( حبث جامعى مقدم الستيفاء شروط اإلختبار النهائي للحصول ع

الواقع اإلجتماعي فى رواية  بنات الرياض لرجاء عبد اهلل الصانع )دراسة تحليلية تركيبية جينيتكية( حبث جامعى مقدم الستيفاء شروط اإلختبار النهائي للحصول ع الواقع اإلجتماعي فى رواية " بنات الرياض" لرجاء عبد اهلل الصانع )دراسة تحليلية تركيبية جينيتكية( حبث جامعى مقدم الستيفاء شروط اإلختبار النهائي للحصول على درجة سرجانا )1-S) ىف قسم اللغة العربية وأدهباكلية

المزيد من المعلومات

البحث الجامعي تكوين البيئة اللغوية لتنمية مهارة الكالم بالعربية في مدرسة أمانة األمة الثانوية الدولية بموجوكرتوا جاوا الشرقية إعداد: محموة الزهرية رقم

البحث الجامعي تكوين البيئة اللغوية لتنمية مهارة الكالم بالعربية في مدرسة أمانة األمة الثانوية الدولية بموجوكرتوا جاوا الشرقية إعداد: محموة الزهرية رقم البحث الجامعي تكوين البيئة اللغوية لتنمية مهارة الكالم بالعربية في مدرسة أمانة األمة الثانوية الدولية بموجوكرتوا جاوا الشرقية إعداد: محموة الزهرية رقم القيد: 04001131 إشراف: بشري مصطفى الماجستير رقم التوظيف

المزيد من المعلومات

cover احدء.cdr

cover  احدء.cdr ISSN : 2338-4662 AL-IHDA MEDIA ILMIAH BAHASA ARAB VOL. 1, NOMOR 1, JUNI 2013 تطبیق أسلوب جیجسو على تدریس النحو فى معھد الفرقان العصري بمبي بسجلي (دراسة تجریبیة) عبد االله تطویر المواد التعلیمیة علي الا

المزيد من المعلومات

النقد على ترجمة الكتاب فتح القريب المجيب لمحمد بن قاسم الغزي عند عمران أبي عمرو لعز ة نور ديانة التجريد إن ىذ البحث العلمي م

النقد على ترجمة الكتاب فتح القريب المجيب لمحمد بن قاسم الغزي عند عمران أبي عمرو لعز ة نور ديانة التجريد إن ىذ البحث العلمي م النقد على ترجمة الكتاب فتح القريب المجيب لمحمد بن قاسم الغزي عند عمران أبي عمرو لعز ة نور ديانة liza_bangilan92@yahoo.com التجريد إن ىذ البحث العلمي مركز على نقد ترمجة الكتاب فتح القريب اجمليب حملمد بن

المزيد من المعلومات

تصميم أهداف تعليم املطالعة املعتمدة على تحليل اإلحتياجات في صعبة تعليم لغة العربية بجامعة جوروب اإلسالمية الحكومية Rini Institut Agama Islam Negeri (A

تصميم أهداف تعليم املطالعة املعتمدة على تحليل اإلحتياجات في صعبة تعليم لغة العربية بجامعة جوروب اإلسالمية الحكومية Rini Institut Agama Islam Negeri (A تصميم أهداف تعليم املطالعة املعتمدة على تحليل اإلحتياجات في صعبة تعليم لغة العربية بجامعة جوروب اإلسالمية الحكومية Rini Institut Agama Islam Negeri (AIN) Curup rinwan06@gmail.com Abstract Students who

المزيد من المعلومات

Jurnal MAHARAT Volume 1 No. 1 \ Oktober 2018 Roojil Fadillah Prodi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Emai:

Jurnal MAHARAT Volume 1 No. 1 \ Oktober 2018 Roojil Fadillah Prodi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Emai: Roojil Fadillah Prodi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Emai: roojilfadhillah@fpb.umy.ac.id تحليل األخطاء النحوية اللغوية في الخطابة المنبرية )دراسة حالية( DOI: 10.18196/mht.115

المزيد من المعلومات

منسوب مع األجانب الطلبة لدى التعليمي اللغوي اإلتصال اساليب ماالنج الحكومية اإلسالمية ابراىيم مالك موالنا بجامعة العليا الدراسات كلية الماجستير رسالة إ

منسوب مع األجانب الطلبة لدى التعليمي اللغوي اإلتصال اساليب ماالنج الحكومية اإلسالمية ابراىيم مالك موالنا بجامعة العليا الدراسات كلية الماجستير رسالة إ منسوب مع األجانب الطلبة لدى التعليمي اللغوي اإلتصال اساليب ماالنج الحكومية اإلسالمية ابراىيم مالك موالنا بجامعة العليا الدراسات كلية الماجستير رسالة إعداد: كاشفةالسجاايلسا رقمالتسجيل: العربية اللغة تعليم

المزيد من المعلومات

ABU DHABI EDUCATION COUNCIL Abu Dhabi Education Zone AL Mountaha Secondary School g-12 science section Mathematics Student Name:.. Section: How Long i

ABU DHABI EDUCATION COUNCIL Abu Dhabi Education Zone AL Mountaha Secondary School g-12 science section Mathematics Student Name:.. Section: How Long i ABU DHABI EDUCATION COUNCIL Abu Dhabi Education Zone AL Mountaha Secondary School g-12 science section Mathematics Student Name:.. Section: How Long is the Average Chord of a Circle?/ 2009-2010 Second

المزيد من المعلومات

جامعة جدارا Jadara University كلية: الدراسات التربوية

جامعة جدارا   Jadara University كلية: الدراسات التربوية Jadara University جامعة جدا ار College: Educational Studies كمية: الد ارسات التربوية اثر حجم العينة وأسموب اختيارها في الخصائص السيكومترية لممقاييس النفسية The Effect Of Sample Size And It's Selection

المزيد من المعلومات

R.A.K Chamber of Commerce & Industry Studies & Commercial Cooperation Directorate Economic Studies Section 5510 /50/11 غرفة تجارة وصناعة رأس الخيمة إد

R.A.K Chamber of Commerce & Industry Studies & Commercial Cooperation Directorate Economic Studies Section 5510 /50/11 غرفة تجارة وصناعة رأس الخيمة إد 5510 /50/11 أداء شركات رأس الخيمة المساهمة بسوق أبوظبي لألوراق المالية لعام 4102 بلغ عدد شركات رأس الخيمة المدرجة في سوق أبوظبي لألوراق المالية 11 شركة مساهمة من أصل 87 شركة مساهمة في السوق لعام 5512 حيث

المزيد من المعلومات

جملة ميالف للبحوث والدراسات ISSN : اجمللد 1 العدد / 5 جوان 3152 Mila Univ center. Publish. Co. Environmental Issues and Major Powers. belgac

جملة ميالف للبحوث والدراسات ISSN : اجمللد 1 العدد / 5 جوان 3152 Mila Univ center. Publish. Co. Environmental Issues and Major Powers. belgac جملة ميالف للبحوث والدراسات ISSN : 3223-1235 اجمللد 1 العدد / 5 جوان 3152 Mila Univ center. Publish. Co. Environmental Issues and Major Powers. belgacemi.mouloud@yahoo.com shahinazsbi@yahoo.fr Abstract:

المزيد من المعلومات

األرقام الجامعية للطلبة المقبولة أعذارهم لتأجيل االختبار النهائي للفصل الدراسي الثاني من العام الجامعي 2017/2016 The ID Numbers for those students who

األرقام الجامعية للطلبة المقبولة أعذارهم لتأجيل االختبار النهائي للفصل الدراسي الثاني من العام الجامعي 2017/2016 The ID Numbers for those students who 1 of 115 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 ال الجامعي 022748 040931 041270 050535 051142 051142 070836 070836 071289 080627 081016 081029 081088 081088 081218 081218 081344 090149 090390

المزيد من المعلومات

افتتاحية العدد

افتتاحية العدد 99 حوليات آداب عني مشس اجمللد 93 )يناير مارس 1122( مجال حممد مقابلة A Study of the Term Al Rawnak in Ancient Arab Criticism Gamal Mohamed Mokabla Abstract This paper aims to study the term Al Rawnak, a

المزيد من المعلومات

الجناس والسجع في سورة الص ف ات بحث جامعي مقدم لاستيفاء شروط الا ختبار النهاي ي للحصول على درجة سرجنا (S1) في قسم اللغة العربية وأد اكلية الا نسانية جا

الجناس والسجع في سورة الص ف ات بحث جامعي مقدم لاستيفاء شروط الا ختبار النهاي ي للحصول على درجة سرجنا (S1) في قسم اللغة العربية وأد اكلية الا نسانية جا الجناس السجع في سرة الصفات بحث جامعي مقدم لاستيفاء شرط الا ختبار النهاي ي للحصل على درجة سرجنا (S1) في قسم اللغة العربية أد اكلية الا نسانية جامعة ملا مالك إبراهيم الا سلامية الحكمية مالانج إعداد: النداء

المزيد من المعلومات

)S1( الستيفاء مقدم البطل الشخصي األساسي في الفلم "وجدة" )دراسة تحليلية سيكولوجية أدبية( جامعي حبث شروطا الختبار النهائي للحصول على درجة سرجانا يف قسم

)S1( الستيفاء مقدم البطل الشخصي األساسي في الفلم وجدة )دراسة تحليلية سيكولوجية أدبية( جامعي حبث شروطا الختبار النهائي للحصول على درجة سرجانا يف قسم )S1( الستيفاء مقدم البطل الشخصي األساسي في الفلم "وجدة" )دراسة تحليلية سيكولوجية أدبية( جامعي حبث شروطا الختبار النهائي للحصول على درجة سرجانا يف قسم اللغة العربية وأدهبا كلية العلوم اإلنسانية جامعة موالنا

المزيد من المعلومات

البحث اجلامعي حتليل احملتوى للكتاب الدراسي "دروس اللغة العربية" ملسر حنيو واألخرين يف ضوء املنهج الدراسي 3102 مقدم إلكمال بعض شروط االختبار للحصول درج

البحث اجلامعي حتليل احملتوى للكتاب الدراسي دروس اللغة العربية ملسر حنيو واألخرين يف ضوء املنهج الدراسي 3102 مقدم إلكمال بعض شروط االختبار للحصول درج البحث اجلامعي حتليل احملتوى للكتاب الدراسي "دروس اللغة العربية" ملسر حنيو واألخرين يف ضوء املنهج الدراسي 3102 مقدم إلكمال بعض شروط االختبار للحصول درجة سرجانا )1-S( لكلية علوم الرتبية والتعليم يف قسم تعليم

المزيد من المعلومات

RAK Chamber of Commerce & Industry Studies & Information Directorate غرفة تجارة وصناعة رأس الخيمة إدارة الدراسات والمعلومات 1122/21/21 مليار درهم حجم

RAK Chamber of Commerce & Industry Studies & Information Directorate غرفة تجارة وصناعة رأس الخيمة إدارة الدراسات والمعلومات 1122/21/21 مليار درهم حجم 1122/21/21 مليار درهم حجم تجارة دولة اإلمارات مع الدول العربية حققت التجارة اإلجمالية للدولة مع بقية الدول العربية زيادة سنوية مقدارها %2 تقريبا حيث شكلت الواردات الجزء األكبر من هذه التجارة وتبقى الزيادة

المزيد من المعلومات